GBHN Dalam Sistem
Presidensil
Oleh.
Kardiansyah Afkar
Telah dimuat di koran harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, edisi 25 Februari 2016
Saat
ini wacana menghidupkan GBHN merupakan salah satu isu hangat yang menjadi
perdebatan dalam bidang ilmu politik dan hukum tata negara. Wacana menghidupkan
kembali GBHN lahir dari hasil Rapat Kerja Nasional PDI-P. Dari wacana tersebut timbul pelbagai pertanyaan mendasar
yaitu, pertama, apakah urgensitas
untuk menghidupkan kembali GBHN?, kedua, bagaimanakah
kedudukan GBHN dalam sistem Presidensil?.
Apabila
mengacu pada sejarah penyelenggaraan negara dan pelaksanaan pembangunan, GBHN
pernah dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu pada masa
pemerintahan presiden Soekarno dan Soeharto. Jika hal tersebut dihubungkan
dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia maka penulis berpandangan bahwa GBHN
bukanlah suatu hal yang urgen untuk dihidupkan kembali sebagai dasar haluan pembangunan
nasional yang berencana dan bertahap.
Arah
pembangunan nasional saat ini dianggap tidak memiliki dasar haluan yang dapat
dijadikan sebagai pedoman pembangunan jangka panjang. Jika hal itu yang
dijadikan sebuah dasar argumentasi atau
alasan untuk menghidupkan kembali GBHN, maka alasan tersebut dianggap sebagai
sebuah alasan yang tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar pemikiran
untuk mengidupkan GBHN. Karena berbicara persoalan arah pembangunan nasional
yang menyeluruh bahkan sampai pada perencanaan jangka panjang saat ini telah
diatur dalam UU. Hal tersebut diatur dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasioanl Tahun 2004 dan UU Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2007.
Dari
segi nomenklatur penamaan antara GBHN dengan kedua UU tersebut tentu merupakan dua
hal yang berbeda. Tetapi jika dilihat dari segi isi materi muatan antara UU dan
GBHN, substansi yang terkandung antara keduanya memiliki kesamaan dalam
menentukan arah pembangunan nasional, hanya saja dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Dengan dasar logika tersebut penulis berpendapat bahwa wacana
menghidupkan GBHN dengan berdalih untuk pembangunan dalam jangka panjang
hanyalah sebuah alasan manipulatif. Karena dibalik itu bisa saja ada
kepentingan lain yang akan dibawa ketika amandemen kelima UUD 1945 dilakukan .
Sebaiknya saat ini yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK ialah
menfokuskan pelaksanaan pembangunan yang sudah terencana sebagaimana visi-misi
mereka pada saat pencalonan presiden. Selain itu, yang perlu dilakukan oleh
pemerintah ialah memastikan semua pelaksanaan pembangunan terlepas dari
tindakan koruptif sebab tindakan dan perilaku koruptiflah yang dapat menghambat
jalannya pembangunan nasional (semesta) jangka panjang.
GBHN dan Sistem Presidensil
Dari
pengalaman bernegara, bangsa Indonesia pernah menggunakan GBHN sebagai dasar
haluan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun, dalam perjalanannya
GBHN pada saat itu ditentang oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai
produk pemerintahan yang otoriter. Sebab GBHN merupakan rancangan dari Presiden
(Soeharto) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya dijadikan sebagai
lembaga stempel presiden untuk mensahkan segala ketentuan yang dibuat Presiden
salah satunya menetapkan GBHN.
Berbicara
GBHN sebenarnya ada sesuatu hal yang menarik untuk dikaji kembali yaitu
mengenai kedudukan GBHN dalam sistem pemerintahan presidensil. Jika dilihat dari
perspektif hukum tata negara penulis berpandangan bahwa kedudukan GBHN dalam
sistem presidensil tidaklah tepat dan tidak dapat dikawinkan atau dipadukan.
Walaupun hal itu pernah diterapkan dalam praktek ketatanegaraan bangsa
Indonesia selama 32 tahun. Dari pengalaman menjadikan GBHN sebagai dasar haluan
bagi seorang Presiden dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan adalah merupakan
sebuah kekeliuran sepanjang sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Karena dalam sistem Presidensil seorang presiden
ialah pemegang kekuasaan tertinggi negara dan dalam menjalankan pemerintahannya
seorang Presiden hanya tunduk pada Konstitusi sebagai dasar haluan dalam
penyelenggaraan negara.
Menghidupkan
GBHN merupakan suatu penghianatan dan pengingkaran terhadap sistem presidensil.
Sebab GBHN merupakan perwujudan dari supremasi parlemen (sistem parlementer).
Karena GBHN merupakan produk dari supremasi parlemen maka dalam teori hukum
tata negara hal itu tidak dibenarkan untuk diterapkan dalam sistem presidensil.
Sebab hal itu dapat menyebabkan instabilitas pemerintahan karena presiden harus
menjalankan perintah parlemen/legislatif (MPR) dalam bentuk GBHN. Sehingga hal
ini dapat memicu konflik antara presiden dan MPR (DPD dan DPR) ketika presiden
keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh parlemen dalam hal ini keluar dari
ketentuan GBHN.
Dalam
kondisi saat ini saja tanpa adanya GBHN pemerintahan Jokowi-JK selalu mengalami
kegaduhan politik salah satunya yaitu ketika parlemen/legislatif (DPR)
melakukan impeachtman terhadap salah satu anggota kabinet Jokowi-JK. Ini
disebabkan karena semangat penyelenggaraan negara kita adalah semangat
parlementer. Dengan demikian, Menghidupkan GBHN merupakan titik balik lahirnya
kembali sistem parlementer serta merupakan suatu kemunduran dari konsolidasi
demokrasi ketatanegaraan Indonesia. Jika wacana menghidupkan GBHN terus
digembor-gemborkan maka itu merupakan suatu bentuk pembangkangan dari sistem
presidensil yang telah disepakati.