Rabu, 08 Maret 2017

PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Viktomologi sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban dalam berbagai kehidupan dan penghidupannya[1]. Viktimologi dewasa ini merupakan gagasan atau pemikiran baru dalam ilmu kriminologi, karena telah terjadi pergeseran pemikiran yang tidak lagi melihat kejahatan melalui studi terhadap pelaku kejahatan itu sendiri akan tetapi mengarah pada korban yang menjadi objek pelaku kejahatan.
Secara terminologi, viktimologi adalah studi yang mempelajari korban, penyebab terjadinya korban atau timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu pernyataan sosial. Namun, secara singkat viktimolgi adalah ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek dan fasenya[2]. Dalam hal mempelajari korban serta penyebab-penyebab terjadinya tindak pidana, maka viktimologi sendiri berkembang menjadi sarana dalam menanggulangi atau mengantisipasi perkembangan kejahatan dan kriminalitas dalam bentuk tindak pidana yang ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga viktimologi sendiri masuk kedalam salah satu proses kebijakan publik.
Antisipasi kejahatan ataupun kriminalitas yang berkembang dalam masyarakat meliputi perkembangan frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas kejahatan dan kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru dapat menjadi alasan dalam penuangan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan korban tanpa mengeyampingkan pelaku mutlak untuk dilakukan. Dalam tindak pidana, tidak seutuhnya kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan murni perbuatan pelaku kejahatan itu sendiri. Dalam melakukan tindak pidana, peran korban merupakan andil yang cukup besar dalam terjadinya suatu tindak pidana. Sehingga tidak hanya tindakan pelaku pidana saja yang harus ditelaah, tetapi bagaimana tindak pidana itu terjadi dengan peran korban yang memberikan kesempatan kepada korban itu menjadi obyek kejahatan pidana.
Peran korban yang dianggap merupakan faktor pendukung selain pelaku dalam terjadinya tindak pidana dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana. Perlu dicari korelasi atau hubungan antara korban dan pelaku kejahatan atau tindak pidana dalam menentukan kesalahan pelaku dan perlindungan korban.
                                                                      
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas, maka permasalahan yang diangkat adalah:
a.       Apa saja bentuk-bentuk peran korban dalam terjadinya tindak pidana?
b.      Bagaimana korelasi antara peran korban dengan sanksi pidana dalam sistem peradilan pidana?

C. Tujuan
a.       Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk peran korban dalam terjadinya tindak pidana.
b.      Untuk menganalisis bagaimana korelasi antara peran korban dengan sanksi pidana dalam sistem peradilan pidana.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korban
Sebagai acuan definisi terkait korban tertuang dalam kesepakatan internasional, yaitu dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) Ke 7, yang kemudian menjadi resolusi MU PBB 40/34 tertanggal 29 Nopember 1995 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power[3]. Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan dari suatu kejahatan atau kriminalitas yang merupakan tindak pidana dari orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. 
Pengertian korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dikemukakan khususnya sewaktu menjelaskan “Victims of Power”, bahwa termasuk juga dalam pengertian “korban” orang-orang yang menjadi Korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma HAM yang diakui secara internasional[4].
Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu menyatakan bahwa korban adalah  orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun[5]. Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.[6]
Menurut Arif Gosita, pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.[7] Korban yang dimaksud oleh Arif Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.
Pengertian korban menurut Stanciu yang dikutip oleh Farhana menyatakan bahwa “the victim, in the broad sense, is who suffer unjustly (from the latin victima, which signifiers the creature offered in sacrifice to the gods). Thus, the two characteristics traits of the victim are suffering and injustice. Suffering must be unjust and not necessary illegal.”[8]

Menurut Mardjono, mengenai korban meliputi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang bersumber dari penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan, penipuan konsumen, penyelewengan dalam bidang perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan sebagainya, dan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuse of public power), seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa dan sebagainya.[9]

B. Bentuk-Bentuk Peran Korban dalam Terjadinya Tindak Pidana
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Welker, bahwa hubungan antara korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat.[10]
Kejahatan yang dilakukan pelaku tindak pidana bukan murni sebagai kejahatan yang benar-benar dilakukan oleh pelaku kejahatan itu sendiri, melainkan peran korban kejahatan sebagai obyek pelaku. Peran korban dalam terjadinya tindak pidana merupakan faktor yang penting untuk mengetahui pelaku kejahatan dan tindak pidana yang dilakukan terhadap korban. Sehingga, kesalahan itu tidak dilihat dari pelaku, melainkan kesalahan korban perlu menjadi pertimbangan.
Menurut Mendelshon, korban dapat dibagi atas derajat kesalahannya sebagai penyebab timbulnya tindak pidana terhadap korban. Derajat kesalahan korban itu sendiri dapat dibagi atas:
a       
        1. Korban tanpa salah apapun
Kesalahan korban dalam suatu tindak pidana benar-benar tidak ada perannya disini, karena peran pelakulah yang menjadi faktor utama dalam terjadinya suatu tindak pidana yang telah direncanakan ataupun secara tidak sengaja dilakukan oleh pelaku. Sehingga korban murni sebagai obyek kesalahan yang dilakukan oleh pelaku.
       2. Korban karena kebodohannya
Dalam hal ini, seseorang menjadi korban karena adanya kebodohan yang ada dalam diri korban sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana. Kebodohan itu tidak hanya dilihat dari kurangnya fisik maupun mental korban, tetapi kebodohan itu dapat dilihat dengan kurangnya wawasan korban sehingga memungkinkan terjadinya tindak pidana terhadap dirinya.
c      
       3.  Korban sama salah dengan pelaku
Korban melakukan tindak pidana yang dalam kedudukan kesalahannya sama dengan kesalahan yang dilakukan pelaku. Dengan secara tidak langsung korban juga melakukan suatu tindakan yang sama-sama salah dengan pelaku kejahatan tetapi kerugian yang diakibatkan oleh tindakan pelaku membuat munculnya korban meskipun kesalahan itu sama.
     
        4. Korban lebih besar kesalahannya daripada pelaku
Kesalahan korban lebih besar untuk mendorong terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Adanya partisipasi dari korban sehingga memunculkan kesempatan untuk melakukan tindak pidana oleh pelaku kejahatan.
e    
       5. Korban yang satu-satunya bersalah
Dalam kasus ini, pelaku hanya melakukan pembelaan dan dapat dibebaskan karena kesalahan murni dilakukan oleh korban.
Dengan diketahuinya derajat kesalahan yang dilakukan oleh korban maka dapat dipahami bagaimana peran korban dalam keikut sertaannya menciptakan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Peran korban dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tindak pidana atau kejahatan, melihat perkembangan kejahatan itu dalam masyarakat sehingga dapat mengidentifikasi hal-hal apa yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana dan menimbulkan korban. Dengan begitu, suatu kejahatan dapat diminimalisir dengan pemahaman terhadap kesalahan yang dibuat oleh korban dan tidak selamanya harus menyalah kan perbuatan yang dialakukan oleh pelaku.
Untuk lebih memahami peranan korban maka perlu kiranya harus memahami tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari keadaan dan status korban, tipologi yang dimaksid adalah sebagai berikut[11] :
·         Unrelated Victims,yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan terjadinya korban.
Misalnya : pada kasus kecelakaan pesawat, dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya ada pada pelaku.
·         Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.
Misalnya : Perselingkuhan, diman korban juga dianggap sebagai pelaku.
·         Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
·         Biologically Weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban.
Misalnya : orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.
·         Socially Weak Victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban.
Misalnya : korban perdagangan perempuan, dll.
·         Self Victimizing Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Misalnya : pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.

Seberapa besar keberhasilan rencana kejahatan dan seberapa besar kemungkinan rencana kejahatan itu gagal terletak pada korban, artinya berhasil atau tidaknya rencana kejahatan atau tindak pidana tergantung pada tipologi calon korban seperti yang telah disebutkan dan diuraikan diatas.
Dengan adanya pembagian kesalahan korban dan penjelasan tipologi korban, maka dapat diketahui siapa yang cenderung menjadi korban (laten victim), tetapi keberhasilan pelaku untuk menciptakan korban tergantung dengan tipologi korban, apakah korban sesuai dengan keadaan tersebut sehingga mampu menjadi korban dari pelaku tindak pidana. Karena kejahatan adalah realisaasi keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan faktor tipologi korban atau keadaaan diri korban. 
Maka dari itu, dibutuhkan suatu perlindungan terhadap mereka yang dapat dikatakan sebagai laten victim dan didengar pendapatnya untuk mengetahui tindak pidana atau kejahatan apa yang telah merugikan korban dan apakah pelaku dapat dikatakan benar-benar bersalah atau tidak.
Dari uraian penjelasan mengenai tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban itu sendiri, selanjutnya kita akan melihat dari peranan korban dalam terjadinya suatu tindak pidana. Menurut Stephen Schafer sebagaimana dikutip oleh penulis yang mengatakan bahwa pada prinsipnya terdapat empat tipe korban yaitu sebagai berikut[12] :
1.      Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan terdapat pada pelaku
2.      Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. pada tipe ini, korban mempunyai peran atau andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3.      Mereka yang secara biologis dan sosial potensial dan menjadi korban. Tipe ini yaitu, anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban kejahatan. Korban semacam ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4.      Korban karena ia sendiri merupakan pelaku, inilah yang dikatakan korban tanpa pelaku kejahatan. Tipe ini yaitu, pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberpa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

C. Korelasi Antara Peran Korban dengan Sanksi Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam RUU Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur mengenai  Victim opinion statement yang memungkinkan hakim untuk menggunakan pendapat si korban sebagai sarana atau bahan guna penjatuhan pidana bagi si pelaku.  Dalam United Nation Conggress on the Prevention of Crime and The Treatment  of Offenders ke  VII yang temanya adalah pencegahan kejahatan untuk kebebasan, keadilan, kedamaian dan pembangunan. Salah satu topic yang dibahas secara mendalam adalah masalah korban kejahatan. Dalam kongres itu dihasilakan semacam draft deklarasi yang  didalamnya memuat rekomendasi agar korban kejahatan diberi hak untuk  to be present and to be heard at all critical stages of judicial proceeding.
Ketentuan mengenai perlu dipertimbangkan pendapat korban ini sesuai dengan model hak-hak prosedural (the procedural rights model) yang menekankan diberikan pada kemungkinan korban untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini korban-korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk  hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata. Pemberian hak ini akan menempatkan korban sebagai subyek yang diberi hak-hak yuridis yang  luas untuk menuntut kepentingan-kepentingannya.
Tetapi dengan diberikannya hak-hak prosedural kepada korban secara tidak langsung akan mengakibatkan kacaunya sistem peradilan pidana dimana komponen kejaksaan akan lebih pasif karena telah lebih banyak diserahkan kepada korban. Penggunaan asas preseumption if innoncence dapat saja tidak berlaku karena hakim akan lebih mementingkan keperluan korban (memunculkan keadilan retroaktif). Dengan kurangnya peran kejaksaan maka memungkinkan korban memperjuangkan kebenarannya secara emosional karena dengan tidak langsung korban diberi kesempatan untuk balas dendam, padahal dalam peradilan pidana, kejaksaan memiliki etika bagaimana dalam melihat dan memandang kesalahan yang dibuat oleh pelaku kejahatan.
Sayangnya, di Indonesia dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap korban menggunakan model pelayanan (services model) dimana korban (victim) tidak terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga menghilangkan hak-hak untuk memberikan perlindungan terhadap korban dengan memberikan kesempatan untuk didengar pendapatnya disetiap tingkatan (stage) proses peradilan. Jadi keadilannya bersifat retributive karena  orientasi hanya kepada pelanggar dan apa yang telah dilanggarnya tanpa meendengar dan melihat secara penuh apa yang telah terjadi pada korban.
Keterlibatan korban dianggap akan mengacaukan system pelayanan public, pelayanan terhadap korban adalah bagian dari pelayanan public karena jika korban ikut, maka aka nada kepentingan individu yang masuk dalam proses peradilan pidana. Sementara bagian dari tugas polisi secara eksplisit adalah bagian dari layanan piblik, maka dari itu, korban telah cukup diwakilkan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan saja karena dngan begitu dapat mengurangi beban korban. Dengan begitu, rasionalsasi reaksi terhadap kejahatan dapat berkurang karena dapat menghilangkan rasa dendam yang dapat menimbulakan kejahatan secara berbalas.
Kurangnya dalam model pelayanan ini, tindakan sewenang-wenang dapat terjadi dengan mengatasnamakan kepentingan public, dengan alasan kurangnya sarana dan prasarana dalam melaksanakan model pelayanan ini. Seharusnya, korban tidak harus diwakilkan oleh kebijakan public yang pada akhirnya akan menghilangkan hak-haknya sendiri, korban (victim) semestinya didengar pendapatnya karena menjadi dasar pertimbangan adanya peranan korban atau tipologi korban, dan bukan semata-mata hanya melihat pelanggar dan apa yang dilanggarnya, tetapi juga kepada kepentingan korban sehingga orientasi keadilan tidak berat sebelah.
Peranan korban atau tipologi korban dalam terjadinya tindak pidana perlu dijadikan sebagai acuan dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, apakah benar kesalahan itu mutlak dilakukan oleh pelaku tindak pidana atau tidak. Maka dari itu perlu pemahaman yang lebih dalam terhadap tipologi korban agar tidak  menimbulkan keadilan yang berat sebelah tanpa memandang kepentingan korban dan kepentingan pelanggar.
Pada dasarnya ada beberapa model yang berkembang baik di negara kontinental maupun di negara anglo saxon. Model ini tidak dapat dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan hidup yang harus dipilih melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas di dalam pelaksanaan proses peradilan pidana. Beberapa model sistem peradillan pidana dapat dijelaskan sebagai berikut:[13]          
1.      Crime Control Model
Dalam crime control model (CCM) didasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk mencapai tujuan yang amat tinggi ini, maka ccm menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan pada efesiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efesiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
Doktrin yang digunakan oleh CCM adalah apa yang dikenal dengan nama presumtion of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin ini maka CCM menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus semaksimal mungkin meskipun mengorbankan hak-hak asasi manusia.  
2.      Due Process Model
Model ini merupakan reaksi terhadap CCM, pada hakekatnya menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa proses pidana harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efesiensi belaka seperti CCM melainkan pada prosedur penyelesaian perkara. Pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah ini mencerminkan ideologi atau cita-cita cpm yang mengandung apa yang disebut anti cita-cita kesewenangan.
Berbeda dengan CCM yang didasarkan presumption of guilt maka pada DPM didasarkan pada presumption of innocence sebagai dasar nilai sistem peradilan. Oleh DPM dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhadap suatu kasus secara formal dan menemukan fakta secara obyekif di mana kasus seorang tersangka atau terdakwa didengar secara terbuka di muka persidangan dan penilaian atas tuduhan penuntut umum baru akan dilakukan setelah terdakwa membantah atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dan tuntutan bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam DPM.
  
3.      Family Model
Family model adalah suatu perumpamaan yang ada dalam keluarga kita yakni meskipun salah satu keluarga kita pukul, jewer namun dia tetap dalam kasih sayang tanpa memperlakukan sebagai orang jahat yang khusus (special criminal puple). Demikian pula terhadap penjahat, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai anggota masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang. Inilah gambaran dari family model.
Dalam sistem peradilan pidana ada beberapa tahapan, diantaranya adalah:
1.      Penyidikan
KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai berikut:[14]
“serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
a.       Ketentuan tentang alat-alat penyidik
b.      Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
c.       Pemeriksaan ditempat kejadian.
d.      Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e.       Penahanan sementara.
f.       Penggeledahan.
g.      Pemeriksaan atau interogasi.
h.      Berita acara.
i.        Penyitaan.
j.        Penyampingan perkara.
k.      Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya keada penyidik untuk disempurnakan.

2.      Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.[15]
Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyelidikan apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili.[16]
3.      Pemeriksaan Perkara di Persidangan
Pemeriksaan perkara ini dibagi menjadi tiga cara, yaitu:
a.       Pemeriksaan biasa
Pada pemeriksaan perkara biasa dalam undang-undang tidak mencantumkan batasan-batasan tentang perkara-perkara yang masuk dalam pemeriksaan biasa.
b.      Pemeriksaan singkat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan singkat adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.[17]
c.       Pemeriksaan cepat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat  adalah yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 baggian ini.[18]

BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Sistem peradilan pidana yang didalamnya terdapat model hak-hak prosedural (the procedural rights model) yang memberikan kesempatan kepada korban untuk berperan aktif dalam proses peradilan dengan diberikan hak untuk menuntut, membantu jaksa dan didengar keterangannya disetiap proses persidangan.
Dengan diberinya kesempatan kepada korban untuk turut serta berperan aktif dalam proses peradilan justru menimbulkan polemik dalam sistem peradilan pidana. Itu karena, dengan diberikannya hak tersebut korban akan bertindak sesuai dengan emosi dan kerugian yang dideritanya, tanpa memperhatikan seberapa besar kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku kejahatan.
Lain halnya dengan sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut model pelayanan (service model), peran aktif korban telah diwakilkan oleh jaksa penuntut umum untuk menuntut pelaku seberat-beratnya sesuai dengan keterangan korban itu dengan diperkuat oleh alat bukti lainnya  Pelaku juga diberi kesempatan untuk membela dirinya dengan memberikan keterangan. Dengan demikian hakim tidak hanya memandang kejahatan itu adalah mutlak perbuatan pelaku, melainkan bagaimana peran korban sehingga memberikan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana yang merugikan korban. Sehingga dalam menjatuhkan sanksi pidana dengan harapan mencapai keadilan hakim wajib memperhatikan peranan korban terlebih dahulu, bukan hanya berorientasi kepada pelaku tindak pidana saja yang .

2.      Saran
Seharusnya, korban tidak harus diwakilkan oleh kebijakan publik yang pada akhirnya akan menghilangkan hak-haknya sendiri, korban (victim) semestinya didengar pendapatnya karena menjadi dasar pertimbangan adanya peranan korban atau tipologi korban, dan bukan semata-mata hanya melihat pelanggar dan apa yang dilanggarnya, tetapi juga kepada kepentingan korban sehingga orientasi keadilan tidak berat sebelah.


 DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1985.
Prof. Dr. J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang Pessindo, Yogyakarta, 2006.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum, Semarang, 1997.
Bambang Waluyo, S.H, M.H., Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, PT. Eresco Bandung, 1995.
Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Pendekatan Viktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana,  Aspek Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban.
Drs.Dikdik M. Arief Mansur, S.H.,M.H. dan Elisatris Gultom, S.H.,M.H., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011.

Undang-Undang
KUHAP
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.



[1] Arief Gosita, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, PT. Eresco Bandung, 1995. Hlm. 158
[2] Prof. Dr. J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm. 7
[3]Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang Pessindo, Yogyakarta, 2006. Hlm, 17-18.
[4]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum, Semarang, 1997. Hlm, 51-52.
[5] Bambang Waluyo, S.H, M.H., Viktimologi, Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. 10
[6]Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
[7]Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1985 Hlm. 41.
[8]Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Pendekatan Viktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana, Aspek Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hlm. 157.
[9] Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban dalam Ibid, Hlm. 158.
[10] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H.,M.H.,dan Elisatris Gultom, S.H.,M.H., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 60
[11] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H.,M.H.,dan Elisatris Gultom, S.H.,M.H., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 49-50.
[12] Ibid, Hlm. 50
[13] Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011. Hlm. 43.
[14] Lihat Pasal 1 Angka 2 Kitab Hukum Acara Pidana.
[15] Lihat Pasal 1 Angka 7 Kitab Hukum Acara Pidana.
[16] Lihat Pasal 139 Kitab Hukum Acara Pidana.
[17] Lihat Pasal 203 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.
[18] Lihat Pasal 205 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.