Selasa, 21 Juli 2015

Kedudukan Daerah Istimewa Menurut UUD 1945




KEDUDUKAN DAERAH ISTIMEWA MENURUT UUD NRI 1945[1]
Oleh. Kardiansyah Afkar[2]

Apabila kita melakukan penjelajahan dan penelaahan lebih jauh dari historis pembentukan aturan dasar negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Dalam penulusuran itu maka dapat diketahui bahwa orang yang pertama kali membahas mengenai masalah pemerintahan daerah adalah Moh. Yamin. Dalam pembentukan UUD 1945 dia membahas masalah pemerintahan daerah, hal itu dapat dilihat dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 yang mana dalam sidang tersebut Moh. Yamin  mengatakan:
“Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan Dalam, Pangreh Praja”[3]. 
Dasar dari regulasi mengenai tentang pemerintahan daerah maupun daerah istimewa di Indonesia telah diatur di dalam konstitusi  (UUD NRI 1945). Di dalam konstitusi telah diatur mengenai kedudukan daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Hal tersebut dapat dilihat dalam Bab VI UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagaimana yang tertuang dalam pasal 18 yang berbunyi :
“pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”[4].
Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan pada jaman sebelum Republik Indonesia merdeka. Yang dimaksud dengan daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan pada jaman sebelum Republik Indonesia memunyai pemerintahan yang bersifat istimewa ialah yang pada jaman pemerintahan Hindia-Belanda merupakan “zelfbrsturende landschappen[5].
Pasca amandemen UUD 1945 kedudukan daerah yang bersifat istimewa atau bersifat khusus semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam konstitusi hal itu dapat dilihat dari penambahan pasal dalam Bab VI UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan Daerah antara lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B. Dari penambahan pasal tersebut  mengenai pengakuan terhadap daerah yang bersifat istimewa dan bersifat khusus serta pengakuan terhadap masyarakat hukum dengan adat istiadatnya diatur dalam Pasal 18B yang berbunyi :
1)      Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2)      Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang[6].
Pengakuan negara terhadap daerah-daerah yang bersifat istimewa dan bersifat khusus tak dapat dipungkiri hal itu dapat pula ditemukan dalam perjalanan perrgantian konstitusi negara Indonesia. Dalam konstitusi RIS 1949 kedudukan daerah istimewa diatur secara khusus pada Pada Bagian III tentang Daerah Negara, Republik Indonesia Serikat diatur secara khusus. Adapun pengakuan keberadaan dan kedudukan daerah istiwewa dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dapat dilihat pada Pasal 2, Pasal 64 dan Pasal 65 Konstitusi RIS 1949 [7]. Namun, pengaturan daerah istimewa dalam konstitusi RIS tetap memperoleh jaminan tetapi konsepsi tentang daerah istimewa dalam konstitusi RIS berbeda dengan konsepsi yang di UUD 1945. Karena dalam UUD 1945 daerah yang bersifat istimewa dinamakan dengan zelfbesturende landschappen, sedangkan dalam konstitusi RIS daerah istimewa disebut dengan daerah Swapraja.
Secara konstitusi negara mengakui kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa telah memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan didaerahnya. Namun, perlu diketahui pula bahwa hak-hak daerah istimewa tersebut berupa hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimilikinya sejak semula atau hak yang bersifat autochtoon.
Menurut Ni’matul Huda[8] hak-hak asal usul yang dimiliki daerah istimewa itu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :
1)      Hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan. Ini adalah tersirat dari kata-kata “susuna asli”.
2)      Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin
3)      Hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggraan dan pembebanan terhadap masyarakat.

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan UU. No. 3 Tahun 1950
Mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta pembentukannya secara hukum itu sejak disahkannya UU No.3 tahun 1950. Tetapi pada dasarnya Peraturan mengenai daerah istimewa dalam hal ini Yogyakarta pertama kali muncul sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Sehubungan dengan kedudukan daerah istimewa Jogjakarta didalam undang-undang tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 1 yang menyatakan bahwa “Komite Nasional Daerah diadakan di Jawa dan Madura (kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta dan surakarta) di Karesidenan di kota berotonomi, kabupaten dan lain-lain daerah yang dipandang perlu oleh menteri dalam negeri…”[9]. Dengan demikian, dari penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah maka dapat dikatakan bahwa secara de facto Daerah Istimewa Yogyakarta sesungguhnya telah lahir sejak dalam kancah revolusi yang telah melalui sebuah proses antara tanggal 5 September 1945 sampai pada tanggal 18 Mei 1946 dan secara de jure bahwa pengakuan Daerah istimewa Yogyakarta barulah ada terjadi pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang ditetapkan pada tanggal 3 Maret 1950[10].  Akan tetapi pada dasarnya bahwa sesungguhnya ke-Istemewaan Yogyakarta telah ada sejak sebelum bangsa Indonesia merdeka. Pada jaman pemerintahan Hindia-Belanda kedudukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa telah mendapatkan pengakuan dari pemerintahan pada masa itu.
 Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dapat juga dilihat dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Daerah Istimewa. Dalam undang-undang tersebut dapat dilihat beberapa ketentuan dalam pasal-pasal dan penjelasannya yang mengatur mengenai kedudukan daerah istimewa, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi:
Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan undang-undang pembentukan termasuk dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istiewa yang setingkat dengan provinsi, kabupaten atau/desa, yang berhak dan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”[11].
Pengaturan tentang daerah istimewa semakin jelas lagi disebutkan dalam penjelasan pasal 1 yang berbunyi :
“yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dengan daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dan dinamakan sebagai zelfbesturende landschappen”[12].
Dari beberapa undang-undang ynag telah disebutkan diatas yang mengatur mengenai kedudukan daerah istimewa di Indonesia dapatlah disimpulkan bahwa bangsa ini sangat menghormati dan menghargai hak-hak asal usul tiap-tiap daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Tetapi daerah istimewa yang telah diberikan ke-istemewaan atau ke-khususan oleh pemerintah tetap diatur mengenai persoalan hubungannya dengan pemerintah pusat mengingat ke-istimewaan yang dimiliki merupakan pemberian dan pengakuan negara. Maka daerah istimewa dalam menjalankan pemerintahannya tetap menjaga hubungan antara pusat dan daerah serta berpegang pada prinsip tugas pembantuan maupun desentralisasi.


   Note : beberapa undang-undang yang berhubungan daerah istimewa atau khusus antara lain :
                    1)      UU. 1 Tahun 1945
                    2)      UU. 3 Tahun 1950
                    3)      UU. 22 Tahun 1948
                    4)      UU. 1 Tahun 1957
                    5)      UU. 18 Tahun 1965
                    6)      UU 5 Tahun 1974 Jo UU 22 Tahun 1999 Jo UU. 32 Tahun 2004 Jo UU. 23 tahun 2014    Jo UU. 9 Tahun 2015.
                    7)      UU. 13 Tahun 2012 DIY
 

[1] Disampaikan dalam diskusi “Ratu untuk Jogjakarta Emansipasi atau Politisasi” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) UGM.2015
[2] Ketua Forum Kajian Konstitusi dan Lembaga Negara (FKKLN). 
[3] Ni’matul Huda, Otonomi daerah, cetakan ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013. Hlm. 1
[4] Lihat Pasal 18 UUD NRI 1945
[5] R. Joeniarto, S.H., Perkembangan Pemerintahan Lokal, Cetakan keempat, Bumi Aksara, Jakarta, 1992. Hlm. 88
[6] Lihat UUD NRI 1945
[7] Lihat Pasal 2, Konstitusi RIS 1949.
[8] Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung, 2014. Hlm. 90.
[9] Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang kedudukan Komite Nasional Daerah.
[10] Ni’matul Huda, Ibid. Hlm. 23
[11] Lihat Pasal 1, undang-undang nomor 22 tahun 1948
[12] Lihat Penjelasan undang-undang nomor 22 tahun 1948

Tidak ada komentar:

Posting Komentar