KEDUDUKAN
DAERAH ISTIMEWA MENURUT UUD NRI 1945[1]
Oleh.
Kardiansyah Afkar[2]
Apabila
kita melakukan penjelajahan dan penelaahan lebih jauh dari historis pembentukan
aturan dasar negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Dalam penulusuran itu
maka dapat diketahui bahwa orang yang pertama kali membahas mengenai masalah
pemerintahan daerah adalah Moh. Yamin. Dalam pembentukan UUD 1945 dia membahas
masalah pemerintahan daerah, hal itu dapat dilihat dalam sidang BPUPKI tanggal
29 Mei 1945 yang mana dalam sidang tersebut Moh. Yamin mengatakan:
“Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan
jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian
bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai
Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan Dalam, Pangreh Praja”[3].
Dasar dari
regulasi mengenai tentang pemerintahan daerah maupun daerah istimewa di
Indonesia telah diatur di dalam konstitusi
(UUD NRI 1945). Di dalam konstitusi telah diatur mengenai kedudukan
daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Hal tersebut dapat dilihat
dalam Bab VI UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagaimana yang tertuang dalam pasal
18 yang berbunyi :
“pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”[4].
Daerah-daerah
yang mempunyai hak-hak asal-usul dan pada jaman sebelum Republik Indonesia
merdeka. Yang dimaksud dengan daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul
dan pada jaman sebelum Republik Indonesia memunyai pemerintahan yang bersifat
istimewa ialah yang pada jaman pemerintahan Hindia-Belanda merupakan “zelfbrsturende landschappen”[5].
Pasca
amandemen UUD 1945 kedudukan daerah yang bersifat istimewa atau bersifat khusus
semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam konstitusi hal itu dapat dilihat
dari penambahan pasal dalam Bab VI UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan Daerah
antara lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B. Dari penambahan pasal tersebut mengenai pengakuan terhadap daerah yang
bersifat istimewa dan bersifat khusus serta pengakuan terhadap masyarakat hukum
dengan adat istiadatnya diatur dalam Pasal 18B yang berbunyi :
1)
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.
2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang[6].
Pengakuan
negara terhadap daerah-daerah yang bersifat istimewa dan bersifat khusus tak
dapat dipungkiri hal itu dapat pula ditemukan dalam perjalanan perrgantian
konstitusi negara Indonesia. Dalam konstitusi RIS 1949 kedudukan daerah
istimewa diatur secara khusus pada Pada Bagian III tentang Daerah Negara,
Republik Indonesia Serikat diatur secara khusus. Adapun pengakuan keberadaan
dan kedudukan daerah istiwewa dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
dapat dilihat pada Pasal 2, Pasal 64 dan Pasal 65 Konstitusi RIS 1949 [7].
Namun, pengaturan daerah istimewa dalam konstitusi RIS tetap memperoleh jaminan
tetapi konsepsi tentang daerah istimewa dalam konstitusi RIS berbeda dengan
konsepsi yang di UUD 1945. Karena dalam UUD 1945 daerah yang bersifat istimewa
dinamakan dengan zelfbesturende
landschappen, sedangkan dalam konstitusi RIS daerah istimewa disebut dengan
daerah Swapraja.
Secara
konstitusi negara mengakui kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa
telah memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan
pemerintahan didaerahnya. Namun, perlu diketahui pula bahwa hak-hak daerah
istimewa tersebut berupa hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari
pemerintah dan hak yang telah dimilikinya sejak semula atau hak yang bersifat autochtoon.
Menurut
Ni’matul Huda[8] hak-hak
asal usul yang dimiliki daerah istimewa itu secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Hak asal-usul yang menyangkut struktur kelembagaan.
Ini adalah tersirat dari kata-kata “susuna asli”.
2) Hak asal-usul yang menyangkut ketentuan dan prosedur
tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimpin
3) Hak asal-usul yang menyangkut penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan dengan penyelenggraan dan
pembebanan terhadap masyarakat.
Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta Dengan UU. No. 3 Tahun 1950
Mengenai
Daerah Istimewa Yogyakarta pembentukannya secara hukum itu sejak disahkannya UU
No.3 tahun 1950. Tetapi pada dasarnya Peraturan mengenai daerah istimewa dalam
hal ini Yogyakarta pertama kali muncul sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Sehubungan dengan
kedudukan daerah istimewa Jogjakarta didalam undang-undang tersebut dapat
dilihat dalam penjelasan Pasal 1 yang menyatakan bahwa “Komite Nasional Daerah
diadakan di Jawa dan Madura (kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
surakarta) di Karesidenan di kota berotonomi, kabupaten dan lain-lain daerah
yang dipandang perlu oleh menteri dalam negeri…”[9].
Dengan demikian, dari penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah maka dapat dikatakan bahwa secara de facto Daerah Istimewa Yogyakarta
sesungguhnya telah lahir sejak dalam kancah revolusi yang telah melalui sebuah
proses antara tanggal 5 September 1945 sampai pada tanggal 18 Mei 1946 dan
secara de jure bahwa pengakuan Daerah istimewa Yogyakarta barulah ada
terjadi pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang
ditetapkan pada tanggal 3 Maret 1950[10]. Akan tetapi pada dasarnya bahwa sesungguhnya
ke-Istemewaan Yogyakarta telah ada sejak sebelum bangsa Indonesia merdeka. Pada
jaman pemerintahan Hindia-Belanda kedudukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa
telah mendapatkan pengakuan dari pemerintahan pada masa itu.
Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dapat juga
dilihat dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Daerah Istimewa. Dalam undang-undang
tersebut dapat dilihat beberapa ketentuan dalam pasal-pasal dan penjelasannya
yang mengatur mengenai kedudukan daerah istimewa, hal tersebut dapat dilihat
dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi:
“Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum
Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan
undang-undang pembentukan termasuk dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai
daerah istiewa yang setingkat dengan provinsi, kabupaten atau/desa, yang berhak
dan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”[11].
Pengaturan
tentang daerah istimewa semakin jelas lagi disebutkan dalam penjelasan pasal 1
yang berbunyi :
“yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dengan daerah-daerah yang
mempunyai hak-hak asal usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai
pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa ialah yang pada zaman pemerintahan
Hindia Belanda dan dinamakan sebagai zelfbesturende landschappen”[12].
Dari
beberapa undang-undang ynag telah disebutkan diatas yang mengatur mengenai
kedudukan daerah istimewa di Indonesia dapatlah disimpulkan bahwa bangsa ini
sangat menghormati dan menghargai hak-hak asal usul tiap-tiap daerah dalam
menjalankan pemerintahannya. Tetapi daerah istimewa yang telah diberikan
ke-istemewaan atau ke-khususan oleh pemerintah tetap diatur mengenai persoalan
hubungannya dengan pemerintah pusat mengingat ke-istimewaan yang dimiliki
merupakan pemberian dan pengakuan negara. Maka daerah istimewa dalam
menjalankan pemerintahannya tetap menjaga hubungan antara pusat dan daerah
serta berpegang pada prinsip tugas pembantuan maupun desentralisasi.
Note : beberapa undang-undang yang berhubungan daerah istimewa atau
khusus antara lain :
1) UU. 1 Tahun 1945
2) UU. 3 Tahun 1950
3) UU. 22 Tahun 1948
4) UU. 1 Tahun 1957
5) UU. 18 Tahun 1965
6) UU 5 Tahun 1974 Jo UU 22 Tahun 1999 Jo UU. 32 Tahun
2004 Jo UU. 23 tahun 2014 Jo UU. 9 Tahun 2015.
7) UU. 13 Tahun 2012 DIY
[1]
Disampaikan dalam diskusi “Ratu untuk Jogjakarta Emansipasi atau
Politisasi” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP)
UGM.2015
[2]
Ketua Forum Kajian Konstitusi
dan Lembaga Negara (FKKLN).
[3]
Ni’matul Huda, Otonomi daerah, cetakan ketiga, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2013. Hlm. 1
[4]
Lihat Pasal 18 UUD NRI 1945
[5]
R. Joeniarto, S.H., Perkembangan Pemerintahan Lokal, Cetakan
keempat, Bumi Aksara, Jakarta, 1992. Hlm.
88
[6]
Lihat UUD NRI 1945
[7]
Lihat Pasal 2, Konstitusi RIS
1949.
[8]
Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian
terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus, Nusa Media,
Bandung, 2014. Hlm. 90.
[9]
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945 Tentang kedudukan Komite Nasional Daerah.
[10]
Ni’matul Huda, Ibid. Hlm. 23
[11]
Lihat Pasal 1, undang-undang
nomor 22 tahun 1948
[12]
Lihat Penjelasan undang-undang
nomor 22 tahun 1948
Tidak ada komentar:
Posting Komentar