Minggu, 19 Juli 2015

Kepala Daerah Pusaran Korupsi



KEPALA DAERAH PUSARAN KORUPSI
Oleh. Kardiansyah Afkar

“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (Lord Acton). 
           Berbicara korupsi maka berbicara tentang power (kekuasaan), dimana power itu terletak maka disitu pula akan terjadi korupsi. Berbicara power (kekuasaan)  berarti kita berbicara tentang lembaga kekuasaan negara yaitu; Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Banyak yang berpandangan bahwa sebelum amandemen kosntitusi epicentrum kekuasaan itu terletak pada eksekutif (presiden). Sebab sebelum amandemen tidak dikenal konsep checks and balances karena eksekutif memiliki kewenangan yang lebih besar daripada kekuasaan lembaga lainnya, sehingga pada era Soeharto dikatakan sebagai executive heavy yang sangat sarat dengan korupsi. Setelah  amandemen konstitusi dilakukan kekuasaan itu mengalami pergeseran, dimana kewenangan legislatif lebih mendominasi dibandingkan dengan eksekutif atau dikatakan sebagai legislative heavy. Seiring dengan pergeseran kekuasaan itu pula maka secara tidak langsung korupsi pun mengalami pergeseran dari executive heavy to legislative heavy.
            Dari pergeseran tersebut ada beberapa indikasi yang membuat lembaga legislatif itu sarat akan praktek korupsi. Pertama, karena tidak diaturnya pembatasan masa periode jabatan anggota legislatif selama dua periode (seperti eksekutif), sehingga dapat memberikan peluang bagi anggota-anggota legislatif yang lama untuk terus mempertahankan kedudukannya. Mereka merasa berada dalam zona nyaman dalam posisi sebagai anggota legislatif yang bergelut dengan anggaran dan proyek anggaran, sehingga dapat memberikan peluang kepada mereka untuk melakukan praktek-praketk korupsi. Maka perlu kiranya untuk melakukan pembatasan masa periode jabatan terhadap anggota legislatif. Kedua, karena legislatif sebagai lembaga yang melakukan fungsi budgeting maka sangat besar kemungkinan bagi mereka akan melakukan praktek-praktek transaksional antara pengusaha dan legislatif maupun legislatif dan eksekutif dalam hal regulasi dan penganggaran proyek pembangunan pemerintahan.
            Sebagaimana diketahui bersama bahwa saat ini banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan legislatif dan eksekutif (presiden, Gubernur, bupati dan walikota) sehinnga menimbulkan pertanyaan besar bagi kita semua mengenai dimanakah letak titik sentral korupsi itu ?. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa titik sentral terjadinya korupsi yaitu di legislatif dan adapula yang berpandangan lain bahwa titik sentral korupsi terjadi di eksekutif. Namun, penulis berpandangan bahwa titik sentral atau epicentrum terjadinya korupsi yaitu di partai politik (Parpol). Sehingga penulis berpandangan bahwa kekuasaan yang berhubungan atau bersumber dari partai politik maka disitulah letak korupsi akan terjadi. Saat ini korupsi tidak hanya terjadi pada lingkaran legislatif saja sebagai penentu anggaran dan eksekutif sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, tetapi praktek-praktek korupsi saat ini sudah mengakar dan terjadi diseluruh lembaga negara maupun pejabat negara.
            Korupsi kepala daerah ditanah air saat ini dapat dijadikan sebagai studi kasus untuk menganalisis bahwa korupsi kepala daerah tidak dapat dilepaskan dari faktor politik. Kedudukan kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan daerah yang melaksanakan otonomi seluas-luasnya cenderung melakukan berbagai macam modus korupsi, sehingga dalam posisi tersebut kepala daerah berada dalam pusaran korupsi. Kepala daerah dalam pusaran korupsi, sebab kepala daerah memiliki banyak kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga dalam keadaan itu para kepala daerah berada dalam keadaan rentan untuk melakukan praktek-praktek korupsi seperti; suap perizinan pertambangan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan, gratifikasi, korupsi anggaran, rekening gendut dan tindak pidana korupsi lainnya.
            Korupsi pejabat kepala daerah tidak dapat dilepaskan dari peranan partai politik. Partai politik memiliki peranan yang sangat besar dalam melahirkan pejabat kepala daerah yang korup. Maka tidak heran jika banyak kepala daerah yang terjerat kasus-kasus korupsi. Hal tersebut dilakukan oleh para kepala daerah terpilih karena tuntutan politiknya serta untuk mengembalikan atau mengganti biaya politik yang sudah dikeluarkannya.
            Kasus korupsi kepala daerah yang menjadi sorotan dan hangat diperbincangkan saat ini yaitu kasus rekening gendut pejabat kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota. Saat ini sudah ada beberapa nama kepala daerah yang terindikasi memiliki rekening gendut diantaranya yaitu; Nur Alam Gubernur Sulawesi Tenggara, Syahrul Yasin Limpo Gubernur Sulawesi Selatan, Fauzi Bowo Mantan Gubernur DKI Jakarta, dan masih ada beberapa nama lagi, diantara nama itu ada beberapa nama Bupati dan Walikota yang terindikasi dan masih tahap proses oleh KPK.
            Dari kasus-kasus korupsi yang banyak melibatkan para pejabat kepala daerah tersebut, sehingga penulis berpandangan bahwa korupsi para pejabat kepala daerah tersebut merupakan salah satu bukti bahwa kekuasaan yang lahir atau bersumber dari partai politik hanya akan melahirkan kepala daerah yang korup. Sehubungan hal tersebut maka untuk menangulangi terjadinya korupsi yang melibatkan para kepala daerah, maka perlu kiranya menerapkan clean and shift system (pemotongan kekuasaan satu generasi), membangun sistem baru yang kuat, pembentukan regulasi yang baru terutama mengenai politik biaya murah dan hal yang terpenting adalah seorang calon kepala daerah harus memiliki moralitas dan integritas yang tinggi. Selain itu, dibutuhkan pula peran dan kesadaran masyarakat akan politik (masyarakat yang tidak buta politik) di era demokrasi saat ini, karena masyarakat yang sadar politik lah yang akan melahirkan pemimpin yang bersih.
                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar