KEPALA
DAERAH PUSARAN KORUPSI
Oleh.
Kardiansyah Afkar
Berbicara korupsi maka berbicara tentang power (kekuasaan), dimana power itu
terletak maka disitu pula akan terjadi korupsi. Berbicara power
(kekuasaan) berarti kita berbicara
tentang lembaga kekuasaan negara yaitu; Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
Banyak yang berpandangan bahwa sebelum amandemen kosntitusi epicentrum
kekuasaan itu terletak pada eksekutif (presiden). Sebab sebelum amandemen tidak
dikenal konsep checks and balances karena
eksekutif memiliki kewenangan yang lebih besar daripada kekuasaan lembaga
lainnya, sehingga pada era Soeharto dikatakan sebagai executive heavy yang sangat sarat dengan korupsi. Setelah amandemen konstitusi dilakukan kekuasaan itu
mengalami pergeseran, dimana kewenangan legislatif lebih mendominasi dibandingkan
dengan eksekutif atau dikatakan sebagai legislative
heavy. Seiring dengan pergeseran kekuasaan itu pula maka secara tidak
langsung korupsi pun mengalami pergeseran dari executive heavy to legislative
heavy.
Dari pergeseran tersebut ada
beberapa indikasi yang membuat lembaga legislatif itu sarat akan praktek
korupsi. Pertama, karena tidak diaturnya
pembatasan masa periode jabatan anggota legislatif selama dua periode (seperti
eksekutif), sehingga dapat memberikan peluang bagi anggota-anggota legislatif
yang lama untuk terus mempertahankan kedudukannya. Mereka merasa berada dalam
zona nyaman dalam posisi sebagai anggota legislatif yang bergelut dengan
anggaran dan proyek anggaran, sehingga dapat memberikan peluang kepada mereka
untuk melakukan praktek-praketk korupsi. Maka perlu kiranya untuk melakukan
pembatasan masa periode jabatan terhadap anggota legislatif. Kedua, karena legislatif sebagai
lembaga yang melakukan fungsi budgeting maka
sangat besar kemungkinan bagi mereka akan melakukan praktek-praktek
transaksional antara pengusaha dan legislatif maupun legislatif dan eksekutif dalam
hal regulasi dan penganggaran proyek pembangunan pemerintahan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa
saat ini banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan legislatif dan eksekutif
(presiden, Gubernur, bupati dan walikota) sehinnga menimbulkan pertanyaan besar
bagi kita semua mengenai dimanakah letak titik sentral korupsi itu ?. Ada
beberapa pendapat yang mengatakan bahwa titik sentral terjadinya korupsi yaitu
di legislatif dan adapula yang berpandangan lain bahwa titik sentral korupsi
terjadi di eksekutif. Namun, penulis berpandangan bahwa titik sentral atau
epicentrum terjadinya korupsi yaitu di partai politik (Parpol). Sehingga
penulis berpandangan bahwa kekuasaan yang berhubungan atau bersumber dari partai
politik maka disitulah letak korupsi akan terjadi. Saat ini korupsi tidak hanya
terjadi pada lingkaran legislatif saja sebagai penentu anggaran dan eksekutif
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, tetapi praktek-praktek korupsi saat
ini sudah mengakar dan terjadi diseluruh lembaga negara maupun pejabat negara.
Korupsi kepala daerah ditanah air
saat ini dapat dijadikan sebagai studi kasus untuk menganalisis bahwa korupsi
kepala daerah tidak dapat dilepaskan dari faktor politik. Kedudukan kepala daerah
sebagai pemegang kekuasaan daerah yang melaksanakan otonomi seluas-luasnya cenderung
melakukan berbagai macam modus korupsi, sehingga dalam posisi tersebut kepala
daerah berada dalam pusaran korupsi. Kepala daerah dalam pusaran korupsi, sebab
kepala daerah memiliki banyak kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga dalam keadaan itu para kepala daerah berada dalam keadaan rentan untuk
melakukan praktek-praktek korupsi seperti; suap perizinan pertambangan dan alih
fungsi hutan menjadi perkebunan, gratifikasi, korupsi anggaran, rekening gendut
dan tindak pidana korupsi lainnya.
Korupsi pejabat kepala daerah tidak
dapat dilepaskan dari peranan partai politik. Partai politik memiliki peranan
yang sangat besar dalam melahirkan pejabat kepala daerah yang korup. Maka tidak
heran jika banyak kepala daerah yang terjerat kasus-kasus korupsi. Hal tersebut
dilakukan oleh para kepala daerah terpilih karena tuntutan politiknya serta untuk
mengembalikan atau mengganti biaya politik yang sudah dikeluarkannya.
Kasus korupsi kepala daerah yang
menjadi sorotan dan hangat diperbincangkan saat ini yaitu kasus rekening gendut
pejabat kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota. Saat ini sudah ada
beberapa nama kepala daerah yang terindikasi memiliki rekening gendut diantaranya
yaitu; Nur Alam Gubernur Sulawesi Tenggara, Syahrul Yasin Limpo Gubernur
Sulawesi Selatan, Fauzi Bowo Mantan Gubernur DKI Jakarta, dan masih ada
beberapa nama lagi, diantara nama itu ada beberapa nama Bupati dan Walikota
yang terindikasi dan masih tahap proses oleh KPK.
Dari kasus-kasus korupsi yang banyak
melibatkan para pejabat kepala daerah tersebut, sehingga penulis berpandangan
bahwa korupsi para pejabat kepala daerah tersebut merupakan salah satu bukti bahwa
kekuasaan yang lahir atau bersumber dari partai politik hanya akan melahirkan kepala
daerah yang korup. Sehubungan hal tersebut maka untuk menangulangi terjadinya
korupsi yang melibatkan para kepala daerah, maka perlu kiranya menerapkan clean and shift system (pemotongan
kekuasaan satu generasi), membangun sistem baru yang kuat, pembentukan regulasi
yang baru terutama mengenai politik biaya murah dan hal yang terpenting adalah
seorang calon kepala daerah harus memiliki moralitas dan integritas yang
tinggi. Selain itu, dibutuhkan pula peran dan kesadaran masyarakat akan politik
(masyarakat yang tidak buta politik) di era demokrasi saat ini, karena masyarakat
yang sadar politik lah yang akan melahirkan pemimpin yang bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar