Kamis, 25 Februari 2016

GBHN Dalam Sistem Presidensil


                                             GBHN Dalam Sistem Presidensil
                                             Oleh. Kardiansyah Afkar
        Telah dimuat di koran harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, edisi 25 Februari 2016
 
Saat ini wacana menghidupkan GBHN merupakan salah satu isu hangat yang menjadi perdebatan dalam bidang ilmu politik dan hukum tata negara. Wacana menghidupkan kembali GBHN lahir dari hasil Rapat Kerja Nasional PDI-P. Dari wacana  tersebut timbul pelbagai pertanyaan mendasar yaitu, pertama, apakah urgensitas untuk menghidupkan kembali GBHN?, kedua, bagaimanakah kedudukan GBHN dalam sistem Presidensil?.
Apabila mengacu pada sejarah penyelenggaraan negara dan pelaksanaan pembangunan, GBHN pernah dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu pada masa pemerintahan presiden Soekarno dan Soeharto. Jika hal tersebut dihubungkan dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia maka penulis berpandangan bahwa GBHN bukanlah suatu hal yang urgen untuk dihidupkan kembali sebagai dasar haluan pembangunan nasional yang berencana dan bertahap.
Arah pembangunan nasional saat ini dianggap tidak memiliki dasar haluan yang dapat dijadikan sebagai pedoman pembangunan jangka panjang. Jika hal itu yang dijadikan sebuah dasar  argumentasi atau alasan untuk menghidupkan kembali GBHN, maka alasan tersebut dianggap sebagai sebuah alasan yang tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar pemikiran untuk mengidupkan GBHN. Karena berbicara persoalan arah pembangunan nasional yang menyeluruh bahkan sampai pada perencanaan jangka panjang saat ini telah diatur dalam UU. Hal tersebut diatur dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasioanl Tahun 2004 dan UU  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2007.
Dari segi nomenklatur penamaan antara GBHN dengan kedua UU tersebut tentu merupakan dua hal yang berbeda. Tetapi jika dilihat dari segi isi materi muatan antara UU dan GBHN, substansi yang terkandung antara keduanya memiliki kesamaan dalam menentukan arah pembangunan nasional, hanya saja dituangkan dalam bentuk undang-undang. Dengan dasar logika tersebut penulis berpendapat bahwa wacana menghidupkan GBHN dengan berdalih untuk pembangunan dalam jangka panjang hanyalah sebuah alasan manipulatif. Karena dibalik itu bisa saja ada kepentingan lain yang akan dibawa ketika amandemen kelima UUD 1945 dilakukan . Sebaiknya saat ini yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK ialah menfokuskan pelaksanaan pembangunan yang sudah terencana sebagaimana visi-misi mereka pada saat pencalonan presiden. Selain itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah ialah memastikan semua pelaksanaan pembangunan terlepas dari tindakan koruptif sebab tindakan dan perilaku koruptiflah yang dapat menghambat jalannya pembangunan nasional (semesta) jangka panjang.
GBHN dan Sistem Presidensil
Dari pengalaman bernegara, bangsa Indonesia pernah menggunakan GBHN sebagai dasar haluan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun, dalam perjalanannya GBHN pada saat itu ditentang oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai produk pemerintahan yang otoriter. Sebab GBHN merupakan rancangan dari Presiden (Soeharto) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya dijadikan sebagai lembaga stempel presiden untuk mensahkan segala ketentuan yang dibuat Presiden salah satunya menetapkan GBHN.
Berbicara GBHN sebenarnya ada sesuatu hal yang menarik untuk dikaji kembali yaitu mengenai kedudukan GBHN dalam sistem pemerintahan presidensil. Jika dilihat dari perspektif hukum tata negara penulis berpandangan bahwa kedudukan GBHN dalam sistem presidensil tidaklah tepat dan tidak dapat dikawinkan atau dipadukan. Walaupun hal itu pernah diterapkan dalam praktek ketatanegaraan bangsa Indonesia selama 32 tahun. Dari pengalaman menjadikan GBHN sebagai dasar haluan bagi seorang Presiden dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan adalah merupakan sebuah kekeliuran sepanjang sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Karena  dalam sistem Presidensil seorang presiden ialah pemegang kekuasaan tertinggi negara dan dalam menjalankan pemerintahannya seorang Presiden hanya tunduk pada Konstitusi sebagai dasar haluan dalam penyelenggaraan negara.
Menghidupkan GBHN merupakan suatu penghianatan dan pengingkaran terhadap sistem presidensil. Sebab GBHN merupakan perwujudan dari supremasi parlemen (sistem parlementer). Karena GBHN merupakan produk dari supremasi parlemen maka dalam teori hukum tata negara hal itu tidak dibenarkan untuk diterapkan dalam sistem presidensil. Sebab hal itu dapat menyebabkan instabilitas pemerintahan karena presiden harus menjalankan perintah parlemen/legislatif (MPR) dalam bentuk GBHN. Sehingga hal ini dapat memicu konflik antara presiden dan MPR (DPD dan DPR) ketika presiden keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh parlemen dalam hal ini keluar dari ketentuan GBHN.
Dalam kondisi saat ini saja tanpa adanya GBHN pemerintahan Jokowi-JK selalu mengalami kegaduhan politik salah satunya yaitu ketika parlemen/legislatif (DPR) melakukan impeachtman terhadap salah satu anggota kabinet Jokowi-JK. Ini disebabkan karena semangat penyelenggaraan negara kita adalah semangat parlementer. Dengan demikian, Menghidupkan GBHN merupakan titik balik lahirnya kembali sistem parlementer serta merupakan suatu kemunduran dari konsolidasi demokrasi ketatanegaraan Indonesia. Jika wacana menghidupkan GBHN terus digembor-gemborkan maka itu merupakan suatu bentuk pembangkangan dari sistem presidensil yang telah disepakati.