Senin, 29 Juni 2015

Analisis Desentralisasi Asimetris UU No. 23 Tahun 2014



Analisis Desentralisasi Asimetris Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Sepanjang sejarah perjalanan pemeritahan daerah kini telah mulai banyak mengalami pergeseran dari aspek regulasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Perjalanan itu dapat ditandai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring itu perjalanan otonomi pun banyak mengalami permasalahan dari segi regulasi (pembentukan peraturan perundang-undangan).
Konsep desentralisasi dan dekosentrasi seringkali didikotomikan bahwa seakan-seakan konsep yang satu lebih baik dibanding dengan yang lain. Padahal jika difikir bahwa tidak ada satu pun konsep yang tepat (one size fits for all) untuk diterapkan. Hal tersebut bergantung pula pada sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Maka tidak mengherankan jika banyak terjadi perbedaan pemahaman tentang desentralisasi, bahkan hal yang paling menarik perhatian yaitu adanya rasa kekhawatiran atas berjalannya proses desetralisasi tersebut dalam bingkai negara kesatuan. Perumusan tentang desentralisasi dapat dilihat dalam tiga Undang-Undang pemerintahan daerah yang pernah ada yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Undang-Undang 32 tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.
Adapun rumusan dari masing-masing undang-undang tersebut yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 bahwa
 “penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.    
2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa
 “ penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusuan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 bahwa
     “penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi”
Dari ketiga rumusan undang-undang tersebut diatas, terutama dalam UU No. 22 tahun 1999  bahwa penekanan negara kesatuan Republik Indonesia dalam undang-undang tersebut merupakan bentuk pembatasan agar kewenangan luas yang telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimaksudkan agar tidak mengarah kepada federalisasi. Hal itu dapat dilihat melaui pengaturan tidak adanya hubungan hirarki antar satuan pemerintahan. Hal ini merupakan dampak dari luasnya wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada kabupaten/kota menimbulkan banyak kesulitan bagi pusat secara berjenjang untuk mengkordinasikan penyelenggaraan urusan atau wewenang di daerah. Walaupun sumber utama kewenangan tersebut adalah pemerintah pusat, tetapi dalam konteks perpolitikan  yang sangat demokratis pada saat masa itu sehingga menyebabkan daerah menjauh dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah memutuskan untuk secara mandiri mengurusi segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan daerahnya termasuk keuangan, kelembagaan, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Apabila penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukannya dalam rangka untuk tujuan otonomi tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan karena dapat memberikan dampak positif terhadap masyarakat terutama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, persoalannya saat ini adalah persoalan implementasi atau praktik otonomi yang dilakukan oleh daerah dengan kebebasan yang seluas-luasnya hanya dinikmati oleh para elit poltik saja.
            Dalam UU No 32 tahun 2004, pemahaman dan pemaknaan desentralisasi lebih ditekankan pada urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah harus sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan efisiensi. Kebebasan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan daerahnya harus dilakukan pembatasan, bahwa pembatasan yang dilakukan adalah pembatasan pelaksanaan urusan daerah tersebut harus berada dalam sistem kerangka negara kesatuan. Hal ini dimaksudkan bahwa pemerintah pusat sebagai pemegang urusan maka mempunyai kewenangan untuk melakukan kontrol, melakukan pembinaan dan pelatihan ke daerah-daerah agar urursan yang telah diberikan dapak dilaksanakan dengan baik.
UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang baru saja diberlakukan, yang mana undang-undang ini semakin memberikan penekanan terhadap proses desentralisasi dengan ruang lingkup yang lebih terbatas pada penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan perkataan lain bahwa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan asas otonomi hanyalah sebatas urusan yang termasuk dalam kategori urusan konkuren dengan klasifikasi urusan pemerintahan wajib yang berhubungan dengan pelayanan dasar  yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketentraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan sosial. Urusan-urusan tersebut merupakan urusan yang menjadi skala prioritas bagi pemerintah daerah. Apabila hal ini dikaitkan dengan asas otonomi yang maknanya adalah kebebasan maka akan sangat sulit bagi suatu daerah untuk bebas seperti sebelumnya walaupun daerah memiliki hak untuk membuat kebijakan dalam rangka pelakasanaan urusan tersebut.
Dalam membuat suatu kebijakan yang terkait pelaksanaan tersebut daerah diwajibkan agar berpedoman pada norma, kriteria, standar dan prosedur yang sesuai atau telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Apabila kebijakan yang telah dibuat bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan maka pemerintah pusat berhak dan berwenang untuk membatalkan kebijakan daerah tersebut. Dalam UU No 23 tahun 2014, untuk penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang termasuk dalam kategori konkuren dilakukan dengan pola yang berbeda apabila dibandingkan dengan UU 32 tahun 2004, karena dengan konsep dekonsetrasi yang diperluas, sehingga pemerintah pusat dapat membentuk kembali kelembagaan pusat di daerah. 
            Pada masa UU No. 22 tahun 1999, pemerintah kabupaten/kota steril dari proses dekonsetrasi karena konsep desentralisasi yang utuh, maka berkaitan dengan UU No. 23 tahun 2014 pemerintah kabupaten/kota mulai dijalankan urusan atau kewenangan yang menajdi wewenang pemerintah pusat dengan urusan pemerintahan umum. Ini merupakan bagian dari proses dekonsentrasi yang bermakna pada pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, atau kepada kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
            Pemahaman mengenai desentralisasi asimetris berkaitan dengan kewenangan yang seluas-luasnya yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur dan mengurus sesuai dengan hak-hak yang hidup dalam masyarkat dan diakui, maka sifat kemajemukan di tiap-tiap daerah akan sangat sulit untuk dikembangkan. Karena ruang bebas yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur daerahnya menjadi terbatas karena muatan perda yang mana dimaksudkan untuk menjalankan peraturan yang lebih tinggi. Sehingga dengan berlakunya UU No. 23 tahun 2014, telah menggeser kewenangan luas untuk kekhususan suatu daerah yang diletakkan pada provinsi dengan maksud bahwa daerah kabupaten/kota menjadi inti dari desentralisasi. Karena urusan dekonsentrasi akan ikut beriringan dengan desentralisasi. Sehingga UU No. 23 tahun 2014 akan berdampak pada kekhususan yang ada di Papua dan Aceh yang sudah ditetapkan dengan undang-undang yang pada akhirnya akan melaksanakan atau menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi telah menjadi kewenangannya akan sama dengan daerah otonom kekhususan, kecuali untuk hal-hal yang sudah dikhususkan misalnya kelembagaan (MRP, DPRP, Partai lokal). Namun, semua itu belum mencerminkan makna asimetrikal, tetapi lebih sebagai bagian dari upaya menjaga disintegritas. Oleh karena itu kebijakan pemerintah adalah memberikan perbedaan antara daerah kekhususan dengan daerah non kekhususan dari segi pembiayaan dan bentuk, tetapi tidak sepenuhnya kewenangan atau urusan. Pembiayaan itupun yang diperuntukkan untuk papua tidak berlaku selamanya karena kebijakan tersebut bersifat affirmative dalam rangka mempercepat perwujudan pemerataan dan keadilan sosial.    
   





Daftar Bacaan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-Undang 32 Tahun 2004
undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar