Otonomi Daerah Untuk
Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang artinya negara
Indonesia sebagai suatu kesatuan utuh
negara yang terdiri dari wilayah provinsi, kabupaten dan kota. Pembagian
menjadi daerah-daerah tersebut tidak mengakibatkan terjadinya pembagian kedaulatan
atau dengan kata lain tidak ada Negara lain di dalam wilayah Republik
Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya, sehingga
menjadi satuan pemerintahan nasional (pusat) dan satuan pemerintahan sub nasional
(daerah), yaitu provinsi dan kabupaten dan kota.[1]
Desentralisasi
merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, memberi kewenangan yang besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan daerah (Peraturan Daerah) dan bukan merupakan
suatu kedaulatan tersendiri seperti dalam sistem federal. Asas desentralisasi
berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud
variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat.[2]
Pada dasarnya, suatu daerah dapat
disebut otonom bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1.
Sebagai suatu zelfstandigestaats rechtelijke organisatie yang dicerminkan pada
keuangan, pembiayaan dan dimilikinya Dinas Daerah.
2.
Dari sisi hukum: adalah badan hukum (rechtspersoon), sehingga memiliki kuasa
untuk melakukan tindakan-tindakan mengenai kekayaan (vermogensrecht), kekuasaan hukum (rechtsbevoegd) dan dapat bertindak (handelingsbekwaam).
3.
Sebagai badan hukum dapat dituntut dan
menuntut pihak lain dipengadilan, memiliki anggaran sendiri dengan rekening
yang terpisah dari rekening Pemerintah Pusat, memiliki wewenang untuk
mengalokasikan sumber-sumber yang substansial.
4.
Mengemban multifungsi yang merupakan
pembeda utama antara daerah otonom dengan lembaga yang terbentuk dalam rangka
desentralisasi fungsional.
5.
Penyelenggara desentralisasi adalah
Pemerintah Pusat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, yang dapat
dilakukan oleh suatu daerah otonom adalah menetapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan. Kewenangan tersebut merupakan kekuasaan formal yang dimiliki
oleh daerah yang melingkupi wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidang-bidang
kehidupan yang terliput dalam wewenangnya (scope
of power) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan peraturan
perundang-undangan.[3]
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari Sabang sampai
Merouke dan terdiri dari berbagai suku bangsa, tentu bukan merupakan pekerjaan
yang mudah untuk mencari format ideal bagi desentralisasi politik dan otonomi
daerah. Dengan derajat heterogenitas geografis maupun sosial-budaya yang cukup
tinggi, maka daerah cenderung menuntut ruang kekuasaan lebih besar dari yang
lazim disediakan oleh pusat negara kesatuan. Maka desentralisasi akan selalu
menjadi masalah, jika fondasi ketatanegaraanya tidak dibenahi.[4]
Daerah
semakin gencar untuk menuntut ruang kekuasaan yang lebih besar dengan
mengajukan pemekaran daerah dan otonomi khusus sebagai bagian proses politik
dan pembagian kekuasaan elite politik di tingkat lokal. Euforia pembentukan
daerah baru terjadi sekitar tahun 1950 atau 1960, juga pada masa demokrasi
terpimpin Soekarno, waktu itu ada 66% provinsi dan kabupaten baru terbentuk.
Pasca Soerharto, terbentuk 56% provinsi dan kabupaten baru.[5]
Dan eforia tersebut berlanjut di era reformasi tapi sangat disayangkan
berdasarkan evaluasi terhadap daerah otonom baru yang dilaksanakan oleh
Kementerian Dalam Negeri selama 10 tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran dan 80% daerah otonom baru gagal mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik (good goverment)
serta anggaran dihabiskan hanya untuk pembangunan infrastuktur padahal
pembangunan suprastuktur juga perlu mendapatkan perhatian guna menunjang
peningkatan kesejahteraan rakyat dan daerah otonom baru hanya membebani
keuangan negara dalam APBN. Menurut Isran Noor hal itu terjadi karena sebagian
daerah dibentuk bukan untuk pemerataan pembangunan, melainkan karena faktor
politik. "Banyak daerah yang muncul hasil inisiatif DPR.[6]
Di sisi lain, Isran menyebutkan bahwa kegagalan pemerintah daerah itu juga
akibat kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah pusat belum
sepenuhnya memberikan kewenangan, peluang, dan kesempatan kepada pemerintah
daerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi
yang berujung pada penyerapan tenaga kerja.[7]
Desentralisasi
dan otonomi daerah diharapkan menjadi instrumen pemersatu bangsa, malah dewasa
ini menimbulkan begitu banyak efek negatif, dimulai dari konflik horizontal
sampai pada banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Terkhusus
kasus korupsi kepala daerah, berdasarkan keterangan Dirjen Otonomi Daerah selama periode 2004-2012 ada
290 Kepala Daerah terlibat kasus hukum. Prinsip
desentralisasi melalui pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah atau sering disebut otonomi daerah seharusnya mampu mendekatkan
masyarakat dengan pemimpinnya namun demikian ternyata dimaknai hanya sebagai
pelimpahan kewenangan yang berakibat munculnya raja-raja baru di daerah. Oleh
karena itu desentralisasi dan otonomi daerah malah kerap disebut sebagai
desentralisasi korupsi akibat perpindahan locus penyelewenangan kekuasaan dari
pusat ke daerah.[8] Adapun penulisan ini difocuskan pada Konsep Desentralisasi asimetris dalam
kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Permasalahan
Penerapan Otonomi Daerah. Pendekatan yang digunakan penulis yaitu
normatif yuridis atau studi pustaka, baik itu data primer, sekunder ataupu
tersier.
Otonomi Daerah sebagai
Instrument Pemersatu Bangsa
Pada dasarnya negara selalu
dihadapkan dua (2) hal yang menjadi cita-cita sebuah negara, yakni
kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan rakyat merupakan parameter
keberhasilan pemerintah daerah yang pimpinannya dipilih secara demokratis.
Otonomi daerah seluas-luasnya terlaksana dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa peningkatan kesejahteraan
rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh.[9]
Melalui Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Dekonsentrasi, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Hibah, Dana Bagi Hasil, Pendapatan
Asli Daerah, Dana Masyarakat , Dana darurat dan Dana Daerah, diharapkan mampu
mendorong pemerataan kesejahteraan diseluruh wilayah nusantara, bukan
sebaliknya malah memperkaya elite politik tingkat lokal.
Berkaitan dengan
keamanan, daerah harus mampu memberikan keamanan bagi seluruh masyarakatnya
dalam menjalankan aktivitas politik, agama, budaya, dan ekonomi. Daerah juga
harus ikut terlibat dalam menjaga serta
mempertahankan kedaulatan NKRI. Penguatan TNI dan Polri dengan dukungan
pemerintah daerah mutlak dilaksanakan guna mewujudkan efektivitas operasional.
Dalam hubungan ini inovasi Kepala Daerah untuk memfasilitasi dan mendukung
institusi pertahanan dan keamanan serta ketertiban dan penegakan hukum
mempunyai nilai strategis.[10]
Otonomi daerah secara umum sudah berlangsung
lebih baik saat ini dibanding masa sebelum tahun 1999, tetapi masih banyak
kekurangan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) kelompok
masalah besar:
1.
Tidak tepat dalam hal pendekatan,
sehingga masalahnya tidak dapat diatasi, misalnya dengan cara mengharuskan UU
sektoral untuk melakukan sinkronisasi.
2.
Pemerintah, pemerintah daerah dan
stakeholder lainnya sering melaksanakan UU No. 32 Tahun 2004 dengan tidak
sebagaimana mestinya, sehingga sebaiknya UU ini direvisi supaya dapat dilaksanakan
dengan benar. Kesalahan itu misalnya pemerintah pusat dan provinsi tetap gemuk,
dan pemerintah kabupaten/kota masih banyak yang belum memiliki pegawai yang
terampil. 1 Juga ada beberapa usulan RUU yang keperluannya harus dipikir
kembali karena dianggap dapat diatur secara lebih baik dalam satu UU tentang
Pemerintahan Daerah, misalnya, pelayanan publik, pembangunan daerah tertinggal,
tata hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah, serta perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
3.
Dari pengalaman, kita belajar tentang
banyak hal dimana sistem pengaturan pemerintah daerah dapat lebih disempurn
misalnya dalam hal pembentukan organisasi, fungsi kecamatan, manajemen kinerja
pelayanan publik, dan lain-lain.[11]
Tentu dalam perjalanannya sistem
disentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mengalami berbagai hambatan,
seperti yang disebut diatas tapi itu menjadi penting dimasa transisi seperti
saat ini, karena pada dasarnya pengalaman adalah guru terbaik sehingga dari
pengalaman tersebut, Indonesia mampu menemukan konsep ideal disentralisasi,
bahkan negara Amerika Serikat butuh 300 tahun membangun sistem demokrasinya.
Oleh karena itu selalu dibutuhkan proses menuju konsep yang ideal karena pada
dasarnya tidak ada sesuatu yang langsung jadi dan tidak ada yang tidak jadi
sama sekali.
Indonesia selain menganut model
desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris.
Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1),
Pasal18B ayat (1 & 2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten
dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1 & 2) diatur bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa diakui dan dihormati. [12]
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 2 sistem
otonomi daerah, yang pertama otonomi khusus (disentralisasi asimetris) seperti
yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh dan yang kedua otonomi daerah. Dalam sistem otonomi
khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan
memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah
karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas
hidup, ketertinggalan, dan aspek politis.
Aspek
politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena
secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi
ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan
BC Smith menyebutnya a glue of national integration[13].
Pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darussalam
diawali oleh gerakan separatis/pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka dan
Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat gerakan
separatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa Jakarta melakukan
perubahan mendasar format hubungan Jakarta dengan daerah ketimbang sebuah
hasrat untuk memisahkan diri yang memang inherent dalam setiap gerakan separatis.[14]
Pemberian
otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu instrument
pemersatu bangsa untuk mencapai stabilitas dan membuka kemungkinan bagi proses
demokratisasi secara menyeluruh. Di Spanyol melakukannya selepas meninggalnya
Franco. Jerman bahkan dipaksa menerima sebuah format federasi ketika sekutu
menaklukannya dalam perang Dunia ke II. Philipina, berusaha mengakhiri
pemberontakan panjang di Mindanau dengan merancang sebuah format hubungan
khusus antara Manila dengan kawasan yang dikuasai separatis Muslim ini.[15]
Stabilitasi
sistem dapat tercapai melalui pengaturan politik dan pemerintahan
desentralisasi bahkan federatif karena didalam format yang ada dapat
mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue, empowering
lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.[16]
Tapi perlu diingat pemberian otonomi khusus dan pemekaran daerah dapat
mendorong sentimen primordial yang bersifat kesukuan yang berlebih-lebihan,
berpotensi hilangnya semangat ke Indonesiaan.
Berdasarkan
hasil penelitian dan diskusi-diskusi yang diselenggarakan tercatat sejumlah
permasalahan Desentralisasi Indonesia, antara lain:[17]
1. Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten/kota yangg berakibat pada perbedaan
interprestasi, tumpang tindih, dan tarik menarik kewenangan antar level
pemerintahan;
2. Kerancuan yang terjadi menyusul model susunan
pemerintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sebagaimana
kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah kabupaten/kota, dan
pada saat bersamaan juga merupakan wakil pempus di daerah;
3. Situasi pembuatan kebijakan desentralisasi/otonomi
daerah yg cenderung terpecah-pecah sehingga menghasilkan pert uu-an yang saling
bertentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam lingkup nasional maupun
lokal;
4. Kecenderungan pemerintah nasional tidak melakukan
penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi sehingga yang terjadi
justru “pembengkakan” struktur kelembagaan di pusat;
5. Pembagian kewenangan yang menjadi urusan wajib dan
urusan pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh daerah
sehingga banyak menimbulkan banyak kesulitan karena tak seluruhnya sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhan daerah;
6. Banyaknya urusan pemerintahan yang mensyaratkan NSPK
(Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria), dimana kelambanan di departemen
sektoral dlm NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas penyelenggaraan
urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada keleluasaan bagi
daerah untuk bergerak sebelum NSPK keluar, namun sangat sedikit daerah yang
berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan publik. Selain itu,
dalam pelaksanaannya di Indonesia
terdapat sejumlah tantangan Desentralisasi, yaitu Problem Uniformitas yang dirinci sebagai
berikut:[18]
·
Desain tunggal
desentralisasi di tengah keberagaman karakteristik dan kebutuhan lokal tidak
menjadi jawaban atas variasi tantangan lokal Indonesia;
·
Karakteristik
khusus misalnya Daerah kepulauan, daerah perbatasan, kawasan rawan bencana,
kawasan-kawan dengan keunikan budaya dan kesejarahan, daerah-daerah dgn
keterbatasan kapasitas dalam pengelolaan
fungsi dasar pemerintahan, daerah-daerah
yang menyimpan konflik dengan nasional.
·
Daerah-daerah
tersebut, uniformitas desain desentralisasi gagal menjadi kerangka untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.
·
Perlu pemikiran
alternatif bagaimana model desentralisasi.
Konsep
desentralisasi asimetris perlu didorong sebagai altenatif desain desentralisasi
kedepan sebagai jawaban atas berbagai karateristik daerah-daerah di Indonesia.
Konsep Desentralisasi Asimetris Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kita
mengenal otonomi khusus seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua,
Aceh serta DKI tapi bagaimana dengan daerah lain yang memiliki dinamika dan kekhasan
tersendiri, misalnya provinsi Bali dengan budaya dan pariwisata, DKI
Jakarta yang memiliki kekhususan sebagai
ibu kota negara dan pusat pemerintahan, Kepulauan Riau yang daratannya 4,21
persen saja dari wilayah kepulauannya, Kutai Kartanegara yang menuntut otonomi
khusus karena merasa mempunyai income perkapita
tinggi, basis ekonomi yang kuat, basis material yang kuat dan Solo yang juga
menuntut otonomi khusus sebagai daerah istimewa karena memiliki kekhasan
kebudayaan dan historis.
Inti dari
disentralisasi asimetris ialah terbukanya ruang gerak implementasi dan
kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan
khusus. Pertanyaan selanjutnya apakah sistem desentralisasi asimetris
diberlakukan di level provinsi seperti yang terjadi saat ini di provinsi DIY,
Nangroe Aceh Darussalam dan Papua ataukah di level kabupaten/kota karena pada dasanya kekhasan dibidang sosial,
budaya, ekonomi dan politik, bisa ditemukan diwilayah provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut Mas’ud Said disentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi
karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan
pemerintahan selama ini.[19]
Dan diletakkannya otonomi khusus di level provinsi agar tidak menciptakan
hubungan berbeda pemerintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota
sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Negara
harus mampu mengakomodasi berbagai kekhususan dan dinamika yang dimiliki
masing-masing daerah karena dikuatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang merugikan masa depan
rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan keragaman
potensi daerah, social budaya, etnis, geografis, ekonomi dan social politik. Pada dasarnya UUD RI 1945 memberikan peluang
penerapan desentralisasi asimetris melalui ketentuan pasal 18 yang menekankan
kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisional. Berdasarkan penelitian Jurusan
Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas
Gadjah Mada (UGM) berkerja sama dengan Tifa Foundation desain asimetrisme dapat
didasarkan atas pertimbangan konflik, kebudayaan, ekonomi, perbatasan dan
ibukota negara[20].
Pemberlakukan
desentralisasi asimetris merupakan respon terhadap ancaman disintergrasi bangsa.
Berawal dari penghianatan atas negara hukum (recht staat) berlaku pada orde lama,
orde baru sampai dengan era reformasi. Ketiadaan hukum bermula dibidang politik
pada 1965 saat negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tentu menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap para pemimpinnya,
rezim boleh berubah tapi ternyata korupsi tetap saja merajalela di negeri ini
dan Indonesia seolah-olah hanyalah Jakarta serta mengenyampingkan keberadaan
daera-daerah lain.
Ketidakpercayaan memunculkan
berbagai perlawanan dari masyarakat atau (sosial force) diberbagai belahan
negeri ini. Keadaan yang sudah kacau balau seperti ini tentu mengkhawatirkan
dan paling menakutkan dari akumulasi dis-orientasi, distrust dan social force
adalah disintegrasi bangsa. Diujung timur indonesia rakyat Papua dan rakyat
Aceh berusaha melawan kesewanang-wenangan penguasa, kedua daerah tersebut
berusaha memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia melalui upaya
militer. Oleh karena itu untuk menjaga keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia dan mencegah disintegrasi bangsa, maka diterapkan disentralisasi
asimetris melalui pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan
Nangroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Isipol UGM, menemukan adanya praktik otonomi dan kekhususan di
beberapa daerah, antara lain, di Aceh, Batam, Daerah Khusus Ibu Kota, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Papua. Penerapan desentralisasi
asimetris itu sangat tergantung pada kekuatan leadership (kepemimpinan), bahkan
capaian politik sangat ditentukan oleh kekuatan figur dan lobi politik.
Sebagaimana dicontohkan, munculnya kewenangan desentralisasi khusus di daerah
pada awalnya dilakukan oleh tokoh, antara lain, Teuku Daud Beureuh dan Hasan
Tiro di NAD, Ali Sadikin dan Sutiyoso di DKI, Hamengku Buwono IX di Daerah
Istimewa Yogyakarta, serta Sultan Hamid II di Kalimantan Barat[21].
Orang-orang ini mengawal desentralisasi asimetris.
Desentralisasi
asimetris dapat dimaknai dengan berbagai mekanisme, misalnya sistem
pemerintahan di DIY yang bercorak monarkhi
konstitusional, dimana mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan
penetapan di DPRD dan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi
oleh Sultan Hamengku Bowono yang
bertakhta untuk calon Gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam
untuk calon Wakil Gubernur DIY[22],
Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariah islam dan memiliki sistem
kepartaian ditingkat lokal yang lekat dalam sistem desentralisasi federalis dan
di Papua yang disyaratkan hanya orang
asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan
sebagainya. Disinilah yang menjadi problem ketika logika negara kesatuan,
seperti yang ditegaskan dalam pasal 1 UUD RI 1945 mangatakan bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan tapi dalam penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada
tanggal 1 Agustus 2006 dan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 cenderung menerapkan sistem disentralisasi
federalis. Oleh karena itu logika
ketetanegaraan Indonesia kerap goyah, inkonsistensi pun terjadi pada sistem
pemerintahan Indonesia yang presidensil tapi dijalankan dengan sistem
parlementer.
Negara
kesatuan dan negara federasi memiliki perbedaan yang fundamental, negara
kesatuan bersusun tunggal dan urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap
merupakan suatu kebulatan serta pemegang tertinggi dinegara adalah pemerintah
pusat, sedangkan negara federasi bersusun jamak yang terdiri dari beberapa
negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri. Negara
serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab
kepada pemerintah federal.[23]
C.F.Strong berpendapat bahwa sifat
utama atau dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dengan unit-unit federasi. Pembagian kekuasaan dalam negara
federal (the federal authority) dapat dilakkan dengan dua cara,
tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve
of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan
pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang
terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal
yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Kanada dan
sebagainya . Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan
pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power)
yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal.[24]
Dalam
kaitannya indonesia sebagai negara kesatuan, tentu pemerintah
pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan
pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Distribution of power (pembagian kekuasaan) oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah berimplikasi hampir semua kewenangan dilimpahkan ke
daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional dan agama.[25]
Dalam hal ini peranan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara dan
pemberian otonomi khusus kepada provinsi DIY, Nagroe Aceh Darussalam dan Papua
sebagai bagian penerapan disentralisasi asimetris tapi sebagai negara kesatuan
Indonesia tentu dibeberapa ketentuan pasal-pasal otonomi khusus lebih bercorak
sistem federal, misalnya lembaga negara yang bersifat lokal Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh[26]
dan Majelis Rakyat Papua (MRP) [27]
yang lazimnya berada tingkatan pusat atau disebut Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang diatur dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan
UU MD3.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus
yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dan Papua yang mengarah kepada bentuk negara
federal diantaranya dalam ketentuan pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 dan pasal 246
UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Aceh dan Papua dapat memiliki bendera
daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara
Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun
dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah
pada bentuk negara federal.
Produk
hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP) bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat
Papua (MRP) pada tingkat yang lebih tinggi dan Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU
No. 21 Tahun 2001 pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan
sistem negara federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang
federal dan Perdasi sebagai peraturan pelaksananya[28].
Di Aceh
terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat
banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat
pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan
atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan didasarkan atas syari’at
Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun. Sedangkan produk
hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah “Qanun”.
Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah
mendapatkan persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan Qanun
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten.
Merujuk
pada ketentuan negara kesatuan yang memposisikan pemerintah pusat sebagai
pemilik kekuasaan tertinggi negara dan bukan malah sebaliknya, misalnya kebijakan
administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat
oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharuskan untuk melakukan konsultasi dan
mendapat pertimbangan Gubernur, tentu ini tidak sesuai dengan prinsip negara
kesatuan, maka pilihan selanjutnya ialah merombak Undang-Undang provinsi
Nangroe Aceh Darussalam dan Papua agar sesuai dengan prinsip negara kesatuan
ataukah merombak logika negara kesatuan agar sesuai dengan logika desentralisasi
federalis karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan perundang-undangan akan
berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.
Namun
demikian walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan
prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah status
otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, sebagaimana yang termaktub
dalam pembukaan. Selain itu diperlukan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah agar mangakomodir desentralisasi asimetris atau solusi payung
hukum setingkat Instruksi Presiden (inpres) untuk mengakomodasi konteks
provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka ke kerangka
otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU[29].
Apa yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh, memberikan bantuan
khusus dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi provinsi
Kepulauan Riau, peningkatan kesejahteraan wilayah perbatasan Kalimantan Barat,
pendekatan kultural dan historis Yogyakarta dan ibu kota negara DKI Jakarta,
bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris karena esesinya
karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit,
jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.
Berdasarkan
hasil penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dengan Yayasan TIFA yang
menakar keberhasilan disentralisasi asimetris melalui pendekatan kesejahteraan.
Secara umum otonomi khusus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan.
Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola
asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama
bersaing dengan provinsi lain di Indonesia[30]
tapi bandingkan otonomi khusus papua dengan dana otsus yang demikian besar
setelah duabelas tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang
signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua
tetap berada di peringkat terbawah. Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak
dibuat. Evaluasi pemerintah terhadap otsus yang seharusnya dilakukan tiga tahun
setelah diberlakukan: sampai kini tak ada[31].
Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat, tak ada
keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada
penyelewengan dana otsus, Rp 380 miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite
Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah tak perlu
dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana
otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka[32].
Namun demikian demi mewujudkan prinsip equality
before the law (persamaan di depan hukum) dan
persamaan perlakuan (equal treatment),
maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, harus segera
melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir
hanya dinikmati segelintir elite politik, baik ditingkatan lokal maupun pusat.
Padahal
pada tahun 2012, pemerintah mengucurkan
dana Otsus sebesar Rp 3,83 triliun untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua
Barat. Alokasi dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding
pada 2011 tapi kenyataannya tidak mampu mensejahterahkan rakyat Papua. Oleh
karena itu dibutukan konsesus untuk mencari solusi yang tepat bagi Papua. Hal
yang pertama yang perlu dilakukan adalah penningkatan pengawasan yang lebih
efektif dalam hal penyaluran dana Otsus Papua agar mampu menimalisir
penyelewengan dana otsus Papua.
Selain itu,
perlu penguatan hubungan kelembagaan, baik pemerintah pusat maupun daerah
(Papua), sehingga desain besar pembangunan Papua mampu dijabarkan pada
tingkatan daerah. Regulasi yang lebih konsisten akan mendorong dana otsus Papua
tepat sasaran guna perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua, penanggulangan
kemiskinan, pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana,
dan prasarana pendidikan yang layak, pembangunan fasilitas kesehatan
masyarakat, serta pembangunan suprastruktur dan infrastruktur yang layak dan
merata di seluruh daerah. Lebih penting lagi, memupuk kembali trust masyarakat Papua terhadap
pemerintah pusat agar terjalin sinergitas antar semua steakholder dalam membangunan Papua yang lebih baik dan memberikan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Kegagalan desentralisasi asimetris di
Papua akan memberikan tekanan bagi pemerintah pusat dan tentunya akan
memunculkan dorongan yang lebih kuat lagi untuk memerdekan diri sebagai suatu
negara yang terpisah dengan negara kesatuan republik Indonesia.
Kedepan pilihan
model pengembangan desentralisasi asimetris dapat didesain sebagai berikut:[33]
1. Model Desentralisasi Asimetris Penuh
Setiap daerah diperlakukan
secara berbeda-beda karena mengasumsikan adanya pluralisme yang sangat ekstrim
yang harus direspons Pemerintah Nasional. Level daerah yang didefinisikan
sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah seperti apa
asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah, namun
juga berpotensi menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah. Prasyarat
pengembangan model ini adalah kapasitas nasional yang sangat kuat dalam
sipervisi desentraisasi.
2. Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial
Ekonomi
Kawasan-kawasan yang ada
dijustifikasi secara berbeda dengan mempetimbangkan beberapa ukuran, misalnya
ukuran-ukuran yang bersifat teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek
sosial dan ekonomi tertentu. Secara lebih umum, pendefinisian model ini bisa
berangkat dari ukuran-ukuran pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang
tertinggal. Dalam konteks Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan
perbatasan dan kepulauan misalnya, akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuk
asmetris yang akan dikembangkan. Contoh lain dalam kategori ini adalah derajat
kemajuan sosial-ekonomi, yang menghasilkan kateori rural-urban. Pengembangan
model ini akan menjadi jawaban untuk
pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi yang
sangat cadvanced. Penerapan model ini
telah diaplikasikan provinsi Kepulauan Riau dan provinsi Kalimantan Barat.
3. Model Kombinasian Antara Otonomi Khusus dan Otonomi
Reguler
Model yang sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk
menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dengan sub nasional yang
mengarah ke gerakan-gerakan pemisahan diri (secession) atau dikarenakan
karakter daerah yang sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk
desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus
untuk daerah-daerah tertentu. Pilihan terhadap model ini sudah dilakukan dalam
kasus 4 daerah khusus/istimewa.
Dari
beberapa alternatif tersebut diatas, penulis berpendapat model kombinasi
otonomi khusus dan otonomi reguler perlu dikedepankan, dengan desentralisasi
yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk
daerah-daerah tertentu. Namun demikian model asimetris berbasis kategori kemajuan
sosial ekonomi juga dapat menjadi solusi pengembangan disentralisasi asimetris
di Indonesia. Dengan wilayah nusantara yang terdiri dari seribu pulau, maka
perlu pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan memberikan
pendidikan yang berkualitas, diseluruh wilayah indonesia, terutama di wilayah
berbatasan langsung dengan negara lain, seperti provinsi Kalimantan Barat. Dari
berbagai pilihan model disentralisasi asimetris yang ada, diperlukan
kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah sehingga daerah mampu
mendifinisikan kekhususan tersebut dan perlu diatur mengenai mekanisme
pengajuan kekhususan tersebut
Kepemimpinan yang Berintegritas dan Kompeten.
Demokrasi
dengan slogannya dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat menuntut partisipasi
publik yang lebih, disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menjadi landasan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara langsung oleh rakyat di daerah. Pelaksanaan tugas dan kewenangan kepala
daerah yang berjalan dalam kerangka otonomi daerah harus mampu mewujudkan
prinsip-prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance )
dengan landasan 4 (empat) pilar, (1) akuntabilitas, (2) transparansi, (3)
kebijakan dapat diprediksi, (4) partisipasi masyarakat[34].
Menerapkan
sistem yang baik, tentu dibutuhkan pemimpin yang berintegritas dan juga
berkompeten, masalahnya di Indonesia dewasa ini sebagian besar pemimpinnya
tidak berintegritas serta berkompeten. Selian itu korupsi telah membudaya di
negeri ini, baik itu di level birokrasi, politisi dan aparat penegak hukum.
Sungguh benar nasihat Nabi Muhammad saw, jika suatu perkara diserhkan kepada
orang yang bukan ahlinya, tunggu saja kehancuran. Tugas pemimpin adalah
memberdayakan masyarakat bukan malah sebaliknya memperdayai masyarakat.
Kaitannya
dalam membangun sistem disentralisasi yang ideal tentu membutuhkan sosok
pemimpin yang kreative dan inovatif guna
mendukung tercapainya tujuan disentralisasi yaitu penyebaran kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Bagaimanapun pembangunan sistem yang ideal tanpa
didukung kepemimpinan yang berintegritas tinggi dan berkompeten akan menghambat
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial budaya serta politik.
Kesimpulan dan Saran.
Konsep desentralisasi
asimetris perlu dikedepankan guna mensejahterahkan rakyat, dengan karakteristik
Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit, jika hanya
diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Provinsi Papua, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Daerah IstimewaYogyakarta
dan DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio
bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris.
Cakupan
desentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi karena kabupaten dan
kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini dan
tidak menciptakan hubungan berbeda pemrintah pusat-provinsi, tapi juga
provinsi-kabupaten/kota sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Demi
tercapainya tujuan desentralisasi dan otonomi daerah diperlukan kepemimpinan
yang beritegritas dan berkompeten, pembangunan sistem yang ideal tanpa didukung
kepemimpinan yang berintegritas tinggi dan berkompeten akan menghambat
pencapain cita-cita desentralisasi dan otonomi.
Perlu
penyelelarasakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan pelaksanaan
disentralisasi karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan perundang-undangan
akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku.
A.A.GN
Ari Dwipayana, Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011.
Abdul
Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Bhenyamin
Hoessein, “Hubungan Kewenangan Pusat dan
Daerah,” Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta:
Yayasan Tifa, 2005.
Draf
Naskah Akademik Pemerintahan Daerah.
Edie
Toet Hendratno, Negara Kesatuan,
Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan Universitas
Pancasila
Kotan
Y. Stefanus, Makalah, Pengembangan
Desentralisasi Asimetris
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Press, 2009.
Pratikno,
dkk, Desentralisasi
Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
Hasil Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik ,
Jakarta: Grassindo, 2010.
Rusdianto
S, Makalah, Status Daerah Otonomi Khusus
Dan Istimewa Dalam Sistem Ketatanegaran Republik Indonesia.
Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka
Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seminar
Internasional ke Delapan Dinamika Politik
Lokal Di Indonesia, Penataan Daerah dan Dinamikanya, 2008.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Uundang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Undang-Undang
No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua.
Perpu No. 1
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Aceh.
Internet
Artikel, Desimenasi Hasil Riset Model Desentralisasi
Asimetris Aceh-Papua, Diseminasi Hasil Riset Model Desentralisasi Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan
Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website of JPP.htm, Diakses pada tanggal 30
Januari 2013.
Artikel, Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan, Media Indonesia Mobile - Pemekaran Daerah
Gagal Ciptakan Pertumbuhan.htm, diakses pada tanggal 27 januari 2013.
Bayu Dardias,
Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua,
http://sional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua,
diakses pada tanggal 28 januari 2013.
M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris,
News Desentralisasi Asimetris - Prof. M.
Mas'ud Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.
[1] Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah, hal 19
[2] Bhenyamin Hoessein,
2005, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah,
Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta:
Yayasan Tifa, hal 198.
[4] Abdul
Gaffar Karim (Editor), 2003, Kompleksitas
Persoalan Otonomi daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal
xxvii
[5] Seminar Internasional
ke Delapan Dinamika Politik Lokal Di
Indonesia, Penataan Daerah dan Dinamikanya, 2008, Percik, Hal 36.
[6] Artikel,
Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan
Pertumbuhan, Media Indonesia Mobile
- Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan.htm, diakses pada tanggal 27
januari 2013.
[7] Artikel, Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan,
Ibid
[8]Abdul Gaffar Karim
(Editor), Op cit, Hal xix
[9] Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik
Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Ha l 9
[10] Ir. H. Isran Noor, Msi, Ibid
[11] Draf Naskah Akademik,
hal 4
[12] Lihat ketentuan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18A dan Pasal 18B.
[13] M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris,
News Desentralisasi Asimetris - Prof. M.
Mas'ud Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.
[16] Cornelis Loy, Abdul
Gaffar Karim (Editor), ibid
[17] Kotan Y. Stefanus,
Makalah, Pengembangan
Desentralisasi Asimetris
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[18] A.A.GN Ari Dwipayana,2011,
Menata
Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 1-2.
[20] Artikel, Desimenasi Hasil Rist Model Desentralisasi
Asimetris Aceh-Papua, Diseminasi Hasil Riset Model Desentralisasi Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan
Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website of JPP.htm, Diakses pada tanggal 30
Januari 2013.
[21] Pratikno, dkk, 2010, Desentralisasi
Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
Hasil Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 139
[22] Lihat Pasal 18 huruf
(n) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta
[23] Ramlan Surbakti,
2010, Memahami Ilmu Politik ,
Jakarta: Grassindo, hal. 216
[24] Edie Toet Hendratno, 2009, Negara
Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan
Universitas Pancasila Press, hal 58
[25] Pasal 10 UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat
kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara
makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4)
lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8)
konservasi dan (9) standarisasi nasional.
[26] Lihat Undang-Uundang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
[27] Lihat Pasal 29 ayat
(1) UU No. 21 Tahun 2001
[28] Rusdianto S, Makalah,
Status Daerah Otonomi Khusus Dan Istimewa
Dalam Sistem Ketatanegaran Republik Indonesia, hal 16.
[30] Bayu Dardias, Menakar
Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://sional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses pada tanggal
28 januari 2013.
[33] Pratikno,
dkk, Desentralisasi
Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
Op cit , hal 15-17.
[34] Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik
Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Op cit, hal 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar