BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Viktomologi
sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang mengkaji semua aspek yang berkaitan
dengan korban dalam berbagai kehidupan dan penghidupannya[1]. Viktimologi
dewasa ini merupakan gagasan atau pemikiran baru dalam ilmu kriminologi, karena
telah terjadi pergeseran pemikiran yang tidak lagi melihat kejahatan melalui
studi terhadap pelaku kejahatan itu sendiri akan tetapi mengarah pada korban
yang menjadi objek pelaku kejahatan.
Secara
terminologi, viktimologi adalah studi yang mempelajari korban, penyebab
terjadinya korban atau timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban
yang merupakan masalah manusia sebagai suatu pernyataan sosial. Namun, secara
singkat viktimolgi adalah ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban
dalam segala aspek dan fasenya[2]. Dalam
hal mempelajari korban serta penyebab-penyebab terjadinya tindak pidana, maka
viktimologi sendiri berkembang menjadi sarana dalam menanggulangi atau
mengantisipasi perkembangan kejahatan dan kriminalitas dalam bentuk tindak
pidana yang ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga viktimologi sendiri masuk
kedalam salah satu proses kebijakan publik.
Antisipasi
kejahatan ataupun kriminalitas yang berkembang dalam masyarakat meliputi
perkembangan frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas kejahatan dan
kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru dapat menjadi alasan dalam
penuangan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan korban tanpa
mengeyampingkan pelaku mutlak untuk dilakukan. Dalam tindak pidana, tidak
seutuhnya kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan murni perbuatan pelaku
kejahatan itu sendiri. Dalam melakukan tindak pidana, peran korban merupakan
andil yang cukup besar dalam terjadinya suatu tindak pidana. Sehingga tidak
hanya tindakan pelaku pidana saja yang harus ditelaah, tetapi bagaimana tindak
pidana itu terjadi dengan peran korban yang memberikan kesempatan kepada korban
itu menjadi obyek kejahatan pidana.
Peran
korban yang dianggap merupakan faktor pendukung selain pelaku dalam terjadinya
tindak pidana dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi pidana. Perlu dicari korelasi atau hubungan antara korban dan pelaku
kejahatan atau tindak pidana dalam menentukan kesalahan pelaku dan perlindungan
korban.
B.
Rumusan Masalah
Bertolak
dari latar belakang diatas, maka permasalahan yang diangkat adalah:
a. Apa
saja bentuk-bentuk peran korban dalam terjadinya tindak pidana?
b. Bagaimana
korelasi antara peran korban dengan sanksi pidana dalam sistem peradilan pidana?
C.
Tujuan
a. Untuk
mengetahui apa saja bentuk-bentuk peran korban dalam terjadinya tindak pidana.
b. Untuk
menganalisis bagaimana korelasi antara peran korban dengan sanksi pidana dalam
sistem peradilan pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korban
Sebagai
acuan definisi terkait korban tertuang dalam kesepakatan internasional, yaitu
dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres Perserikatan bangsa Bangsa (PBB)
Ke 7, yang kemudian menjadi resolusi MU PBB 40/34 tertanggal 29 Nopember 1995
tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and
Abuse of Power[3].
Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan
dari suatu kejahatan atau kriminalitas yang merupakan tindak pidana dari orang
lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.
Pengertian
korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah
orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian
akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku
disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam bagian lain dikemukakan khususnya sewaktu menjelaskan “Victims of Power”,
bahwa termasuk juga dalam pengertian “korban” orang-orang yang menjadi Korban
dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan
pelanggaran terhadap hukum pidana nasional, tetapi sudah merupakan pelanggaran
menurut norma HAM yang diakui secara internasional[4].
Pengertian
tentang korban juga dapat dilihat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara
pemberian perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu
menyatakan bahwa korban adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun[5]. Berdasarkan
definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.[6]
Menurut
Arif Gosita, pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi
yang menderita.[7]
Korban yang dimaksud oleh Arif Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik
swasta maupun pemerintah.
Pengertian
korban menurut Stanciu yang dikutip oleh Farhana menyatakan bahwa “the victim, in the broad sense, is who
suffer unjustly (from the latin victima, which signifiers the creature offered
in sacrifice to the gods). Thus, the two characteristics traits of the victim
are suffering and injustice. Suffering must be unjust and not necessary
illegal.”[8]
Menurut
Mardjono, mengenai korban meliputi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang
bersumber dari penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power)
seperti pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan, penipuan konsumen,
penyelewengan dalam bidang perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional
dan sebagainya, dan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuse of public power), seperti
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat
penguasa dan sebagainya.[9]
B.
Bentuk-Bentuk Peran Korban dalam Terjadinya Tindak Pidana
Korban
mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Perbuatan
pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan
oleh Samuel Welker, bahwa hubungan antara korban dan pelaku adalah hubungan
sebab akibat.[10]
Kejahatan
yang dilakukan pelaku tindak pidana bukan murni sebagai kejahatan yang
benar-benar dilakukan oleh pelaku kejahatan itu sendiri, melainkan peran korban
kejahatan sebagai obyek pelaku. Peran korban dalam terjadinya tindak pidana
merupakan faktor yang penting untuk mengetahui pelaku kejahatan dan tindak
pidana yang dilakukan terhadap korban. Sehingga, kesalahan itu tidak dilihat
dari pelaku, melainkan kesalahan korban perlu menjadi pertimbangan.
Menurut
Mendelshon, korban dapat dibagi atas derajat kesalahannya sebagai penyebab
timbulnya tindak pidana terhadap korban. Derajat kesalahan korban itu sendiri
dapat dibagi atas:
a
1. Korban
tanpa salah apapun
Kesalahan korban dalam suatu tindak
pidana benar-benar tidak ada perannya disini, karena peran pelakulah yang
menjadi faktor utama dalam terjadinya suatu tindak pidana yang telah
direncanakan ataupun secara tidak sengaja dilakukan oleh pelaku. Sehingga
korban murni sebagai obyek kesalahan yang dilakukan oleh pelaku.
b
2. Korban
karena kebodohannya
Dalam hal ini, seseorang menjadi korban
karena adanya kebodohan yang ada dalam diri korban sehingga memberikan
kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana. Kebodohan itu tidak hanya
dilihat dari kurangnya fisik maupun mental korban, tetapi kebodohan itu dapat
dilihat dengan kurangnya wawasan korban sehingga memungkinkan terjadinya tindak
pidana terhadap dirinya.
c
3. Korban
sama salah dengan pelaku
Korban melakukan tindak pidana yang
dalam kedudukan kesalahannya sama dengan kesalahan yang dilakukan pelaku.
Dengan secara tidak langsung korban juga melakukan suatu tindakan yang
sama-sama salah dengan pelaku kejahatan tetapi kerugian yang diakibatkan oleh
tindakan pelaku membuat munculnya korban meskipun kesalahan itu sama.
4. Korban
lebih besar kesalahannya daripada pelaku
Kesalahan korban lebih besar untuk
mendorong terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Adanya
partisipasi dari korban sehingga memunculkan kesempatan untuk melakukan tindak
pidana oleh pelaku kejahatan.
e
5. Korban
yang satu-satunya bersalah
Dalam
kasus ini, pelaku hanya melakukan pembelaan dan dapat dibebaskan karena
kesalahan murni dilakukan oleh korban.
Dengan diketahuinya derajat
kesalahan yang dilakukan oleh korban maka dapat dipahami bagaimana peran korban
dalam keikut sertaannya menciptakan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan.
Peran korban dapat dijadikan
sebagai acuan dalam menentukan tindak pidana atau kejahatan, melihat
perkembangan kejahatan itu dalam masyarakat sehingga dapat mengidentifikasi
hal-hal apa yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana dan menimbulkan
korban. Dengan begitu, suatu kejahatan dapat diminimalisir dengan pemahaman
terhadap kesalahan yang dibuat oleh korban dan tidak selamanya harus menyalah
kan perbuatan yang dialakukan oleh pelaku.
Untuk lebih memahami peranan korban
maka perlu kiranya harus memahami tipologi korban yang dapat diidentifikasi
dari keadaan dan status korban, tipologi yang dimaksid adalah sebagai berikut[11] :
·
Unrelated Victims,yaitu
korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan terjadinya korban.
Misalnya
: pada kasus kecelakaan pesawat, dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya ada
pada pelaku.
·
Provocative Victims, yaitu
seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.
Misalnya
: Perselingkuhan, diman korban juga dianggap sebagai pelaku.
·
Participating Victims,
yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong
dirinya menjadi korban.
·
Biologically Weak
Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk
menjadi korban.
Misalnya
: orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.
·
Socially Weak Victims,
yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka
menjadi korban.
Misalnya
: korban perdagangan perempuan, dll.
·
Self Victimizing
Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri.
Misalnya
: pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Seberapa
besar keberhasilan rencana kejahatan dan seberapa besar kemungkinan rencana
kejahatan itu gagal terletak pada korban, artinya berhasil atau tidaknya
rencana kejahatan atau tindak pidana tergantung pada tipologi calon korban
seperti yang telah disebutkan dan diuraikan diatas.
Dengan
adanya pembagian kesalahan korban dan penjelasan tipologi korban, maka dapat
diketahui siapa yang cenderung menjadi korban (laten victim), tetapi
keberhasilan pelaku untuk menciptakan korban tergantung dengan tipologi korban,
apakah korban sesuai dengan keadaan tersebut sehingga mampu menjadi korban dari
pelaku tindak pidana. Karena kejahatan adalah realisaasi keputusan yang diambil
dengan turut mempertimbangkan faktor tipologi korban atau keadaaan diri
korban.
Maka
dari itu, dibutuhkan suatu perlindungan terhadap mereka yang dapat dikatakan
sebagai laten victim dan didengar pendapatnya untuk mengetahui tindak pidana
atau kejahatan apa yang telah merugikan korban dan apakah pelaku dapat
dikatakan benar-benar bersalah atau tidak.
Dari
uraian penjelasan mengenai tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan
dan status korban itu sendiri, selanjutnya kita akan melihat dari peranan
korban dalam terjadinya suatu tindak pidana. Menurut Stephen Schafer
sebagaimana dikutip oleh penulis yang mengatakan bahwa pada prinsipnya terdapat
empat tipe korban yaitu sebagai berikut[12] :
1. Orang
yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe
ini, kesalahan terdapat pada pelaku
2. Korban
secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang
lain untuk melakukan kejahatan. pada tipe ini, korban mempunyai peran atau
andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan
korban.
3. Mereka
yang secara biologis dan sosial potensial dan menjadi korban. Tipe ini yaitu,
anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan
minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban
kejahatan. Korban semacam ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang
harus bertanggung jawab.
4. Korban
karena ia sendiri merupakan pelaku, inilah yang dikatakan korban tanpa pelaku
kejahatan. Tipe ini yaitu, pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberpa
kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah
korban karena ia juga sebagai pelaku.
C.
Korelasi Antara Peran Korban dengan Sanksi Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam RUU Perlindungan Saksi dan
Korban belum mengatur mengenai Victim opinion statement yang
memungkinkan hakim untuk menggunakan pendapat si korban sebagai sarana atau
bahan guna penjatuhan pidana bagi si pelaku.
Dalam United Nation Conggress on
the Prevention of Crime and The Treatment
of Offenders ke VII yang temanya adalah pencegahan kejahatan
untuk kebebasan, keadilan, kedamaian dan pembangunan. Salah satu topic yang
dibahas secara mendalam adalah masalah korban kejahatan. Dalam kongres itu
dihasilakan semacam draft deklarasi yang
didalamnya memuat rekomendasi agar korban kejahatan diberi hak
untuk to be present and to be heard at all critical stages of judicial
proceeding.
Ketentuan mengenai perlu
dipertimbangkan pendapat korban ini sesuai dengan model hak-hak prosedural (the procedural rights model) yang
menekankan diberikan pada kemungkinan korban untuk memainkan peranan aktif di
dalam proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini
korban-korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk
membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang
pengadilan dimana kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga
pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan
perdamaian atau peradilan perdata. Pemberian hak ini akan menempatkan korban
sebagai subyek yang diberi hak-hak yuridis yang
luas untuk menuntut kepentingan-kepentingannya.
Tetapi dengan diberikannya hak-hak
prosedural kepada korban secara tidak langsung akan mengakibatkan kacaunya sistem
peradilan pidana dimana komponen kejaksaan akan lebih pasif karena telah lebih
banyak diserahkan kepada korban. Penggunaan asas preseumption if innoncence dapat saja tidak berlaku karena hakim
akan lebih mementingkan keperluan korban (memunculkan keadilan retroaktif).
Dengan kurangnya peran kejaksaan maka memungkinkan korban memperjuangkan
kebenarannya secara emosional karena dengan tidak langsung korban diberi
kesempatan untuk balas dendam, padahal dalam peradilan pidana, kejaksaan
memiliki etika bagaimana dalam melihat dan memandang kesalahan yang dibuat oleh
pelaku kejahatan.
Sayangnya, di Indonesia dalam
menerapkan perlindungan hukum terhadap korban menggunakan model pelayanan (services model) dimana korban (victim) tidak terlibat dalam proses
peradilan pidana, sehingga menghilangkan hak-hak untuk memberikan perlindungan
terhadap korban dengan memberikan kesempatan untuk didengar pendapatnya
disetiap tingkatan (stage) proses
peradilan. Jadi keadilannya bersifat retributive karena orientasi hanya kepada pelanggar dan apa yang
telah dilanggarnya tanpa meendengar dan melihat secara penuh apa yang telah
terjadi pada korban.
Keterlibatan korban dianggap akan
mengacaukan system pelayanan public, pelayanan terhadap korban adalah bagian
dari pelayanan public karena jika korban ikut, maka aka nada kepentingan
individu yang masuk dalam proses peradilan pidana. Sementara bagian dari tugas
polisi secara eksplisit adalah bagian dari layanan piblik, maka dari itu,
korban telah cukup diwakilkan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan saja karena
dngan begitu dapat mengurangi beban korban. Dengan begitu, rasionalsasi reaksi
terhadap kejahatan dapat berkurang karena dapat menghilangkan rasa dendam yang
dapat menimbulakan kejahatan secara berbalas.
Kurangnya dalam model pelayanan
ini, tindakan sewenang-wenang dapat terjadi dengan mengatasnamakan kepentingan
public, dengan alasan kurangnya sarana dan prasarana dalam melaksanakan model
pelayanan ini. Seharusnya, korban tidak harus diwakilkan oleh kebijakan public
yang pada akhirnya akan menghilangkan hak-haknya sendiri, korban (victim) semestinya didengar pendapatnya
karena menjadi dasar pertimbangan adanya peranan korban atau tipologi korban,
dan bukan semata-mata hanya melihat pelanggar dan apa yang dilanggarnya, tetapi
juga kepada kepentingan korban sehingga orientasi keadilan tidak berat sebelah.
Peranan korban atau tipologi korban
dalam terjadinya tindak pidana perlu dijadikan sebagai acuan dalam menjatuhkan
sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, apakah benar kesalahan itu mutlak
dilakukan oleh pelaku tindak pidana atau tidak. Maka dari itu perlu pemahaman
yang lebih dalam terhadap tipologi korban agar tidak menimbulkan keadilan yang berat sebelah tanpa
memandang kepentingan korban dan kepentingan pelanggar.
Pada dasarnya ada beberapa model
yang berkembang baik di negara kontinental maupun di negara anglo saxon. Model
ini tidak dapat dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan
hidup yang harus dipilih melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa
dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas di dalam
pelaksanaan proses peradilan pidana. Beberapa model sistem peradillan pidana
dapat dijelaskan sebagai berikut:[13]
1.
Crime
Control Model
Dalam
crime control model (CCM) didasarkan
pada pernyataan bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses
peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk mencapai
tujuan yang amat tinggi ini, maka ccm menyatakan bahwa perhatian utama haruslah
ditujukan pada efesiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efesiensi
mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses
pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus
segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan
upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak
lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
Doktrin
yang digunakan oleh CCM adalah apa yang dikenal dengan nama presumtion of guilt (praduga bersalah).
Dengan doktrin ini maka CCM menekankan pentingnya penegasan eksistensi
kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku
kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat
pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus semaksimal mungkin meskipun
mengorbankan hak-hak asasi manusia.
2.
Due
Process Model
Model
ini merupakan reaksi terhadap CCM, pada hakekatnya menitikberatkan pada hak-hak
individu dan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang
penguasa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa proses pidana harus dapat
diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya ditekankan
pada maksimal efesiensi belaka seperti CCM melainkan pada prosedur penyelesaian
perkara. Pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah ini mencerminkan ideologi
atau cita-cita cpm yang mengandung apa yang disebut anti cita-cita
kesewenangan.
Berbeda
dengan CCM yang didasarkan presumption of
guilt maka pada DPM didasarkan pada presumption
of innocence sebagai dasar nilai sistem peradilan. Oleh DPM dituntut adanya
suatu proses penyelidikan terhadap suatu kasus secara formal dan menemukan
fakta secara obyekif di mana kasus seorang tersangka atau terdakwa didengar
secara terbuka di muka persidangan dan penilaian atas tuduhan penuntut umum
baru akan dilakukan setelah terdakwa membantah atau menolak tuduhan kepadanya.
Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dan tuntutan bagaimana
akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam DPM.
3.
Family
Model
Family model
adalah suatu perumpamaan yang ada dalam keluarga kita yakni meskipun salah satu
keluarga kita pukul, jewer namun dia tetap dalam kasih sayang tanpa
memperlakukan sebagai orang jahat yang khusus (special criminal puple). Demikian pula terhadap penjahat, jika ia
dipidana janganlah dianggap sebagai anggota masyarakat dan tetap dalam suasana
kasih sayang. Inilah gambaran dari family
model.
Dalam
sistem peradilan pidana ada beberapa tahapan, diantaranya adalah:
1. Penyidikan
KUHAP memberikan definisi penyidikan
sebagai berikut:[14]
“serangkaian
tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bagian-bagian
hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan
tentang alat-alat penyidik
b. Ketentuan
tentang diketahui terjadinya delik.
c. Pemeriksaan
ditempat kejadian.
d. Pemanggilan
tersangka atau terdakwa.
e. Penahanan
sementara.
f. Penggeledahan.
g. Pemeriksaan
atau interogasi.
h. Berita
acara.
i.
Penyitaan.
j.
Penyampingan perkara.
k. Pelimpahan
perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya keada penyidik untuk
disempurnakan.
2. Penuntutan
Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.[15]
Mengenai
kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil
penyelidikan apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan
negeri untuk diadili.[16]
3. Pemeriksaan
Perkara di Persidangan
Pemeriksaan perkara ini dibagi menjadi
tiga cara, yaitu:
a. Pemeriksaan
biasa
Pada
pemeriksaan perkara biasa dalam undang-undang tidak mencantumkan
batasan-batasan tentang perkara-perkara yang masuk dalam pemeriksaan biasa.
b. Pemeriksaan
singkat
Yang
dimaksud dengan pemeriksaan singkat adalah perkara kejahatan atau pelanggaran
yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.[17]
c. Pemeriksaan
cepat
Yang
dimaksud dengan pemeriksaan cepat adalah
yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan
ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 baggian ini.[18]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Sistem
peradilan pidana yang didalamnya terdapat model hak-hak prosedural (the procedural rights model) yang
memberikan kesempatan kepada korban untuk berperan aktif dalam proses peradilan
dengan diberikan hak untuk menuntut, membantu jaksa dan didengar keterangannya
disetiap proses persidangan.
Dengan
diberinya kesempatan kepada korban untuk turut serta berperan aktif dalam
proses peradilan justru menimbulkan polemik dalam sistem peradilan pidana. Itu
karena, dengan diberikannya hak tersebut korban akan bertindak sesuai dengan
emosi dan kerugian yang dideritanya, tanpa memperhatikan seberapa besar
kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku kejahatan.
Lain
halnya dengan sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut model pelayanan
(service model), peran aktif korban
telah diwakilkan oleh jaksa penuntut umum untuk menuntut pelaku
seberat-beratnya sesuai dengan keterangan korban itu dengan diperkuat oleh alat
bukti lainnya Pelaku juga diberi
kesempatan untuk membela dirinya dengan memberikan keterangan. Dengan demikian
hakim tidak hanya memandang kejahatan itu adalah mutlak perbuatan pelaku,
melainkan bagaimana peran korban sehingga memberikan kesempatan kepada pelaku
untuk melakukan tindak pidana yang merugikan korban. Sehingga dalam menjatuhkan
sanksi pidana dengan harapan mencapai keadilan hakim wajib memperhatikan
peranan korban terlebih dahulu, bukan hanya berorientasi kepada pelaku tindak
pidana saja yang .
2.
Saran
Seharusnya,
korban tidak harus diwakilkan oleh kebijakan publik yang pada akhirnya akan
menghilangkan hak-haknya sendiri, korban (victim)
semestinya didengar pendapatnya karena menjadi dasar pertimbangan adanya
peranan korban atau tipologi korban, dan bukan semata-mata hanya melihat
pelanggar dan apa yang dilanggarnya, tetapi juga kepada kepentingan korban
sehingga orientasi keadilan tidak berat sebelah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika
Pressindo, Jakarta, 1985.
Prof.
Dr. J.E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah
Bunga Rampai, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan
Dibidang Pertanahan, LaksBang Pessindo,
Yogyakarta, 2006.
Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan
Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum, Semarang, 1997.
Bambang
Waluyo, S.H, M.H., Viktimologi
Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Karya
Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai
Viktimisasi, PT. Eresco Bandung, 1995.
Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan
Pidana Pendekatan Viktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
dalam Farhana, Aspek
Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban.
Drs.Dikdik
M. Arief Mansur, S.H.,M.H. dan Elisatris Gultom, S.H.,M.H., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara
Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Rusli Muhammad, Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 2011.
Undang-Undang
KUHAP
Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
[1] Arief Gosita, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, PT. Eresco
Bandung, 1995. Hlm. 158
[2] Prof. Dr. J.E.
Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga
Rampai, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm. 7
[3]Muhadar, Viktimisasi Kejahatan
Dibidang Pertanahan, LaksBang
Pessindo, Yogyakarta, 2006. Hlm,
17-18.
[4]Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan
Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum, Semarang,
1997. Hlm,
51-52.
[5] Bambang
Waluyo, S.H, M.H., Viktimologi,
Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. 10
[6]Lihat Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
[8]Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan
Pidana Pendekatan Viktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
dalam Farhana, Aspek Perdagangan Orang Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hlm. 157.
[10] Drs. Dikdik M.
Arief Mansur, S.H.,M.H.,dan Elisatris Gultom, S.H.,M.H., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 60
[11] Drs. Dikdik M.
Arief Mansur, S.H.,M.H.,dan Elisatris Gultom, S.H.,M.H., Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 49-50.
[14] Lihat Pasal 1 Angka 2
Kitab Hukum Acara Pidana.
[16] Lihat Pasal 139 Kitab
Hukum Acara Pidana.