Selasa, 21 Juli 2015

Asas-Asas Pemerintahan Yang Baik

BAB I
PENDAHULUAN

     A.  Latar Belakang Masalah
Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak lagi mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Asas - asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Behoorlijk Van Bestuur/General Principle Of Good Administration) merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika. Asas - asas tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Asas ini sebagai perwujudan pemerintahan yang baik, baik dari sistem dan pelaksanaan pemerintahan. Pada dasarnya dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan – peraturan yang berlaku sehingga dapat merugikan masyarakat luas. Oleh sebab itu, sangat perlu adanya asas – asas pemerintahan untuk membatasi dari wewenang administrasi tersebut sehingga terhindar dari pelampauan wewenang. Dalam Perundangan-undangan formal kita yang tertulis sebagaimana yang tertuang dalam sebuah naskah UU. Di dalam UU tersebut sudah mengatur tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, UU RI No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN Pasal 1 (6) yaitu Asas umum pemerintah, Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
          B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah dalam penulisan makalah ini agar pembahasan didalam makalah ini tidak keluar dari konteks rumusan masalah yang telah ada. Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebaga berikut :
1.      Keunggulan dan kelemahan penggunaan asas umum pemerintahan yang baik ?
2.      Bagaimana kedudukan asas – asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum formal ?
BAB II
PEMBAHASAN
     A.  Sejarah Terbentuknya Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
Sejak dianutnya konsepsi welfare staat dan menimbulkan adanya kekuasaan freies Ermessen, timbulah suatu kekhawatiran dari warga Negara atas terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemerintah. Oleh karena itu pada tahun 1946 pemerintah Belanda membuat suatu komisi yang diketuai oleh De Monchy, Komisi ini selanjutnya disebut dengan komisi de Monchy.
Komisi ini bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative untuk meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Pada tahun 1950 komisi De Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang “verhoodgde rechtsbescherming” dalam bentuk Algemene Beginselen van Behorlijk Bestuur (ABBB) atau dapat pula disebut AAUPB. Namun, hasil dari penelitian komisi ini tidak seluruhnya disetujui pemerintah. oleh karena, itu komisi ini pada akhirnya dibubarkan dan dibentuk komisi yang baru, komisi ini bernama komisi van de Greenten dan komisi ini pun pada akhirnya dibubarkan juga.     
Dibubarkannya ke dua komisi diatas disebabkan karena pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya meningkatkan perlindungan hukum warga negaranya. Meskipun demikian ternyata hasil penelitian De Monchy ini digunakan dalam pertimbangan putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi. Dengan kata lain, walaupun AAUPB ini tidak mudah dalam memasuki wilayah birokrasi tetapi lain halnya dalam bidang peradilan.
Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur (ABBB). Di Inggris dikenal dengan The Principal of Natural Justice. Di Perancis disebut dengan Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique. Di Belgia disebut dengan Aglemene Rechtsbeginselen. Di Jerman dikenal sebagai Verfassung Prinzipien. Di Indonesia dikenal dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan yang baik (ABBB) dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis, namun tetap harus ditaati oleh pemerintah. Diatur dalam Wet AROB (Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yakni Ketetapan-Ketetapan Pemerintah dalam Hukum Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik.
Hal ini dimaksudkan bahwa asas - asas tersebut sabagai asas yang hidup dalam system pemerintahan yang perlu digali dan dikembangkan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa peradilan tata usaha Negara atau menguji suatu produk hukum.
       B. Macam – Macam AAUPB (Principle of Good Public Administration/ Algemene Behoorlijk  Van Bestuur) 
Didalam HAN kita dapat menemukan banyak asas – asas umum pemerintahan yang baik (Principle of good public administration/ Algemene behoorlijk van bestuur). Sebagaimana disebutkan oleh SF Marbun, SH dan Moh. Mahfud, SH dalam bukunya yang berjudul “pokok-pokok hukum administrasi Negara” . Adapun asas – asas umum pemerintahan yang baik tersebut dikategorikan ke dalam tiga belas asas yaitu sebagai berikut :
1.      Asas Kepastian Hukum  (principle legal of security)
2.      Asas Keseimbangan (principle of proportionality)
3.      Asas kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh (principle of equality)
4.      Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
5.      Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)
6.      Asas jangan mencampur-adukkan kewenangan (principle of non misuse of competence)
7.      Asas permainan yang layak (principle of fair play)
8.      Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitratriness)
9.      Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation)
10.   Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision)
11.   Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life)
12.   Asas kebijaksanaan (sapientia)
13.   Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).[1]

Asas – asas yang telah disebutkan diatas adalah asas – asas yang terdapat dalam hukum adminitrasi Negara tetapi ketiga belas asas tersebut tidak dapat diterapkan secara keseluruhan dalam system ketatanegaraan Indonesia. Hal ini disebabkan karna asas – asas peninggalan belanda itu ada yang tidak sesuai dengan system ketatanegaraan Indonesia.
Namun, dalam praktik system ketatanegaraan ada beberapa asas yang sering dipraktikkan oleh kelompok otoriterian hegemoni kekuasaan mayoritas yang berada pada posisi sutruktur politik yang akan bertindak melampaui batas - batas kewenangannya (willekeur) sehingga tindakan/kebijakan yang diambil dapat menyimpang dari hukum yang hidup (levend recht) yang pada awalnya menyangkut adagium supremacy of law berubah menjadi supremacy of power.
Adapun asas – asas yang sering dipraktikkan oleh kelompok otoriterian hegemoni kekuasaan mayoritas yaitu sebagai berikut :
1.      Asas netralitas dan tidak berpihak (fair play)
2.      Asas kecermatan (zorgvuldigheid)
3.      Asas sasarn yang tepat (zuiverheid van oogmerk)
4.      Asas keseimbangan (ovenwichtigheid equilibrium)
5.      Asas kepastian hukum (rechtzekerheids legal certainty)[2] 
Berbeda halnya dengan Prof Muchsan yang mengusulkan bahwa dengan melihat system politik hukum di indonesia maka hanya ada lima asas yang dapat digunakan dalam system ketatanegaraan Indonesia yaitu :
1.      Asas kepastian hukum (The principle of legal certainty)
2.      Asas kepatutan atau kepantasan, keterbukaan (The principle of fair play)
3.      Asas kecermatan atau kehati – hatian (The principle of carefulous)
4.      Asas keseimbangan (The principle of balance)
5.      Asas ketepatan menetapkan sasaran.[3]

      C.  Kedudukan Algemene Behoorlijk Van Bestuur (AAUPB) dalam Hukum Formal.
Sejauh pengetahuan penulis bahwa asas – asas umum pemrintahan yang baik belum pernah dituangkan secara resmi ke dalam suatu peraturan atau produk perunndang – undangan menjadi sebagai asas- asas umu pemerintahan, sehingga kekuatan hukumnya yang secara yuridis formal belum ada. Dalam hal ini, asas – asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) tidak memiliki kekuatan hukum sehingga penerapan asas tersebut dalam system ketatanegaraan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut penulis, asas – asas umum pemerintahan yang baik hanya merupakan sebuah peristilahan atau penyebutan saja yang dimana    materi – materi dari asas – asas tersebut hanya berserakan/tersebar diberbagai peraturan perundang – undangan atau hanya dalam yurisprudensi. Jadi, dapat dikataka bahwa asas – asas umum pemerintahan yang baik tidak ada peraturan formal yang secara khusus mengenai asas – asas itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa    asas – asas umum pemerintahan yang baik lebih mengikat secara moral dan etika atau sebagai sumber hukum yang bersifat doktrinal.
      D.  Fungsi dan Arti penting AAUPB
Pada awalnya, AAUPB dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan bahkan dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan perlindungan hukum (verhoodge rechtsbescherming) bagi warga negara dari tindakan pemerintah[4]. AAUPB selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan.
Menurut SF. Marbun, AAUPB memiliki arti penting dan fungsi berikut:
1.      Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat samar atau tidak jelas.
2.      Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986.
3.      Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN.
4.      Selain itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang.[5]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Menurut hemat penulis bahwa asas – asas umum pemerintahan yang baik dalam praktek ketatanegaraan maupun dalam hukum tata Negara yang berlaku dalam system ketatanegaraan Indonesia mendapat kedudukan yang sangat penting dalam system administrasi Negara atau pemerintahan walaupun belum ada peraturan prundang – undangan yang mengatur tentang asas – asas umum pemerintahan yang baik sehingga kekuatan hukumnya secara yuridis formal belum ada. Namun, asas – asas tersebut bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan melahirkan norma – norma dan norma – norma yang dilahirkan akan dijadikan sebagai suatu landasan untuk penggunaan atau penerapan dari asas – asas umum pemerintahan yang baik.

 DAFTAR PUSTAKA

Amos, HF. Abraham. Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Rajawali Pers, Jakarta,  2005
HR, Ridwan. (2008). Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta, 2008
SF Marbun, Moh. Mahfud. Pokok - Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987
Prof. Muchsan, Materi Kuliah politik Hukum, Yogyakarta, 2014
 Nomensen Sinamo. Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2010


[1] SF Marbun,SH. Moh. Mahfud, SH. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm 59-60
[2] HF Abraham Amos. Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm 108
[3] Muchsan, Materi Kuliah Politik Hukum, 2014
[4]Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 251
[5] Nomensen Sinamo. Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2010, hlm 142-143

OTONOMI DAERAH



BAB I
 PENDAHULUAN
           A.    Latar Belakang Masalah

Berdasarkan UUD NRI 1945 sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa  “Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik”[1]. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (local goverment) . Sebagai negara unitaris Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut 2 dua nilai dasar yaitu nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial yang pengejawantahannya berupa otonomi daerah. Sehingga negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Konsep Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi menghendaki adanya pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah otonom, namun kekuasaan asal tetap berada pada pemerintahan pusat. Konsep Negara Kesatuan dengan sistem desentralistik diejawantahkan dalam Pasal 18 dan penjelasannya yang kemudian diamandemen menjadi Pasal 18, 18A dan 18B.
Pasal 18, 18A dan 18B memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan desentralisasi yang menekankan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dan menekankan pada pengakuan kekhususan dan keistimewaan satuan-satuan pemerintahan. Pasal 18 UUD 1945 amandemen melahirkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berbicara konsep otonomi daerah pasca reformasi terdapat pemahaman yang menimbulkan penafsiran dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang terdapat dalam UU UU No 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan. Dalam  UU No. 32/2004 Jo PP No 38/2007 mengandung penafsiran kecenderungan kearah resentralisasi kewenangan yaitu dengan dianutnya paham pembagian urusan, dimana pembagian urusan dirinci menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dengan urusan yang sama baik untuk pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 13 dan Pasal 14). Dan pembagian urusan baik urusan wajib dan urusan pilihan menjadi urusan bersama "concurrent" yang diselenggarakan Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
           
           B.     Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Adapun rumusan permasalahan dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep hubungan kewenangan yang cocok untuk NKRI dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah
Menurut Clarke dan Stewart[2] model hubungan pemerintah pusat dan daerah secara teoritis dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu :
1)      The Relative Autonomy Model. Model ini memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat serta tetap berpegang teguh pada urusan-urusan pembantuan dalm konteks negara kesatuan.
2)      The Agency Model. Pada model ini pemerintah daerah tidak memiliki kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya hanya terlihat sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakasanaan pemerintah pusatnya.
3)      The Interaction Model. Model ini merupakan suatu model di mana keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah.
Pengaturan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam hal hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Regulasi mengenai hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan di analisis agar tidak terdapat kendala serta menghindari terjadinya permasalahan dalam penyelenggaraan dan pelakasanaan pemerintahan secara keseluruhan (pusat-daerah). Dengan adanya satuan pemerintahan daerah tentu telah menimbulkan dan melahirkan sebuah konsekuensi akan lahirnya sebuah konsep pembatasan dan pembagian kekuasaan sebagai salah satu unsur dalam konteks negara hukum yang di tuangkan dalam bentuk undang-undang.
Pembatasan dan pembagian kekuasaan dalam hal hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dibagi dalam dua bentuk yaitu pembatasan dan pembagian kekuasaan secara horisontal dan vertikal.  Pertama, pembatasan dan pembagian kekusaan secara horizontal yaitu suatu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar (trias politika) yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua, pembatasan dan pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintahan nasional (pusat) dengan pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam konsep negara kesatuan, federasi dan konfederasi.
Dalam sistem negara kesatuan, seperti halnya negara Indonesia dapat ditemukan dua cara yang dapat menghubungkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yaitu sebagai berikut[3] :  
a)      Sentralisasi, yaitu segala urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan berada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi.
b)      Desentralisasi, yaitu dimana urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.
Dari kedua cara tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pelimpahan melalui dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang kepada perangkat aparat secara vertikal yang berada pada hirarkinya didaerah. Sedangkan, penyerahan dalam rangka desentralisasi merupakan pendelegasian urusan kepada daerah otonom.
Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah menurut Ismail Sunny, sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda[4] terdapat ada lima tingkatan yaitu :
a)      Negara kesatuan dengan otonomi terbatas
b)      Negara Kesatuan dengan otonomi luas.
c)      Negara quasi federal dengan provinsi atas kebaikan pemrintah pusat
d)     Negara federan dengan pemerintahan federal (Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Swiss)
e)      Negara Konfederasi.
Apabila dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan yang secara desentralisasi atau otonomi maka dapat menunjukkan beberapa hal yaitu sebagai berikut[5]:
1)      Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
2)      Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien.
3)      Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif
4)      Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

 B.      Konsep Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam NKRI dan  Pelaksanaan Otonomi Seluas-luasnya.
Seiring dengan pilar Negara hukum yaitu asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Jadi, secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi dan mandat.
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini, H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :[6]
a)      Attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuurrsorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
b)      Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada pemerintahan lainnya).
c)      Mandat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengisinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).
Van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek mengatakan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi disebutkan bahwa, Atribusi yaitu berkenaan dengan penyerahan wewenang yang baru, sedangkan Delegasi  yaitu menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa delagsi secara logis selalui didahului oleh atribusi).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang sangat luas, maka alat administrasi Negara (bestuur) sebagai pelaksana pemerintahan diberi kewenagan yang bebas (vrije bestuur, freies ermessen) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah dapat mengambil tindakan yang cepat dan tepat serta berfaedah dalam menjalankan tugas pemerintahan dan kenegaraan. Irfan Fahruddin berpendapat bahwa untuk kepentingan pengurusan Negara dan masyarakat, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh alat administrasi Negara diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang untuk melaksanakan tugasnya[7].  
Terkait kewenangan Gubernur sebagai Kepala Daerah, dapat dikaji/dianalisis dengan menggunakan beberapa teori tentang kewenangan yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Menganalisis kewenangan Gubernur dengan menggunakan teori-teori kewenangan tersebut barulah dapat menentukan sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah. Landasan kewenangan dalam penyelenggaraan wewenang Gubernur sebagai kepala daerah dapat dianalisis dengan menggunakan tiga teori. Pertama, landasan kewenangan atas dasar atribusi. Atas dasar landasan kewenangan ini maka wewenang yang ada pada alat administrasi negara atau pejabat administrasi negara sifatnya melekat, tidak bisa dialihkan dan tidak dapat dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar mandat, yakni bahwa wewenang itu diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari pejabat kepada subjek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi mandat dan tanggungjawab pemberi mandat. Ketiga, kewenangan atas dasar delegasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pejabat administrasi negara kepada subjek hukum lain untuk bertindak atas nama sendiri dan atas tanggungjawab sendiri, pelimppahan wewenang tersebut dilakukan pejabat lain yang bersifat horizontal.[8]
Negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu, Pertama, negara kesatuan dengan sistem sentralisasi. Negara kesatuan dengan sistem ini bahwa segala sesuatu dalam negara kesatuan  segalanya diatur dan diurus langsung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya melaksanakan segala yang di instruksikan oleh pemerintah pusat.  Kedua, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Bahwa dalam sistem ini pemerintah pusat memberikan kesempatan, kekuasaan atau kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang disebut sebagai daerah otonom.
Menurut Sri Soemantri sebagaimana dikutip oleh Ni’matu Huda[9] dalam bukunya mengatakan bahwa pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, akan tetapi karena masalah itu merupakan hakikat daripada negara kesatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan hubungan pusat dan daerah dalam konsep negara kesatuan sangatlah penting. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mengenai daerah otonom bukanlah semata-mata karena amanat UUD NRI 1945 sebagaimana yang diamanat dalam pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B.
Dalam suatu negara kesatuan, pada dasarnya semua urusan pemerintahan berada pada pemerintah pusat tetapi urusan pemerintahan tersebut dapat didelegasikan, dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintah yang lebih rendah melalui pembentukan undang-undang. Dengan keterlibatan satuan pemerintahan yang lebih rendah atau pemerintah dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan dapat dilaksanakan dengan melalui beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan seperti asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan dan asas kebijaksanaan. Perlu diketahui bahwa pengelompokkan antara asas desentralisasi dan dekonsentrasi masih menimbulkan perbedaan dan perdebatan, sebab menurut beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah dinyatakan sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Muh. Fauzan[10] bahwa desentralisasi bukanlah asas melainkan suatu proses, yang termasuk asas adalah otonomi dan tugas pembantuan. Demikian juga dengan dekonsentrasi, sebenarnya bukan merupakan asas, tetapi proses atau cara penyelenggaraan sesuatu[11].
Dari uraian penjelasan tersebut diatas, Muh. Fauzan menyimpulkan bahwa terdapat dua pandangan mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi yaitu sebagai berikut[12] :
1)      Dari aspek yuridis formal bahwa desentralisasi maupun dekonsentrasi kedua-duanya merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan
2)      Desentralisasi maupun dekonsentrasi kedua-duanya bukan merupakan asas, melainkan proses penyelnggaraan pemerintahan.
Jika kita melihat dalam pengaturan UUD NRI 1945 hasil amandemen tidak mengatur pengelompokkan antara desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UUD NRI 1945 yang merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan adalah asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (2) yang menentukan bahwa “pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urursan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”[13].
Tidak diaturnya asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam konstitusi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan dari pasal 18 UUD NRI 1945 hasil amandemen dalam perspektif teoritis bukanlah suatu permasalahan yang sangat fundamental dan hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena pengertian umum desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat. Dengan demikian, dekonsentrasi dalam pengertian umum dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran.  
Apabila mengacu pada Pasal 18 UUD NRI 1945, sebagaimana yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis berpandangan bahwa dalam konstitusi negara Indonesia hanya dikenal ada dua asas yaitu asas otonomi dan asas tugas pembantuan. Dengan demikian, pada konteks negara kesatuan Indonesia penyelenggaraan pemerintahan dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan daerah hanya dapat digunakan asas otonomi dan asas tugas pembantuan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa dalam hubungan penyelenggaraan antara pemerintah pusat dan daerah dapat diterapkan kedalam dua metode atau mekanisme yaitu sebagai berikut:
1)   Untuk Pemerintah Provinsi konsep hubungan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan yaitu asas tugas pembantuan.
2)   Untuk pemerintah daerah kabupaten konsep hubungan kewenangan yang diberikan yaitu asas otonomi seluas-luasnya.
Metode tersebut diatas sebaiknya diterapkan dalam konsep hubungan kewenangang antara pemerintah pusat dengan pemerintah yang lebih rendah (provinsi dan kabupaten). Sebab metode tersebut lebih cocok bagi konteks negara kesatuan terutama bagi Indonesia. Karena metode tersebut dapat memberikan efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan juga dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Hal ini juga dimkasudkan agar pemerintah pusat masih dapat mengontrol segala pelaksanaan pemerintahan sebagai bentuk tugas pembantuan dari pemerinah pusat. Sedangkan untuk daerah kabupaten diberikan otonomi seluas-luasnya, karena pemerintah kabupatenlah yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga wajar apabila otonomi seluas-luasnya diberikan ke daerah kabupaten saja. Hal ini dimaksudkan guna percepatan pembangunan, dan dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat.  
   
BAB III
PENUTUP 
            A.    Kesimpulan
Bahwa dalam konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI tahun 1945 sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 18 hanya ada dua asas yaitu asas otonomi dan asas tugas pembantuan. Maka untuk konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya dapat diterapakn kedua asas tersebut sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Sehingga penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah dapat digunakan metode yaitu. Pertama, Untuk Pemerintah Provinsi konsep hubungan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan yaitu asas tugas pembantuan. Kedua, Untuk pemerintah daerah kabupaten konsep hubungan kewenangan yang diberikan yaitu asas otonomi seluas-luasnya. Untuk menerapkan hal tersebut tentunya dibutuhkan suatu regulasi yang baru untuk mengatur konsep hubungan kewenangan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Ni’Matul Huda, S.H.,M.Hum., Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2009.
__________., Otonomi Daerah, filosofi, sejarah perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar, Cetakan ketiga, 2013.
DR. Ni’Matul Huda., Desentralisasi Asimetris Dalam  NKRI, Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus., Nusa Media, Bandung, 2014
Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, UNY Press, Yogyakarta, 2011.
Dr. Muhammad Fausan, S.H., M. Hum. Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. PKHD FH UNSOED kerjasama UII Press, Yogyakarta, 2006.


[1] Lihat Pasal 1, UUD NRI 1945.
[2] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2009. Hlm. 12
[3] Dr. Muhammad Fausan, S.H., M. Hum. Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. PKHD FH UNSOED kerjasama UII Press, Yogyakarta, 2006. Hlm. 2
[4] Ni’matul Huda, S.H., M. Hum., Otonomi Daerah, filosofi, sejarah perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar, Cetakan ketiga, 2013, Hlm. 87-88.  
[5] Ni’matul Huda, Otonomi daerah …., Ibid, Hlm. 89
[6] Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Hlm. 104-105
[7] Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik,UNY Press, Yogyakarta, 2011. Hlm. 88
[8]Ibid. hlm. 87-88.
[9] Lihat Ni’matul Huda, Pemerintahan Daerah, Hlm. 29
[10] Dr. Muhammad Fauzan, S.H., M.H., Op. Cit.  Hlm. 39.
[11] Ibid                                                                                                                                                                   
[12][12] Op. Cit. Hlm. 40
[13] Lihat Pasal 18 UUD NRI 1945 (hasil amandemen)