Minggu, 19 Juli 2015

Ratu Antara Tradisi, Emansipasi ataukah Politisasi


Polemik Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Bawono X telah menimbulkan kontroversi dan protes dikalangan internal keraton maupun kalangan masyarakat Jogja. Sultan HB X mengeluarkan Sabda Raja pada kamis (30/4) dan Dhawuh Raja pada Selasa (5/5) (Kompas, 9 April 2015). Substansi dari isi  kedua Sabda Raja itu adalah mengganti nama GKR. Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng in Mataram serta menghapuskan gelar khalifatullah. Isi dari kedua Sabda Raja tersebut dianggap sangat bertentangan dengan tradisi keraton yang telah dijalankan selama ini.

Jejak Ratu-Ratu di Nusantara
Ada beberapa literatur klasik kekuasaan dan mitos perempuan yang telah mengisi sejarah perjalanan perempuan. Literasi tersebut mungkin dapat dijadikan sebagai dasar rujukan bagi seorang perempuan dalam mengisi kepemimpinan. Jejak-jejak sejarah kepemimpinan perempuan dalam menjalankan pemerintahan di nusantara tidak kalah dengan sejarah kepemimpinan laki-laki.
 Sejarah perjalanan kepemimpinan ratu-ratu di nusantara dapat dilihat dari sejarah perjalanan kepemimpinan mereka. Jejak sejarah itu dapat dilihat dari beberapa kepemimpinannya yaitu jejak Ratu Sinuhun yang pernah memimpin Palembang dari tahun 1616-1628, Dayang Lela (1790) yang menggantikan suaminya Jaya Kusuma untuk memimpin Kerajaan Mempawa di Kalimantan Barat. Dan di Sulawesi Selatan pada abad 19 ada beberapa ratu yang pernah memimpin  yaitu Daeng Pasuli dari daerah Sawito, Adi Matanang dari Rapang, Siti Aisya dari Barru, dan I Madina Daeng Bau dari daerah Lakiang (Hayati, 2010; Sadi, H & Bungkundapu, Y, 2013). Dari jejak kepemimpinan ratu-ratu di nusantara itu semakin diperpanjang dengan kepemimpinan ratu We Tanri Ole yang pernah memerintah Ternate. Bahkan Kerajaan Aceh yang menggunakan syariat Islam pernah memiliki ratu diantaranya yaitu ratu Nur Ilah (wafat 1380) dan Ratu Nahrasiyah (wafat 1428) keduanya berasal dari Kerajaan Samudra Pasai. Sedangkan di tanah Jawa kepemimpinan seorang ratu semakin dipertegas oleh sejarah kepemimpinan Ratu Pramodhawardhani yang menggantikan kepemimpinan ayahnya Samaratungga sebagai Raja Mataram Kuno pada pertengahan abad ke-8. Dari sejarah perjalanan ratu-ratu nusantara tersebut apakah hal itu dapat dapat dijadikan sebagai rujukan terhadap polemik keraton Jogjakarta ?

Tradisi, Emansipasi ataukah Politisasi
             Dari sejarah jejak-jejak ratu nusantara diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah perjalanan kepemimpinan perempuan (ratu) di  nusantara dalam menduduki jabatan sebagai kepala pemerintahan (ratu) dalam sistem kerajaan dianggap sah-sah saja. Jika hal tersebut dikaitkan dalam konteks keraton Jogjakarta tentu masih menimbulkan perdebatan, apakah dalam keraton yogyakarta perempuan dinilai dapat menjadi ratu (Sulthanah) atau tidak?. Jika dilihat dari historis dan tradisi yang dijalankan oleh keraton yogyakarta selama ini maka perempuan dinilai tidak dapat menjadi pemimpin (ratu) karena dianggap bertentangan/melanggar tradisi.
            Namun, jika dilihat dari isi Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X yang mana Sabda Raja tersebut merupakan keputusan hukum yang tertinggi dalam sistem kerajaan yang tak dapat diganggu gugat lagi oleh siapapun. Tetapi yang menjadi permasalahannya saat ini adalah  tidak hanya persoalan tradisi tetapi permasalahannya juga terletak pada UU No. 13 tahun 2012 tentang D.I.Y. Sebab dalam undang-undang ke-istemewaan DIY sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 18 mengenai pengisian jabatan  Gubernur yang mana dalam pasal tersebut mengatur bahwa gubernur adalah seorang sultan (raja) dan melampirkan identitas istri. Sehingga secara otomatis jabatan gubernur DIY haruslah seorang raja yang selalu di identikkan dengan laki-laki. Akan tetapi penulis berpandangan bahwa pasal tersebut dapat diberlakukan secara a contra rio, bahwa jika seorang perempuan yang akan mengisi jabatan gubernur di DIY maka dia melampirkan identitas suami dan tentunya berstatus sebagai seorang ratu.
            Persoalannya kemudian adalah dapatkah Sabda Raja dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan judicial review terhadap UU No. 13 tahun 2012?. Hal ini masih mengalami perdebatan karena ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Sabda Raja tidak masuk dalam hirarki pembentukan peraturan perundang-undangan dan Sabda Raja hanya berlaku pada internal keraton jogjakarta saja dan tidak dapat mengatur/berlaku ke publik. Tetapi penulis berpandangan lain bahwa Sabda Raja dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum untuk melakukan judicial review terhadap pasal 18 undang-undang nomor 13 tahun 2012 tentang DIY. Sebab Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X merupakan tradisi baru yang akan dibangun bahwa dalam pengisian jabatan gubernur tidak selalu di identikkan dengan raja (sultan) tetapi juga memberikan peluang kepada perempuan (ratu/sulthana). Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X tersebut sangat pekah terhadap emansipasi perempuan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD NRI pasal 27 ayat (1) bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Sabda Raja tersebut merupakan pengejewantahan dari amanat konstitusi. Jika kita menganalisisnya lebih jauh lagi penulis berpandangan bahwa dalam pengisian jabatan gubernur DIY saat ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat (demokrasi) sebagaimana dalam pasal 18B UUD NRI 1945 terdapat klausul “masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat”. Dari klausul tersebut dapat disimpulkan bahwa pengisian jabatan gubernur DIY saat ini dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan demokrasi karena menutup ruang bagi perempuan. Semestinya pengisian jabatan gubernur DIY tidak menutup ruang bagi perempuan dan penulis berpandangan bahwa pengisian jabatan gubernur DIY saat ini harusnya berdasarkan keturunan saja apakah itu saudara atau diturunkan ke anak Sultan HB X. Untuk menerapkan hal ini dibutuhkan suatu regulasi baru melalui perubahan undang-undang ke-istemewaan Yogyakarta.
Polemik Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan HB X tersebut dari beberapa kalangan menganggap bertentangan dengan tradisi keraton jogjakarta dan sarat akan politisasi akan tetapi penulis berpandangan bahwa Sabda Raja tersebut tidak bertentangan dengan tradisi bahkan hal ini merupakan tradisi dalam kepemimpinan Sultan HB X yang tidak terlepas dari tradisi jejak sejarah kepemimpinan ratu-ratu di nusantara.                                                                                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar