Jumat, 18 November 2016

Bupati di Gowa,Sombayya ri Gowa



Bupati di Gowa, Sombayya Ri Gowa

Oleh: Kardiansyah Afkar
Telah dimuat di media online Fajar.co.id. National News Networ pada tanggal 19 september 2016.

Kontroversi Peraturan Daerah tentang Lembaga Adat Daerah (Perda LAD) Gowa, saat ini merupakan salah satu isu yang menjadi perdebatan beberapa kalangan akademisi baik dari sejarahwan maupun hukum. Pada tulisan ini penulis lebih melihat dari segi aspek hukum tata negara mengenai pembentukan Perda tersebut. Adnan Purichta Yasin Limpo dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa Raja Gowa terakhir, Andi Idjo Mattawang Karaeng Lalolang, mengakui telah meleburkan kerajaannya pada NKRI, dan diangkat menjadi bupati pertama pada tahun 1946. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan DPRD dan Pemda Gowa membentuk Perda LAD, yang salah satu isi materi muatannya mengatur bahwa bupati sebagai ketua Lembaga Adat Daerah (LAD) yang menjalankan fungsi raja (sombayya). (kompas.com, 13/9/2016).
Perlu dipahami bahwa pernyataan Raja Gowa pada masa itu, yang menyatakan bergabung pada NKRI, tidak dapat diterjemahkan bahwa secara serta-merta telah menghilangkan eksistensi raja (sombayya) Gowa, sebab secara terminologi raja dan kerajaan merupakan hal yang berbeda. Penulis berpandangan bahwa pernyataan tersebut hanya berimplikasi terhadap kedudukan Kerajaan Gowa, yang mana dapat diartikan bahwa Kerajaan Gowa tidak lagi memiliki eksistensi secara politik dalam kerangka NKRI. Berbeda dengan kedudukan Sombayya (raja), yang mana eksistensinya masih diakui secara simbolik sampai saat ini. Bahkan pengakuan tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dengan undang-undang.
Apabila salah satu landasan pembentukan Perda LAD, berdasarkan atas pernyataan Sombayya (raja) Gowa pada masa itu, maka penulis menganggap bahwa alasan tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar pembentukannya, karena sangat bernuansa politis. Secara teoretis pembentukan suatu Perda, sebaiknya didasarkan pada teori pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni harus memenuhi aspek filosofis, historis, sosiologis, dan yuridis.

Menguji Keabsahan Perda LAD
Terlebih dahulu perlu kita memahami bahwa dalam pembentukan suatu Perda ada dua prinsip yang menjadi alasan mengapa Perda itu dibuat. Pertama, Perda itu dibuat untuk melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda itu dibuat untuk memuat dan mengatur kondisi-kondisi khusus dalam suatu wilayah/daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, misalnya: pendidikan, kesehatan, kebudayaan, pertanian, dan lain-lain. Adapun tujuan dari pembentukan Perda ialah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dalam proses pembentukannya hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah mendengarkan kemauan dan kehendak masyarakat (pasrtisipatif).
Dalam pembentukan suatu Perda ada dua hal yang harus terpenuhi yaitu syarat formal dan materil. Syarat formilnya lebih menitikberatkan pada mekanisme atau proseduralnya, sedangkan syarat materil lebih kepada isi atau materi muatannya, apakah Perda tersebut sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, jika suatu Perda tidak memenuhi syarat formil maupun materilnya maka dapat dibatalkan oleh pemerintah (Mendagri). Untuk menguji kesahihan lahirnya suatu Perda, apakah telah memenuhi syarat formil maupun materilnya, maka ada beberapa cara yang dapat ditempuh yaitu melalui jalur eksekutif review maupun judicial review di Mahkamah Agung.
Merujuk pada prinsip pembentukan suatu Perda yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis berpandangan bahwa Perda LAD, dapat dikategorikan sebagai Perda yang memuat dan mengatur suatu kondisi khusus, namun yang menjadi pertanyaan kemudian apakah Perda tersebut telah memenuhi prinsip pembentukannya, sebab dalam membentuk atau membuat suatu Perda yang sifatnya mengatur suatu kondisi khusus harus berpegang pada prinsip-prinsip pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara teoretis ada beberapa pertimbangan hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan Perda khusus antara lain; pertimbangan filosofis, menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum yang bersumber pertimbangan sosiologis, merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan atau mengisi kekosongan hukum. Selain itu aspek, dari aspek yuridisnya pembentukan Perda harus memiliki landasan atau dasar hukum yang jelas. Apabila salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi dalam pembentukan Perda LAD, maka Perda tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah (Mendagri).

Berkaca dari Yogyakarta
Kehadiran Perda LAD, yang memuat dan mengatur kondisi khusus di Gowa tentu berbeda dengan kondisi khusus keistimewaan Yogyakarta. Di Yogyakarta, eksistensi kerajaan dan raja masih diakui oleh negara, sehingga jabatan Gubernur diisi oleh raja, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pengaturan ini kondisi khusus Yogyakarta dengan keistimewaannya tentu berbeda dengan Perda LAD, dimana salah satu materi muatannya mengatur bahwa  Bupati diangkat menjadi Sombayya (raja). Hal ini berbanding terbalik dengan keistimewaan Yogyakarta, dimana Sultan (raja) diangkat sebagai Gubernur dan Paku Alam diangkat sebagai Wakil Gubernur berdasarkan undang-undang keistimewaan DIY. Jika kita mengacu pada keistimewaan Yogyakarta, maka yang diangkat menjadi Bupati Gowa ialah Sombayya (raja), bukan sebaliknya yakni bupati yang diangkat menjadi sombayya (raja). Tetapi hal ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi karena hal tersebut harus memiliki payung hukum yang jelas yaitu harus diatur dengan undang-undang yang bersifat khusus. Namun, penulis tidak melihat persoalan Perda LAD dari aspek tersebut.
 Apabila kita berkaca dari Yogyakarta, maka penulis berpendapat bahwa kehadiran Perda LAD, dapat dikatakan tidak sesuai dengan semangat kekhususan dan keistimewaan yang sudah dijamin oleh konstitusi bahwa negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta kebiasaan-kebiasaannya. Mengenai kedudukan Bupati Gowa dan Sombayya Ri Gowa, merupakan dua kekuasaan yang tidak dapat dileburkan menjadi satu yang mana kekuasaan tersebut dipegang oleh satu orang saja, karena Bupati dan Sombayya (raja) memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, kehadiran Perda LAD merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap masyarakat hukum adat yang sudah dijamin oleh konstitusi.   

                                                              








Pola Korupsi di Perguruan Tinggi


POLA KORUPSI DI PERGURUAN TINGGI
Oleh. Kardiansyah Afkar

INTISARI
Maraknya korupsi di Indonesia sampai saat ini belum dapat diberantas secara tuntas. Korupsi tidak lagi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sebab hampir setiap hari media cetak, elektronik dan televisi memberitakan kasus-kasus korupsi yang terjadi di seluruh penjuru tanah air. Saat ini korupsi tidak lagi mengenal ruang  dan waktu, karena hampir disetiap elemen kelembagaan baik institusi pemerintahan, non pemerintahan, ke-agamaan, pendidikan, swasta, dan lain sebagainya telah digerogoti tindakan dan perilaku koruptif.
Berdasarkan temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), di sektor pendidikan, kasus korupsi menempati posisi kedua dengan jumlah kerugian keuangan mencapai 2 (dua) triliun rupiah dalam rentang waktu tahun 2003-2013. Dari data ini telah menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan tidak luput pula dari praktik koruptif. Ketika dunia pendidikan sudah terjangkit virus korupsi maka bangsa ini benar-benar mengalami darurat korupsi, karena dunia pendidikan dapat dianggap sebagai lembaga yang jauh dari praktik korupsi serta merupakan salah satu tempat untuk membentuk karakter, mentalitas, dan moralitas para generasi muda penerus bangsa. Jika institusi-institusi pendidikan sudah digerogoti praktik koruptif, maka ini merupakan sebuah ancaman besar bagi bangsa Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan.
 Praktik koruptif yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi perlu mendapat perhatian dan respon cepat dalam rangka menyelamatkan dunia pendidikan Indonesia. Perguruan Tinggi seharusya bersih dari perilaku dan praktik koruptif tetapi hal ini tidak dapat terhindarkan dari virus-virus korupsi, hal ini dapat saja disebabkan oleh berbagai faktor misalnya; lemahnya sistem pengawasan internal (SPI), transparansi penggunaan anggara, dan lain-lain. Untuk menyelamatkan dunia pendidikan dari virus korupsi maka harus mendapat respon yang cepat serta dibutuhkan pula suatu langkah konkrit dengan melakukan pencegahan (preventif) untuk mencegah terjadinya praktik korupsi.
Dalam rangka untuk melakukan tindakan pencegahan terjadinya praktik korupsi di perguruan tinggi maka terlebih dahulu sangat penting untuk melakukan deteksi dini mengenai model-model praktik korupsi dalam dunia pendidikan. Hal ini perlu diketahui untuk dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan suatu model yang dapat diterapkan untuk melakukan pencegahan terhadap prkatik korupsi di perguruan tinggi. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui bagaimanakah pola korupsi di perguruan tinggi.

Kata kunci : Pola Korupsi di Perguruan Tinggi.


PATTERNS OF CORRUPTION IN UNIVERSITY
By. Kardiansyah Afkar

ABSTRACT
            Corruption in Indonesia has yet to be eradicated totally. It is no longer consider as taboo to talk about, because the print media, electronic and television publicized cases of corruption in all corners of the country for almost every day. Nowadays, corruption is no longer considering the space and time, because in  every element of institutions, either it is a government institutions, non-government, religious, educational, private, and so forth have been encroached by the action of corruption.
Based on the finding of Indonesian Corruption Watch (ICW), in the education sector, the corruption case placed second with a number of financial loss reached 2 (two) trillion rupiah in a span of years from 2003 to 2013. This finding shows that even in the aspect of education, there is a practice of corruption. When education is already infected with the virus of corruption, then this nation is really in an emergency, because education can be regarded as institutions away from corrupt practices and is one of the places for shaping the character, mentality and morality of the younger generation as the successor to the nation. If the educational institutions have been subverted with corruptive practices, it will represent a major threat to the Indonesian people, especially in education.
Corruptive practices occurring in universities need an immediate attention and quick response in order to save the world of education in Indonesia. College should be clean of corrupt practices and behaviour, but it can not be avoided from the virus of corruption, this can be caused by various factors such as; weak internal control system (SPI), the transparency of the use of budgets, and others. To save education from the virus of corruption then it must get a fast response and also needed a concrete step to prevent corruption.
In order to take action to prevent the occurrence of corruption in college, it is very important to get an early detection of the models of corrupt practices in education. It is need to be known thus it can be used as reference in formulating a model that can be applied for the prevention of corruption in college. Therefore, we must first determine how is the patterns of corruption in college.

Keywords: Patterns of Corruption in University.

A. Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Korupsi bukan lagi hal yang tabu untuk diperbincangkan sebab hampir setiap hari pemberitaan media menyajikan berita dan informasi mengenai kasus-kasus korupsi yang terjadi di berbagai berbagai sektor baik instansi pemerintahan maupun swasta. Tindak pidana korupsi banyak terjadi di instansi pemerintahan, terutama disektor pengelolaan anggaran yang besar (lahan basah). Oleh karena itu, di era sekarang ini, korupsi tidak lagi mengenal ruang dan tempat, bahkan hampir di seluruh instansi pemerintahan maupun non pemerintahan serta sektor swasta telah digerogoti virus yang bernama korupsi. Maka tak heran jika segala aspek kehidupan di negara ini sudah terkooptasi dengan masalah korupsi bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah praktik koruptif kini terjadi di Perguruan Tinggi saat ini tidak dapat terhindar dari praktik-prkatik koruptif.
Berdasarkan temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), di sektor pendidikan, kasus korupsi menempati posisi kedua dengan jumlah kerugian keuangan mencapai 2 (dua) triliun rupiah dalam rentang waktu tahun 2003-2013. Dari data ini telah menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan tidak luput pula dari praktik koruptif. Ketika dunia pendidikan sudah terjangkit virus korupsi maka bangsa ini benar-benar mengalami darurat korupsi, karena dunia pendidikan dapat dianggap sebagai lembaga yang jauh dari praktik korupsi serta merupakan salah satu tempat untuk membentuk karakter, mentalitas, dan moralitas para generasi muda penerus bangsa. Jika institusi-institusi pendidikan sudah digerogoti praktik koruptif, maka ini merupakan sebuah ancaman besar bagi bangsa Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan.
Perguruan Tinggi merupakan salah satu tempat untuk memberikan pendidikan anti korupsi, namun saat ini malah menjadi salah tempat terjadinya praktik korupsi. Perguruan Tinggi sebagai salah satu Badan Layanan Umum (BLU) memiliki peranan penting dalam mencetak generasi muda yang memiliki semangat  anti korupsi dalam rangka meneruskan tongkat esatafet perjuangan para foundin fathers, salah satunya adalah dengan memerangi praktik-praktik korupsi. Dengan demikian, tidak sterilnya Perguruan Tinggi dari praktik korupsi maka dibutuhkan suatu langkah konkrit untuk melakukan pencegahan dengan melakukan deteksi dini terhadap mengenai model praktik korupsi keuangan negara dalam lingkungan Perguruan Tinggi. 
2.      Rumusan Masalah
Dari uraian permasalahan yang telah diuraikan diatas tersebut, adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
1.      Bagaimanakah Pola Korupsi Keuangan Negara di Perguruan Tinggi?
B. Pembahasan
1.    Pengelolaan Keuangan Negara
Negara sebagai badan hukum publik memiliki fungsi yang wajib diembannya sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, yang meliputi; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) untuk memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial. Keempat hal tersebut tidak dapat terwujud apabila tidak ditopang dengan keuangan negara sebagai sumber pembiayaannya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan suatu pengelolaan keuangan negara yang baik agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaannya.
Menurut Rene Stours, dalam Adrian Sutedi menyatakan bahwa hakekat atau falsafah keuangan negara dalam hal ini APBN adalah The Constitutional Right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditure does not originates from the fact that the members of nation contribute the payments. This right is based in a loftier idea. The idea of sovereignty. Jadi, dapat dipahami bahwa pada hakekatnya public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan[1].
Pengelolaan keuangan Negara merupakan bagian dari pelaksanaan pemerintahan Negara. Pengelolaan keuangan Negara mempunyai arti luas dan sempit. Pengelolaan keuangan Negara dalam arti luas adalah manajemen keuangan Negara. Sedangkan dalam arti sempit, pengelolaan keuangan Negara adalah administrasi keuangan Negara atau tata usaha keuangan.[2] Pengelolaan keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan Negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertangungjawaban. Jadi ruang lingkup pengelolaan keuangan Negara meliputi:[3]
1)      Perencanaan keuangan Negara;
2)      Pelaksanaan keuangan Negara;
3)      Pengawasan keuangan Negara; dan
4)      Pertanggungjawaban keuangan Negara
2.    Pengelolaan Keuangan Perguruan Tinggi
Berdasarkan ketentuan Pasal 220B Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 disebutkan bahwa pengelolaan keuangan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyesuaian tata kelola keuangan tersebut diselesaikan paling lambat tanggal 31 Desember 2012.[4] Pola pengelolaan keuangan pada Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masayarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Hal yang dimaksudkan sebagai praktik bisnis yang sehat adalah proses penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa. 
Pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) merupakan bagian integral dari pengelolaan keuangan negara, sehingga pengelolaannya tidak boleh terlepas dari hukum keuangan negara.
3.      Pola Korupsi di Perguruan Tinggi
Korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan.[5] Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.[6] Di Indonesia Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang diatur dalam Bab II Pasal 2 yang menyebutkan bahwa korupsi adalah “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Berbicara pola perilaku korupsi di negara mana pun, termasuk di negeri ini, secara teoretis tidak lepas dari masalah birokrasi. Oleh karena itu, tidak ada korupsi yang tidak melibatkan birokrasi. Dengan demikian, perlu kiranya untuk mengetahui pola-pola korupsi dalam jejaring birokrasi agar dapat dilakukan suatu pencegahan, sehingga pemebrantasan korupsi tidak hanya difokuskan dengan mengadili para koruptor tetapi bagaimana melakukan suatu tindakan pencegahan yang dimulai dari sistem birokrasi.
Mengenai pola korupsi di Perguruan Tinggi sebenarnya hampir sama dengan pola-pola korupsi yang terjadi pada umumnya. Berikut ini ada beberapa pola-pola korupsi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengidentifikasi pola korupsi di Perguruan Tinggi. Pola-pola praktik korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa pola yaitu sebagai berikut:
1)      Pola Konvensional
Pola ini merupakan yang sangat sederhana yaitu suatu pola korupsi yang mana seseorang menggunakan uang kantor atau keungan negara secara langsung untuk keperluan pribadi.
2)      Pola kuitansi fiktif
Pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi atau yang dikenal sebagai pola penyelewengan. Contoh yang paling sederhana misalnya, seseorang membeli barang/jasa atau menyelenggarakan sebuah kegiatan. Bukti riel uang keluar yang harus pertanggungjawabkan oleh orang tersebut terhadap kantor tempat ia bekerja ialah berdasarkan dengan harga kuitansi asli barang/jasa tersebut. Namun, agar seseorang tersebut bisa mendapatkan keuntungan maka ia memalsukan kwitansi pembelian barang/jasa tersebut.
3)      Pola penyalahgunaan jabatan/wewenang
Pola ini merupakan salah satu pola yang paling banyak dilakukan oleh seseroang terutama dalam instansi pemerintah, swasta, dan penegak hukum. Pola inilah yang oleh masyarakat lazim disebut sebagai pungli, uang pelicin, sogok, suap dan lain-lain.
4)      Pola pemberian hadiah
Pola ini berupa pemberian hadiah dapat berupa uang atau barang misalnya hadiah lebaran, tahun baru dan natal. Dalam hal pemberian berupa barang selalu dipersentasekan dengan nilai persentase nilai transaksi yang telah disepakati. Pola ini kebanyakan dilakukan agar seseorang yang memberikan hadiah dapat mendapatkan keuntungan baik berupa proyek, promosi jabatan,dan lain sebagainya. 
5)      Pola trading in influence
Pola ini merupakan salah satu pola baru yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan atau pengaruh (kekuasaan). Pola ini lebih dikenal sebagi pola memperdagangkan pengaruh. Adapaun contoh dari pola ini dapat dilihat dari kasus papa minta saham yang dilakukan oleh mantan ketua DPR RI yaitu Setya Novanto, dan kasus yang masih hangat saat ini adalah kasus pengaturan kuota impor gula yang dilakukan oleh Irman Gusman, mantan ketua DPD RI.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat diketahui praktik pola-pola korupsi yang pada umumnya dilakukan baik dalam institusi pemerintahan, swasta, korporasi, maupun di perguruan tinggi. Untuk praktik korupsi di perguruan tinggi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola-pola korupsi tersebut diatas, hanya saja pola korupsi diperguruan tinggi lebih tertutup dengan rapih, misalnya kasus korupsi pengadaan lahan dan pembangunan gedung kampus.
Pada dasarnya pola korupsi yang terjadi di perguruan tinggi pada praktiknya memiliki kesamaan atau kemiripan dengan pola korupsi yang terjadi dalam sistem birokrasi. Berikut ini akan saya jelaskan pola-pola korupsi yang selama ini terjadi dalam sistem birokrasi di negeri ini. Adapun praktik korupsi yang terjadi dalam birokrasi yakni; pertama, perilaku korupsi dalam birokrasi secara umum berawal dari tidak profesionalnya para pelaku birokrasi dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara, kedua, pola perilaku korupsi di setiap instansi/institusi manapun sering kali melakukannya dengan cara tidak menenderkan suatu proyek yang semestinya harus ditenderkan sesuai dengan undang-undang, ketiga, pola perilaku yang sangat kotor dalam dalam jejaring birokrasi adalah korupsi yang dilakukan secara konspiratif, yang mana pola korupsi seperti ini melibatkan berbagai pihak dalam poros-poros kekuasaan atau para pengambil kebijakan publik dan politik (stakeholder).[7]
Untuk mencegah terjadinya praktik dan pola korupsi seperti tersebut diatas, tentunya diperlukan dukungan dari semua pihak dalam rangka melakukan pemberantasan korupsi. Sehingga sistem pengawasan ditiap-tiap institusi, lembaga-lembaga, maupun di perguruan tinggi memiliki peranan penting untuk mencegah praktik-praktik korupsi dalam bentuk dan model seperti apapun. Oleh karena itu, Satuan Pengawasan Internal (SPI) memiliki peranan penting dalam melakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. selain itu, dibutuhkan pula pengawasan eksternal dari masyarakat, LSM, dan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang anti korupsi.
             C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Praktik korupsi di perguruan tinggi dilakukan dengan beberapa pola yaitu pola konvensional, kuitansi fiktif, pemberian hadiah (gratifikasi), penyalahgunaan jabatan/wewenang dan pola perdagangan pengaruh. Pada dasarnya korupsi di perguruan tinggi memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan pola birokrasi, walaupun terdapat perbedaan hanya pada tataran cara melakukannya, namun polanya tetap sama dengan pola korupsi pada umumnya.  
2.      Saran
Untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dengan pola-pola tersebut, maka perlu untuk memperkuat kedudukan dan kewenangan Satuan Pengawasan Internal (SPI) di Perguruan Tinggi.


 Daftar Pustaka
    Buku-Buku
    Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta.   
    Saidi, Muhammad Djafar, 2011, Hukum Keuangan Negara, Cetakan ke-2, Rajawali Pers, Jakarta.
   Jeddawi, H. Murtir, 2009, Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi, Total  Media, Yogyakarta.
   Peraturan Perundang-undangan
   Peraturan Pemerintah Nomor. 66 Tahun 2010.
  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.
   Internet
   http://www.antikorupsi.org/en/content/pola-korupsi-dalam-birokrasi, di akses pada Tanggal 8 Oktober 2016.




[1] Adrian Sutedi, 2012, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.10.
[2] Ibid. hlm. 120                                                                                                
[3] Muhammad Djafar Saidi, 2011, Hukum Keuangan Negara, Cetakan ke-2, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 21.
[4] Pasal 220B Ayat (3) PP No. 66 Tahun 2010.
[5] H. Murtir Jeddawi, 2009, Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi, Total  Media, Yogyakarta, hlm. 62.
[6] Ibid.s

Kamis, 25 Februari 2016

GBHN Dalam Sistem Presidensil


                                             GBHN Dalam Sistem Presidensil
                                             Oleh. Kardiansyah Afkar
        Telah dimuat di koran harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, edisi 25 Februari 2016
 
Saat ini wacana menghidupkan GBHN merupakan salah satu isu hangat yang menjadi perdebatan dalam bidang ilmu politik dan hukum tata negara. Wacana menghidupkan kembali GBHN lahir dari hasil Rapat Kerja Nasional PDI-P. Dari wacana  tersebut timbul pelbagai pertanyaan mendasar yaitu, pertama, apakah urgensitas untuk menghidupkan kembali GBHN?, kedua, bagaimanakah kedudukan GBHN dalam sistem Presidensil?.
Apabila mengacu pada sejarah penyelenggaraan negara dan pelaksanaan pembangunan, GBHN pernah dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu pada masa pemerintahan presiden Soekarno dan Soeharto. Jika hal tersebut dihubungkan dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia maka penulis berpandangan bahwa GBHN bukanlah suatu hal yang urgen untuk dihidupkan kembali sebagai dasar haluan pembangunan nasional yang berencana dan bertahap.
Arah pembangunan nasional saat ini dianggap tidak memiliki dasar haluan yang dapat dijadikan sebagai pedoman pembangunan jangka panjang. Jika hal itu yang dijadikan sebuah dasar  argumentasi atau alasan untuk menghidupkan kembali GBHN, maka alasan tersebut dianggap sebagai sebuah alasan yang tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar pemikiran untuk mengidupkan GBHN. Karena berbicara persoalan arah pembangunan nasional yang menyeluruh bahkan sampai pada perencanaan jangka panjang saat ini telah diatur dalam UU. Hal tersebut diatur dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasioanl Tahun 2004 dan UU  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2007.
Dari segi nomenklatur penamaan antara GBHN dengan kedua UU tersebut tentu merupakan dua hal yang berbeda. Tetapi jika dilihat dari segi isi materi muatan antara UU dan GBHN, substansi yang terkandung antara keduanya memiliki kesamaan dalam menentukan arah pembangunan nasional, hanya saja dituangkan dalam bentuk undang-undang. Dengan dasar logika tersebut penulis berpendapat bahwa wacana menghidupkan GBHN dengan berdalih untuk pembangunan dalam jangka panjang hanyalah sebuah alasan manipulatif. Karena dibalik itu bisa saja ada kepentingan lain yang akan dibawa ketika amandemen kelima UUD 1945 dilakukan . Sebaiknya saat ini yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK ialah menfokuskan pelaksanaan pembangunan yang sudah terencana sebagaimana visi-misi mereka pada saat pencalonan presiden. Selain itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah ialah memastikan semua pelaksanaan pembangunan terlepas dari tindakan koruptif sebab tindakan dan perilaku koruptiflah yang dapat menghambat jalannya pembangunan nasional (semesta) jangka panjang.
GBHN dan Sistem Presidensil
Dari pengalaman bernegara, bangsa Indonesia pernah menggunakan GBHN sebagai dasar haluan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun, dalam perjalanannya GBHN pada saat itu ditentang oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai produk pemerintahan yang otoriter. Sebab GBHN merupakan rancangan dari Presiden (Soeharto) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya dijadikan sebagai lembaga stempel presiden untuk mensahkan segala ketentuan yang dibuat Presiden salah satunya menetapkan GBHN.
Berbicara GBHN sebenarnya ada sesuatu hal yang menarik untuk dikaji kembali yaitu mengenai kedudukan GBHN dalam sistem pemerintahan presidensil. Jika dilihat dari perspektif hukum tata negara penulis berpandangan bahwa kedudukan GBHN dalam sistem presidensil tidaklah tepat dan tidak dapat dikawinkan atau dipadukan. Walaupun hal itu pernah diterapkan dalam praktek ketatanegaraan bangsa Indonesia selama 32 tahun. Dari pengalaman menjadikan GBHN sebagai dasar haluan bagi seorang Presiden dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan adalah merupakan sebuah kekeliuran sepanjang sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Karena  dalam sistem Presidensil seorang presiden ialah pemegang kekuasaan tertinggi negara dan dalam menjalankan pemerintahannya seorang Presiden hanya tunduk pada Konstitusi sebagai dasar haluan dalam penyelenggaraan negara.
Menghidupkan GBHN merupakan suatu penghianatan dan pengingkaran terhadap sistem presidensil. Sebab GBHN merupakan perwujudan dari supremasi parlemen (sistem parlementer). Karena GBHN merupakan produk dari supremasi parlemen maka dalam teori hukum tata negara hal itu tidak dibenarkan untuk diterapkan dalam sistem presidensil. Sebab hal itu dapat menyebabkan instabilitas pemerintahan karena presiden harus menjalankan perintah parlemen/legislatif (MPR) dalam bentuk GBHN. Sehingga hal ini dapat memicu konflik antara presiden dan MPR (DPD dan DPR) ketika presiden keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh parlemen dalam hal ini keluar dari ketentuan GBHN.
Dalam kondisi saat ini saja tanpa adanya GBHN pemerintahan Jokowi-JK selalu mengalami kegaduhan politik salah satunya yaitu ketika parlemen/legislatif (DPR) melakukan impeachtman terhadap salah satu anggota kabinet Jokowi-JK. Ini disebabkan karena semangat penyelenggaraan negara kita adalah semangat parlementer. Dengan demikian, Menghidupkan GBHN merupakan titik balik lahirnya kembali sistem parlementer serta merupakan suatu kemunduran dari konsolidasi demokrasi ketatanegaraan Indonesia. Jika wacana menghidupkan GBHN terus digembor-gemborkan maka itu merupakan suatu bentuk pembangkangan dari sistem presidensil yang telah disepakati.