Selasa, 21 Juli 2015

Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI



Otonomi Daerah Untuk Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang artinya negara Indonesia  sebagai suatu kesatuan utuh negara yang terdiri dari wilayah provinsi, kabupaten dan kota. Pembagian menjadi daerah-daerah tersebut tidak mengakibatkan terjadinya pembagian kedaulatan atau dengan kata lain tidak ada Negara lain di dalam wilayah Republik Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya, sehingga menjadi satuan pemerintahan nasional (pusat) dan satuan pemerintahan sub nasional (daerah), yaitu provinsi dan kabupaten dan kota.[1]
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah (Peraturan Daerah) dan bukan merupakan suatu kedaulatan tersendiri seperti dalam sistem federal. Asas desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat.[2]

Pada dasarnya, suatu daerah dapat disebut otonom bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1.      Sebagai suatu zelfstandigestaats rechtelijke organisatie yang dicerminkan pada keuangan, pembiayaan dan dimilikinya Dinas Daerah.
2.      Dari sisi hukum: adalah badan hukum (rechtspersoon), sehingga memiliki kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan mengenai kekayaan (vermogensrecht), kekuasaan hukum (rechtsbevoegd) dan dapat bertindak (handelingsbekwaam).
3.      Sebagai badan hukum dapat dituntut dan menuntut pihak lain dipengadilan, memiliki anggaran sendiri dengan rekening yang terpisah dari rekening Pemerintah Pusat, memiliki wewenang untuk mengalokasikan sumber-sumber yang substansial.
4.      Mengemban multifungsi yang merupakan pembeda utama antara daerah otonom dengan lembaga yang terbentuk dalam rangka desentralisasi fungsional.
5.      Penyelenggara desentralisasi adalah Pemerintah Pusat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, yang dapat dilakukan oleh suatu daerah otonom adalah menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan. Kewenangan tersebut merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh daerah yang melingkupi wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidang-bidang kehidupan yang terliput dalam wewenangnya (scope of power) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan peraturan perundang-undangan.[3]
                       
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari Sabang sampai Merouke dan terdiri dari berbagai suku bangsa, tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk mencari format ideal bagi desentralisasi politik dan otonomi daerah. Dengan derajat heterogenitas geografis maupun sosial-budaya yang cukup tinggi, maka daerah cenderung menuntut ruang kekuasaan lebih besar dari yang lazim disediakan oleh pusat negara kesatuan. Maka desentralisasi akan selalu menjadi masalah, jika fondasi ketatanegaraanya tidak dibenahi.[4]
Daerah semakin gencar untuk menuntut ruang kekuasaan yang lebih besar dengan mengajukan pemekaran daerah dan otonomi khusus sebagai bagian proses politik dan pembagian kekuasaan elite politik di tingkat lokal. Euforia pembentukan daerah baru terjadi sekitar tahun 1950 atau 1960, juga pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, waktu itu ada 66% provinsi dan kabupaten baru terbentuk. Pasca Soerharto, terbentuk 56% provinsi dan kabupaten baru.[5] Dan eforia tersebut berlanjut di era reformasi tapi sangat disayangkan berdasarkan evaluasi terhadap daerah otonom baru yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri selama 10 tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran dan 80% daerah otonom baru gagal mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good goverment) serta anggaran dihabiskan hanya untuk pembangunan infrastuktur padahal pembangunan suprastuktur juga perlu mendapatkan perhatian guna menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat dan daerah otonom baru hanya membebani keuangan negara dalam APBN. Menurut Isran Noor hal itu terjadi karena sebagian daerah dibentuk bukan untuk pemerataan pembangunan, melainkan karena faktor politik. "Banyak daerah yang muncul hasil inisiatif DPR.[6] Di sisi lain, Isran menyebutkan bahwa kegagalan pemerintah daerah itu juga akibat kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah pusat belum sepenuhnya memberikan kewenangan, peluang, dan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada penyerapan tenaga kerja.[7]
Desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan menjadi instrumen pemersatu bangsa, malah dewasa ini menimbulkan begitu banyak efek negatif, dimulai dari konflik horizontal sampai pada banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Terkhusus kasus korupsi kepala daerah, berdasarkan keterangan Dirjen Otonomi Daerah selama periode 2004-2012 ada 290 Kepala Daerah terlibat kasus hukum. Prinsip desentralisasi melalui pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sering disebut otonomi daerah seharusnya mampu mendekatkan masyarakat dengan pemimpinnya namun demikian ternyata dimaknai hanya sebagai pelimpahan kewenangan yang berakibat munculnya raja-raja baru di daerah. Oleh karena itu desentralisasi dan otonomi daerah malah kerap disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat perpindahan locus penyelewenangan kekuasaan dari pusat ke daerah.[8] Adapun penulisan ini difocuskan pada Konsep Desentralisasi asimetris dalam kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Permasalahan Penerapan Otonomi Daerah. Pendekatan yang digunakan penulis yaitu normatif yuridis atau studi pustaka, baik itu data primer, sekunder ataupu tersier. 

Otonomi Daerah sebagai Instrument Pemersatu Bangsa
Pada dasarnya negara selalu dihadapkan dua (2) hal yang menjadi cita-cita sebuah negara, yakni kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan rakyat merupakan parameter keberhasilan pemerintah daerah yang pimpinannya dipilih secara demokratis. Otonomi daerah seluas-luasnya terlaksana dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh.[9]
Melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Dekonsentrasi, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Hibah, Dana Bagi Hasil, Pendapatan Asli Daerah, Dana Masyarakat , Dana darurat dan Dana Daerah, diharapkan mampu mendorong pemerataan kesejahteraan diseluruh wilayah nusantara, bukan sebaliknya malah memperkaya elite politik tingkat lokal.
Berkaitan dengan keamanan, daerah harus mampu memberikan keamanan bagi seluruh masyarakatnya dalam menjalankan aktivitas politik, agama, budaya, dan ekonomi. Daerah juga harus  ikut terlibat dalam menjaga serta mempertahankan kedaulatan NKRI.  Penguatan TNI dan Polri dengan dukungan pemerintah daerah mutlak dilaksanakan guna mewujudkan efektivitas operasional. Dalam hubungan ini inovasi Kepala Daerah untuk memfasilitasi dan mendukung institusi pertahanan dan keamanan serta ketertiban dan penegakan hukum mempunyai nilai strategis.[10]
Otonomi daerah secara umum sudah berlangsung lebih baik saat ini dibanding masa sebelum tahun 1999, tetapi masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) kelompok masalah besar:
1.      Tidak tepat dalam hal pendekatan, sehingga masalahnya tidak dapat diatasi, misalnya dengan cara mengharuskan UU sektoral untuk melakukan sinkronisasi.
2.      Pemerintah, pemerintah daerah dan stakeholder lainnya sering melaksanakan UU No. 32 Tahun 2004 dengan tidak sebagaimana mestinya, sehingga sebaiknya UU ini direvisi supaya dapat dilaksanakan dengan benar. Kesalahan itu misalnya pemerintah pusat dan provinsi tetap gemuk, dan pemerintah kabupaten/kota masih banyak yang belum memiliki pegawai yang terampil. 1 Juga ada beberapa usulan RUU yang keperluannya harus dipikir kembali karena dianggap dapat diatur secara lebih baik dalam satu UU tentang Pemerintahan Daerah, misalnya, pelayanan publik, pembangunan daerah tertinggal, tata hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
3.      Dari pengalaman, kita belajar tentang banyak hal dimana sistem pengaturan pemerintah daerah dapat lebih disempurn misalnya dalam hal pembentukan organisasi, fungsi kecamatan, manajemen kinerja pelayanan publik, dan lain-lain.[11]
Tentu dalam perjalanannya sistem disentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mengalami berbagai hambatan, seperti yang disebut diatas tapi itu menjadi penting dimasa transisi seperti saat ini, karena pada dasarnya pengalaman adalah guru terbaik sehingga dari pengalaman tersebut, Indonesia mampu menemukan konsep ideal disentralisasi, bahkan negara Amerika Serikat butuh 300 tahun membangun sistem demokrasinya. Oleh karena itu selalu dibutuhkan proses menuju konsep yang ideal karena pada dasarnya tidak ada sesuatu yang langsung jadi dan tidak ada yang tidak jadi sama sekali.
Indonesia selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal18B ayat (1 & 2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1 & 2) diatur bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang  bersifat khusus atau bersifat istimewa diakui dan dihormati. [12]
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 2 sistem otonomi daerah, yang pertama otonomi khusus (disentralisasi asimetris) seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh dan yang kedua otonomi daerah. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis.
Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration[13]. Pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darussalam diawali oleh gerakan separatis/pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat gerakan separatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa Jakarta melakukan perubahan mendasar format hubungan Jakarta dengan daerah ketimbang sebuah hasrat untuk memisahkan diri yang memang inherent  dalam setiap gerakan separatis.[14]
Pemberian otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu instrument pemersatu bangsa untuk mencapai stabilitas dan membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi secara menyeluruh. Di Spanyol melakukannya selepas meninggalnya Franco. Jerman bahkan dipaksa menerima sebuah format federasi ketika sekutu menaklukannya dalam perang Dunia ke II. Philipina, berusaha mengakhiri pemberontakan panjang di Mindanau dengan merancang sebuah format hubungan khusus antara Manila dengan kawasan yang dikuasai separatis Muslim ini.[15]   
Stabilitasi sistem dapat tercapai melalui pengaturan politik dan pemerintahan desentralisasi bahkan federatif karena didalam format yang ada dapat mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.[16] Tapi perlu diingat pemberian otonomi khusus dan pemekaran daerah dapat mendorong sentimen primordial yang bersifat kesukuan yang berlebih-lebihan, berpotensi hilangnya semangat ke Indonesiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi-diskusi yang diselenggarakan tercatat sejumlah permasalahan Desentralisasi Indonesia, antara lain:[17] 
1.      Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yangg berakibat pada perbedaan interprestasi, tumpang tindih, dan tarik menarik kewenangan antar level pemerintahan;
2.      Kerancuan yang terjadi menyusul model susunan pemerintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sebagaimana kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah kabupaten/kota, dan pada saat bersamaan juga merupakan wakil pempus di daerah;
3.      Situasi pembuatan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah yg cenderung terpecah-pecah sehingga menghasilkan pert uu-an yang saling bertentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam lingkup nasional maupun lokal;  
4.      Kecenderungan pemerintah nasional tidak melakukan penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi sehingga yang terjadi justru “pembengkakan” struktur kelembagaan di pusat;
5.      Pembagian kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh daerah sehingga banyak menimbulkan banyak kesulitan karena tak seluruhnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah;
6.      Banyaknya urusan pemerintahan yang mensyaratkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria), dimana kelambanan di departemen sektoral dlm NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas penyelenggaraan urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada keleluasaan bagi daerah untuk bergerak sebelum NSPK keluar, namun sangat sedikit daerah yang berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan publik. Selain itu, dalam pelaksanaannya di Indonesia  terdapat sejumlah tantangan Desentralisasi, yaitu  Problem Uniformitas yang dirinci sebagai berikut:[18]

·         Desain tunggal desentralisasi di tengah keberagaman karakteristik dan kebutuhan lokal tidak menjadi jawaban atas variasi tantangan lokal Indonesia;
·         Karakteristik khusus misalnya Daerah kepulauan, daerah perbatasan, kawasan rawan bencana, kawasan-kawan dengan keunikan budaya dan kesejarahan, daerah-daerah dgn keterbatasan  kapasitas dalam pengelolaan fungsi dasar pemerintahan, daerah-daerah  yang menyimpan konflik dengan nasional.
·         Daerah-daerah tersebut, uniformitas desain desentralisasi gagal menjadi kerangka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.
·         Perlu pemikiran alternatif bagaimana model desentralisasi.
Konsep desentralisasi asimetris perlu didorong sebagai altenatif desain desentralisasi kedepan sebagai jawaban atas berbagai karateristik daerah-daerah di Indonesia.
Konsep Desentralisasi Asimetris Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kita mengenal otonomi khusus seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh serta DKI tapi bagaimana dengan daerah lain yang memiliki dinamika dan kekhasan tersendiri, misalnya provinsi Bali dengan budaya dan pariwisata, DKI Jakarta  yang memiliki kekhususan sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan, Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen saja dari wilayah kepulauannya, Kutai Kartanegara yang menuntut otonomi khusus karena merasa mempunyai income perkapita tinggi, basis ekonomi yang kuat, basis material yang kuat dan Solo yang juga menuntut otonomi khusus sebagai daerah istimewa karena memiliki kekhasan kebudayaan dan historis.
Inti dari disentralisasi asimetris ialah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Pertanyaan selanjutnya apakah sistem desentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi seperti yang terjadi saat ini di provinsi DIY, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua ataukah di level kabupaten/kota  karena pada dasanya kekhasan dibidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, bisa ditemukan diwilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut Mas’ud Said disentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.[19] Dan diletakkannya otonomi khusus di level provinsi agar tidak menciptakan hubungan berbeda pemerintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Negara harus mampu mengakomodasi berbagai kekhususan dan dinamika yang dimiliki masing-masing daerah karena dikuatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang merugikan masa depan rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan keragaman potensi daerah, social budaya, etnis, geografis, ekonomi dan social politik. Pada dasarnya UUD RI 1945 memberikan peluang penerapan desentralisasi asimetris melalui ketentuan pasal 18 yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat  dan hak-hak tradisional. Berdasarkan penelitian  Jurusan Politik dan Pemerintahan  Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) berkerja sama dengan Tifa Foundation desain asimetrisme dapat didasarkan atas pertimbangan konflik, kebudayaan, ekonomi, perbatasan dan ibukota negara[20].
Pemberlakukan desentralisasi asimetris merupakan respon terhadap ancaman disintergrasi bangsa. Berawal dari penghianatan atas negara hukum (recht staat) berlaku pada orde lama, orde baru sampai dengan era reformasi. Ketiadaan hukum bermula dibidang politik pada 1965 saat negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tentu menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap para pemimpinnya, rezim boleh berubah tapi ternyata korupsi tetap saja merajalela di negeri ini dan Indonesia seolah-olah hanyalah Jakarta serta mengenyampingkan keberadaan daera-daerah lain.
Ketidakpercayaan memunculkan berbagai perlawanan dari masyarakat atau (sosial force) diberbagai belahan negeri ini. Keadaan yang sudah kacau balau seperti ini tentu mengkhawatirkan dan paling menakutkan dari akumulasi dis-orientasi, distrust dan social force adalah disintegrasi bangsa. Diujung timur indonesia rakyat Papua dan rakyat Aceh berusaha melawan kesewanang-wenangan penguasa, kedua daerah tersebut berusaha memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia melalui upaya militer. Oleh karena itu untuk menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia dan mencegah disintegrasi bangsa, maka diterapkan disentralisasi asimetris melalui pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe  Aceh Darussalam.      
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Isipol UGM, menemukan adanya praktik otonomi dan kekhususan di beberapa daerah, antara lain, di Aceh, Batam, Daerah Khusus Ibu Kota, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Papua. Penerapan desentralisasi asimetris itu sangat tergantung pada kekuatan leadership (kepemimpinan), bahkan capaian politik sangat ditentukan oleh kekuatan figur dan lobi politik. Sebagaimana dicontohkan, munculnya kewenangan desentralisasi khusus di daerah pada awalnya dilakukan oleh tokoh, antara lain, Teuku Daud Beureuh dan Hasan Tiro di NAD, Ali Sadikin dan Sutiyoso di DKI, Hamengku Buwono IX di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Sultan Hamid II di Kalimantan Barat[21]. Orang-orang ini mengawal desentralisasi asimetris.
Desentralisasi asimetris dapat dimaknai dengan berbagai mekanisme, misalnya sistem pemerintahan di DIY yang bercorak monarkhi konstitusional, dimana mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD dan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh  Sultan Hamengku Bowono yang bertakhta untuk calon Gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur DIY[22], Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariah islam dan memiliki sistem kepartaian ditingkat lokal yang lekat dalam sistem desentralisasi federalis dan di Papua yang disyaratkan  hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya. Disinilah yang menjadi problem ketika logika negara kesatuan, seperti yang ditegaskan dalam pasal 1 UUD RI 1945 mangatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan tapi dalam penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006 dan  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008  cenderung menerapkan sistem disentralisasi federalis.  Oleh karena itu logika ketetanegaraan Indonesia kerap goyah, inkonsistensi pun terjadi pada sistem pemerintahan Indonesia yang presidensil tapi dijalankan dengan sistem parlementer. 
Negara kesatuan dan negara federasi memiliki perbedaan yang fundamental, negara kesatuan bersusun tunggal dan urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan serta pemegang tertinggi dinegara adalah pemerintah pusat, sedangkan negara federasi bersusun jamak yang terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri. Negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.[23]
C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi. Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakkan dengan dua cara, tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Kanada dan sebagainya . Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal.[24]
Dalam kaitannya indonesia sebagai negara kesatuan, tentu  pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Distribution of power (pembagian kekuasaan) oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berimplikasi hampir semua kewenangan dilimpahkan ke daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.[25] Dalam hal ini peranan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara dan pemberian otonomi khusus kepada provinsi DIY, Nagroe Aceh Darussalam dan Papua sebagai bagian penerapan disentralisasi asimetris tapi sebagai negara kesatuan Indonesia tentu dibeberapa ketentuan pasal-pasal otonomi khusus lebih bercorak sistem federal, misalnya lembaga negara yang bersifat lokal Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh[26] dan Majelis Rakyat Papua (MRP) [27] yang lazimnya berada tingkatan pusat atau disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang diatur dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3.  
Dalam pelaksanaan otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dan Papua yang mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya dalam ketentuan pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 dan pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Aceh dan Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.
Produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada tingkat yang lebih tinggi dan Peraturan Daerah Provinsi  (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan pelaksananya[28].
Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun. Sedangkan produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah “Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten.
Merujuk pada ketentuan negara kesatuan yang memposisikan pemerintah pusat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi negara dan bukan malah sebaliknya, misalnya kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharuskan untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur, tentu ini tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan, maka pilihan selanjutnya ialah merombak Undang-Undang provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Papua agar sesuai dengan prinsip negara kesatuan ataukah merombak logika negara kesatuan agar sesuai dengan logika desentralisasi federalis karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan. 
Namun demikian walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan. Selain itu diperlukan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah agar mangakomodir desentralisasi asimetris atau solusi payung hukum setingkat Instruksi Presiden (inpres) untuk mengakomodasi konteks provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka ke kerangka otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU[29]. Apa yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh, memberikan bantuan khusus dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi provinsi Kepulauan Riau, peningkatan kesejahteraan wilayah perbatasan Kalimantan Barat, pendekatan kultural dan historis Yogyakarta dan ibu kota negara DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris karena esesinya karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.
Berdasarkan hasil penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dengan Yayasan TIFA yang menakar keberhasilan disentralisasi asimetris melalui pendekatan kesejahteraan. Secara umum otonomi khusus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia[30] tapi bandingkan otonomi khusus papua dengan dana otsus yang demikian besar setelah duabelas tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah. Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak dibuat. Evaluasi pemerintah terhadap otsus yang seharusnya dilakukan tiga tahun setelah diberlakukan: sampai kini tak ada[31]. Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada penyelewengan dana otsus, Rp 380 miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah tak perlu dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka[32]. Namun demikian demi mewujudkan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) dan persamaan perlakuan (equal treatment), maka  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, harus segera melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik, baik ditingkatan lokal maupun pusat.
Padahal pada tahun 2012, pemerintah  mengucurkan dana Otsus sebesar Rp 3,83 triliun untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding pada 2011 tapi kenyataannya tidak mampu mensejahterahkan rakyat Papua. Oleh karena itu dibutukan konsesus untuk mencari solusi yang tepat bagi Papua. Hal yang pertama yang perlu dilakukan adalah penningkatan pengawasan yang lebih efektif dalam hal penyaluran dana Otsus Papua agar mampu menimalisir penyelewengan dana otsus Papua.
Selain itu, perlu penguatan hubungan kelembagaan, baik pemerintah pusat maupun daerah (Papua), sehingga desain besar pembangunan Papua mampu dijabarkan pada tingkatan daerah. Regulasi yang lebih konsisten akan mendorong dana otsus Papua tepat sasaran guna perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua, penanggulangan kemiskinan, pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak, pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat, serta pembangunan suprastruktur dan infrastruktur yang layak dan merata di seluruh daerah. Lebih penting lagi, memupuk kembali trust masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat agar terjalin sinergitas antar semua steakholder dalam membangunan Papua yang lebih baik dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Kegagalan desentralisasi asimetris di Papua akan memberikan tekanan bagi pemerintah pusat dan tentunya akan memunculkan dorongan yang lebih kuat lagi untuk memerdekan diri sebagai suatu negara yang terpisah dengan negara kesatuan republik Indonesia.
Kedepan pilihan model pengembangan desentralisasi asimetris dapat didesain sebagai berikut:[33] 
1.      Model Desentralisasi Asimetris Penuh
Setiap daerah diperlakukan secara berbeda-beda karena mengasumsikan adanya pluralisme yang sangat ekstrim yang harus direspons Pemerintah Nasional. Level daerah yang didefinisikan sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah seperti apa asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah, namun juga berpotensi menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah. Prasyarat pengembangan model ini adalah kapasitas nasional yang sangat kuat dalam sipervisi desentraisasi.  
2.      Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial Ekonomi
Kawasan-kawasan yang ada dijustifikasi secara berbeda dengan mempetimbangkan beberapa ukuran, misalnya ukuran-ukuran yang bersifat teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekonomi tertentu. Secara lebih umum, pendefinisian model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang tertinggal. Dalam konteks Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya, akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuk asmetris yang akan dikembangkan. Contoh lain dalam kategori ini adalah derajat kemajuan sosial-ekonomi, yang menghasilkan kateori rural-urban. Pengembangan model ini akan menjadi jawaban  untuk pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi yang sangat cadvanced. Penerapan model ini telah diaplikasikan provinsi Kepulauan Riau dan provinsi Kalimantan Barat. 
3.      Model Kombinasian Antara Otonomi Khusus dan Otonomi Reguler     
Model yang sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dengan sub nasional yang mengarah ke gerakan-gerakan pemisahan diri (secession) atau dikarenakan karakter daerah yang sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu. Pilihan terhadap model ini sudah dilakukan dalam kasus 4 daerah khusus/istimewa.
Dari beberapa alternatif tersebut diatas, penulis berpendapat model kombinasi otonomi khusus dan otonomi reguler perlu dikedepankan, dengan desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu. Namun demikian model asimetris berbasis kategori kemajuan sosial ekonomi juga dapat menjadi solusi pengembangan disentralisasi asimetris di Indonesia. Dengan wilayah nusantara yang terdiri dari seribu pulau, maka perlu pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan memberikan pendidikan yang berkualitas, diseluruh wilayah indonesia, terutama di wilayah berbatasan langsung dengan negara lain, seperti provinsi Kalimantan Barat. Dari berbagai pilihan model disentralisasi asimetris yang ada, diperlukan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah sehingga daerah mampu mendifinisikan kekhususan tersebut dan perlu diatur mengenai mekanisme pengajuan kekhususan tersebut
Kepemimpinan yang Berintegritas dan Kompeten.
Demokrasi dengan slogannya dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat menuntut partisipasi publik yang lebih, disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi landasan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat di daerah. Pelaksanaan tugas dan kewenangan kepala daerah yang berjalan dalam kerangka otonomi daerah harus mampu mewujudkan prinsip-prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance ) dengan landasan 4 (empat) pilar, (1) akuntabilitas, (2) transparansi, (3) kebijakan dapat diprediksi, (4) partisipasi masyarakat[34].                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Menerapkan sistem yang baik, tentu dibutuhkan pemimpin yang berintegritas dan juga berkompeten, masalahnya di Indonesia dewasa ini sebagian besar pemimpinnya tidak berintegritas serta berkompeten. Selian itu korupsi telah membudaya di negeri ini, baik itu di level birokrasi, politisi dan aparat penegak hukum. Sungguh benar nasihat Nabi Muhammad saw, jika suatu perkara diserhkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggu saja kehancuran. Tugas pemimpin adalah memberdayakan masyarakat bukan malah sebaliknya memperdayai masyarakat.
Kaitannya dalam membangun sistem disentralisasi yang ideal tentu membutuhkan sosok pemimpin yang  kreative dan inovatif guna mendukung tercapainya tujuan disentralisasi yaitu penyebaran kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimanapun pembangunan sistem yang ideal tanpa didukung kepemimpinan yang berintegritas tinggi dan berkompeten akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial budaya serta politik.           
Kesimpulan  dan Saran.
Konsep desentralisasi asimetris perlu dikedepankan guna mensejahterahkan rakyat, dengan karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Provinsi Papua, Aceh,  Kepulauan Riau,  Kalimantan Barat, Daerah IstimewaYogyakarta dan  DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris.
Cakupan desentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini dan tidak menciptakan hubungan berbeda pemrintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Demi tercapainya tujuan desentralisasi dan otonomi daerah diperlukan kepemimpinan yang beritegritas dan berkompeten, pembangunan sistem yang ideal tanpa didukung kepemimpinan yang berintegritas tinggi dan berkompeten akan menghambat pencapain cita-cita desentralisasi dan otonomi.            
Perlu penyelelarasakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan pelaksanaan disentralisasi karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.

  
 DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku.
A.A.GN Ari Dwipayana,  Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011.
Abdul Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Bhenyamin Hoessein, “Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah,” Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta: Yayasan Tifa, 2005.
Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah.
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila
Kotan Y. Stefanus, Makalah,  Pengembangan   Desentralisasi   Asimetris Dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia, Press, 2009.
Pratikno, dkk,  Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Hasil Penelitian,  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ramlan Surbakti,  Memahami Ilmu Politik , Jakarta: Grassindo, 2010.
Rusdianto S, Makalah, Status Daerah Otonomi Khusus Dan Istimewa Dalam Sistem Ketatanegaran Republik Indonesia.
Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seminar Internasional ke Delapan Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Penataan Daerah dan Dinamikanya, 2008.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang  No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.                                                
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Uundang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Undang-Undang  No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. 
Perpu   No. 1 Tahun 2008  tentang Pemerintahan Aceh.
Internet
Artikel, Desimenasi Hasil Riset Model Desentralisasi Asimetris Aceh-Papua, Diseminasi Hasil Riset Model Desentralisasi  Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website of JPP.htm, Diakses pada tanggal 30 Januari 2013.
Artikel, Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan,  Media Indonesia Mobile - Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan.htm, diakses pada tanggal 27 januari 2013.
Bayu Dardias, Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://sional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses pada tanggal 28 januari 2013.
M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, News  Desentralisasi Asimetris - Prof. M. Mas'ud Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.




[1] Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah,  hal 19
[2] Bhenyamin Hoessein, 2005,  Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah,  Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta: Yayasan Tifa,  hal 198.
[3] Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah, op cit hal 18
[4] Abdul Gaffar Karim (Editor), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal xxvii
[5] Seminar Internasional ke Delapan Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Penataan Daerah dan Dinamikanya, 2008, Percik, Hal 36.  
[6] Artikel, Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan,  Media Indonesia Mobile - Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan.htm, diakses pada tanggal 27 januari 2013.
[7] Artikel, Pemekaran Daerah Gagal Ciptakan Pertumbuhan, Ibid 
[8]Abdul Gaffar Karim (Editor), Op cit, Hal xix
[9] Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ha l 9
[10] Ir. H. Isran Noor, Msi, Ibid
[11] Draf Naskah Akademik,  hal  4
[12] Lihat ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18A dan Pasal 18B.
[13] M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, News  Desentralisasi Asimetris - Prof. M. Mas'ud Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.
[14]  Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), Otonomi Daerah dan Keindonesiaan , Op cit, Hal 12
[15] Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), Otonomi Daerah dan Keindonesiaan,  Op cit, Hal 17
[16] Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), ibid
[17] Kotan Y. Stefanus, Makalah,  Pengembangan   Desentralisasi   Asimetris Dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[18] A.A.GN Ari Dwipayana,2011,  Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 1-2.
[19] M. Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, Loc cit.
[20] Artikel, Desimenasi Hasil Rist Model Desentralisasi Asimetris Aceh-Papua, Diseminasi Hasil Riset Model Desentralisasi  Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website of JPP.htm, Diakses pada tanggal 30 Januari 2013.
[21] Pratikno, dkk, 2010,  Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Hasil Penelitian,  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 139
[22] Lihat Pasal 18 huruf (n) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta
[23] Ramlan Surbakti, 2010,  Memahami Ilmu Politik , Jakarta: Grassindo, hal. 216
[24] Edie Toet Hendratno,  2009, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, hal 58
[25] Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional.
[26] Lihat Undang-Uundang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
[27] Lihat Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001
[28] Rusdianto S, Makalah, Status Daerah Otonomi Khusus Dan Istimewa Dalam Sistem Ketatanegaran Republik Indonesia, hal 16.
[29]  M Mas’ud Said, Perlunya Desentralisasi Asimetris, Loc cit
[30] Bayu Dardias, Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://sional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses pada tanggal 28 januari 2013.
[31] Bayu Dardias,  Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, ibid
[32] Bayu Dardias, Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, ibid
[33] Pratikno, dkk,  Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Op cit , hal 15-17.
[34] Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Op cit, hal  65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar