Polemik Sabda Raja yang
dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Bawono X telah menimbulkan kontroversi dan
protes dikalangan internal keraton maupun kalangan masyarakat Jogja. Sultan HB
X mengeluarkan Sabda Raja pada kamis (30/4) dan Dhawuh Raja pada Selasa (5/5) (Kompas, 9 April 2015). Substansi dari
isi kedua Sabda Raja itu adalah mengganti
nama GKR. Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono
Langgeng in Mataram serta menghapuskan
gelar khalifatullah. Isi dari kedua Sabda Raja tersebut dianggap sangat bertentangan
dengan tradisi keraton yang telah dijalankan selama ini.
Jejak
Ratu-Ratu di Nusantara
Ada beberapa literatur klasik kekuasaan dan mitos
perempuan yang
telah mengisi sejarah perjalanan perempuan. Literasi tersebut mungkin dapat dijadikan
sebagai dasar rujukan bagi seorang perempuan dalam mengisi kepemimpinan. Jejak-jejak
sejarah kepemimpinan perempuan dalam menjalankan pemerintahan di nusantara tidak kalah dengan sejarah kepemimpinan
laki-laki.
Sejarah perjalanan kepemimpinan ratu-ratu di nusantara dapat dilihat dari sejarah perjalanan kepemimpinan mereka. Jejak sejarah itu dapat
dilihat dari beberapa kepemimpinannya yaitu jejak Ratu Sinuhun yang pernah memimpin Palembang dari tahun 1616-1628,
Dayang Lela (1790) yang
menggantikan suaminya Jaya Kusuma untuk memimpin Kerajaan Mempawa di Kalimantan Barat. Dan di Sulawesi Selatan pada abad 19 ada
beberapa ratu yang pernah memimpin yaitu
Daeng Pasuli dari daerah Sawito, Adi Matanang dari Rapang, Siti Aisya dari Barru, dan I
Madina Daeng Bau dari daerah Lakiang (Hayati, 2010; Sadi, H & Bungkundapu, Y, 2013). Dari jejak kepemimpinan ratu-ratu di nusantara itu
semakin diperpanjang dengan kepemimpinan ratu We Tanri Ole yang
pernah memerintah Ternate. Bahkan Kerajaan Aceh yang menggunakan syariat Islam
pernah memiliki ratu diantaranya yaitu ratu Nur Ilah (wafat 1380) dan Ratu Nahrasiyah
(wafat 1428) keduanya
berasal dari Kerajaan Samudra Pasai. Sedangkan di tanah Jawa kepemimpinan seorang ratu semakin dipertegas oleh sejarah kepemimpinan Ratu Pramodhawardhani
yang menggantikan
kepemimpinan ayahnya Samaratungga sebagai Raja Mataram Kuno pada
pertengahan abad ke-8. Dari sejarah perjalanan ratu-ratu nusantara tersebut apakah hal itu
dapat dapat dijadikan sebagai rujukan terhadap polemik keraton Jogjakarta ?
Tradisi, Emansipasi ataukah Politisasi
Dari sejarah jejak-jejak ratu nusantara diatas
maka dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah perjalanan kepemimpinan perempuan
(ratu) di nusantara dalam menduduki
jabatan sebagai kepala pemerintahan (ratu) dalam sistem kerajaan dianggap
sah-sah saja. Jika hal tersebut dikaitkan dalam konteks keraton Jogjakarta
tentu masih menimbulkan perdebatan, apakah dalam keraton yogyakarta perempuan
dinilai dapat menjadi ratu (Sulthanah) atau tidak?. Jika dilihat dari historis
dan tradisi yang dijalankan oleh keraton yogyakarta selama ini maka perempuan
dinilai tidak dapat menjadi pemimpin (ratu) karena dianggap bertentangan/melanggar
tradisi.
Namun, jika dilihat dari isi Sabda
Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X yang mana Sabda Raja tersebut merupakan
keputusan hukum yang tertinggi dalam sistem kerajaan yang tak dapat diganggu gugat
lagi oleh siapapun. Tetapi yang menjadi permasalahannya saat ini adalah tidak hanya persoalan tradisi tetapi
permasalahannya juga terletak pada UU No. 13 tahun 2012 tentang D.I.Y. Sebab
dalam undang-undang ke-istemewaan DIY sebagaimana yang telah diatur dalam pasal
18 mengenai pengisian jabatan Gubernur
yang mana dalam pasal tersebut mengatur bahwa gubernur adalah seorang sultan
(raja) dan melampirkan identitas istri. Sehingga secara otomatis jabatan
gubernur DIY haruslah seorang raja yang selalu di identikkan dengan laki-laki.
Akan tetapi penulis berpandangan bahwa pasal tersebut dapat diberlakukan secara a contra rio, bahwa jika seorang perempuan yang akan mengisi jabatan
gubernur di DIY maka dia melampirkan identitas suami dan tentunya berstatus
sebagai seorang ratu.
Persoalannya
kemudian adalah dapatkah Sabda Raja dijadikan sebagai dasar hukum untuk
melakukan judicial review terhadap UU No. 13 tahun 2012?. Hal ini masih mengalami
perdebatan karena ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Sabda Raja tidak
masuk dalam hirarki pembentukan peraturan perundang-undangan dan Sabda Raja
hanya berlaku pada internal keraton jogjakarta saja dan tidak dapat mengatur/berlaku
ke publik. Tetapi penulis berpandangan lain bahwa Sabda Raja dapat dijadikan
sebagai dasar pertimbangan hukum untuk melakukan judicial review terhadap pasal
18 undang-undang nomor 13 tahun 2012 tentang DIY. Sebab Sabda Raja yang
dikeluarkan oleh Sultan HB X merupakan tradisi baru yang akan dibangun bahwa
dalam pengisian jabatan gubernur tidak selalu di identikkan dengan raja
(sultan) tetapi juga memberikan peluang kepada perempuan (ratu/sulthana). Sabda
Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X tersebut sangat pekah terhadap emansipasi
perempuan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD NRI pasal 27 ayat (1)
bahwa “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Sabda Raja tersebut merupakan pengejewantahan dari
amanat konstitusi. Jika kita menganalisisnya lebih jauh lagi penulis
berpandangan bahwa dalam pengisian jabatan gubernur DIY saat ini tidak lagi
sesuai dengan perkembangan masyarakat (demokrasi) sebagaimana dalam pasal 18B
UUD NRI 1945 terdapat klausul “masih
hidup dan sesuai perkembangan masyarakat”. Dari klausul tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengisian jabatan gubernur DIY saat ini dianggap tidak lagi
sesuai dengan perkembangan demokrasi karena menutup ruang bagi perempuan. Semestinya
pengisian jabatan gubernur DIY tidak menutup ruang bagi perempuan dan penulis
berpandangan bahwa pengisian jabatan gubernur DIY saat ini harusnya berdasarkan
keturunan saja apakah itu saudara atau diturunkan ke anak Sultan HB X. Untuk
menerapkan hal ini dibutuhkan suatu regulasi baru melalui perubahan
undang-undang ke-istemewaan Yogyakarta.
Polemik Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X
tersebut dari beberapa kalangan menganggap bertentangan dengan tradisi keraton
jogjakarta dan sarat akan politisasi akan tetapi penulis berpandangan bahwa
Sabda Raja tersebut tidak bertentangan dengan tradisi bahkan hal ini merupakan
tradisi dalam kepemimpinan Sultan HB X yang tidak terlepas dari tradisi jejak
sejarah kepemimpinan ratu-ratu di nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar