Selasa, 21 Juli 2015

OTONOMI DAERAH



BAB I
 PENDAHULUAN
           A.    Latar Belakang Masalah

Berdasarkan UUD NRI 1945 sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa  “Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik”[1]. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (local goverment) . Sebagai negara unitaris Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut 2 dua nilai dasar yaitu nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial yang pengejawantahannya berupa otonomi daerah. Sehingga negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Konsep Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi menghendaki adanya pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah otonom, namun kekuasaan asal tetap berada pada pemerintahan pusat. Konsep Negara Kesatuan dengan sistem desentralistik diejawantahkan dalam Pasal 18 dan penjelasannya yang kemudian diamandemen menjadi Pasal 18, 18A dan 18B.
Pasal 18, 18A dan 18B memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan desentralisasi yang menekankan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dan menekankan pada pengakuan kekhususan dan keistimewaan satuan-satuan pemerintahan. Pasal 18 UUD 1945 amandemen melahirkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berbicara konsep otonomi daerah pasca reformasi terdapat pemahaman yang menimbulkan penafsiran dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang terdapat dalam UU UU No 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan. Dalam  UU No. 32/2004 Jo PP No 38/2007 mengandung penafsiran kecenderungan kearah resentralisasi kewenangan yaitu dengan dianutnya paham pembagian urusan, dimana pembagian urusan dirinci menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dengan urusan yang sama baik untuk pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 13 dan Pasal 14). Dan pembagian urusan baik urusan wajib dan urusan pilihan menjadi urusan bersama "concurrent" yang diselenggarakan Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
           
           B.     Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Adapun rumusan permasalahan dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep hubungan kewenangan yang cocok untuk NKRI dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah
Menurut Clarke dan Stewart[2] model hubungan pemerintah pusat dan daerah secara teoritis dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu :
1)      The Relative Autonomy Model. Model ini memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat serta tetap berpegang teguh pada urusan-urusan pembantuan dalm konteks negara kesatuan.
2)      The Agency Model. Pada model ini pemerintah daerah tidak memiliki kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya hanya terlihat sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakasanaan pemerintah pusatnya.
3)      The Interaction Model. Model ini merupakan suatu model di mana keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah.
Pengaturan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam hal hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Regulasi mengenai hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan di analisis agar tidak terdapat kendala serta menghindari terjadinya permasalahan dalam penyelenggaraan dan pelakasanaan pemerintahan secara keseluruhan (pusat-daerah). Dengan adanya satuan pemerintahan daerah tentu telah menimbulkan dan melahirkan sebuah konsekuensi akan lahirnya sebuah konsep pembatasan dan pembagian kekuasaan sebagai salah satu unsur dalam konteks negara hukum yang di tuangkan dalam bentuk undang-undang.
Pembatasan dan pembagian kekuasaan dalam hal hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dibagi dalam dua bentuk yaitu pembatasan dan pembagian kekuasaan secara horisontal dan vertikal.  Pertama, pembatasan dan pembagian kekusaan secara horizontal yaitu suatu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan kepada tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar (trias politika) yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua, pembatasan dan pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintahan nasional (pusat) dengan pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam konsep negara kesatuan, federasi dan konfederasi.
Dalam sistem negara kesatuan, seperti halnya negara Indonesia dapat ditemukan dua cara yang dapat menghubungkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yaitu sebagai berikut[3] :  
a)      Sentralisasi, yaitu segala urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan berada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi.
b)      Desentralisasi, yaitu dimana urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.
Dari kedua cara tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pelimpahan melalui dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang kepada perangkat aparat secara vertikal yang berada pada hirarkinya didaerah. Sedangkan, penyerahan dalam rangka desentralisasi merupakan pendelegasian urusan kepada daerah otonom.
Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah menurut Ismail Sunny, sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda[4] terdapat ada lima tingkatan yaitu :
a)      Negara kesatuan dengan otonomi terbatas
b)      Negara Kesatuan dengan otonomi luas.
c)      Negara quasi federal dengan provinsi atas kebaikan pemrintah pusat
d)     Negara federan dengan pemerintahan federal (Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Swiss)
e)      Negara Konfederasi.
Apabila dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan yang secara desentralisasi atau otonomi maka dapat menunjukkan beberapa hal yaitu sebagai berikut[5]:
1)      Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
2)      Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien.
3)      Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif
4)      Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

 B.      Konsep Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam NKRI dan  Pelaksanaan Otonomi Seluas-luasnya.
Seiring dengan pilar Negara hukum yaitu asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Jadi, secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi dan mandat.
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini, H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :[6]
a)      Attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuurrsorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
b)      Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada pemerintahan lainnya).
c)      Mandat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengisinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).
Van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek mengatakan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi disebutkan bahwa, Atribusi yaitu berkenaan dengan penyerahan wewenang yang baru, sedangkan Delegasi  yaitu menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa delagsi secara logis selalui didahului oleh atribusi).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang sangat luas, maka alat administrasi Negara (bestuur) sebagai pelaksana pemerintahan diberi kewenagan yang bebas (vrije bestuur, freies ermessen) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah dapat mengambil tindakan yang cepat dan tepat serta berfaedah dalam menjalankan tugas pemerintahan dan kenegaraan. Irfan Fahruddin berpendapat bahwa untuk kepentingan pengurusan Negara dan masyarakat, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh alat administrasi Negara diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang untuk melaksanakan tugasnya[7].  
Terkait kewenangan Gubernur sebagai Kepala Daerah, dapat dikaji/dianalisis dengan menggunakan beberapa teori tentang kewenangan yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Menganalisis kewenangan Gubernur dengan menggunakan teori-teori kewenangan tersebut barulah dapat menentukan sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah. Landasan kewenangan dalam penyelenggaraan wewenang Gubernur sebagai kepala daerah dapat dianalisis dengan menggunakan tiga teori. Pertama, landasan kewenangan atas dasar atribusi. Atas dasar landasan kewenangan ini maka wewenang yang ada pada alat administrasi negara atau pejabat administrasi negara sifatnya melekat, tidak bisa dialihkan dan tidak dapat dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar mandat, yakni bahwa wewenang itu diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari pejabat kepada subjek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi mandat dan tanggungjawab pemberi mandat. Ketiga, kewenangan atas dasar delegasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pejabat administrasi negara kepada subjek hukum lain untuk bertindak atas nama sendiri dan atas tanggungjawab sendiri, pelimppahan wewenang tersebut dilakukan pejabat lain yang bersifat horizontal.[8]
Negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu, Pertama, negara kesatuan dengan sistem sentralisasi. Negara kesatuan dengan sistem ini bahwa segala sesuatu dalam negara kesatuan  segalanya diatur dan diurus langsung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya melaksanakan segala yang di instruksikan oleh pemerintah pusat.  Kedua, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Bahwa dalam sistem ini pemerintah pusat memberikan kesempatan, kekuasaan atau kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang disebut sebagai daerah otonom.
Menurut Sri Soemantri sebagaimana dikutip oleh Ni’matu Huda[9] dalam bukunya mengatakan bahwa pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, akan tetapi karena masalah itu merupakan hakikat daripada negara kesatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan hubungan pusat dan daerah dalam konsep negara kesatuan sangatlah penting. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mengenai daerah otonom bukanlah semata-mata karena amanat UUD NRI 1945 sebagaimana yang diamanat dalam pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B.
Dalam suatu negara kesatuan, pada dasarnya semua urusan pemerintahan berada pada pemerintah pusat tetapi urusan pemerintahan tersebut dapat didelegasikan, dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintah yang lebih rendah melalui pembentukan undang-undang. Dengan keterlibatan satuan pemerintahan yang lebih rendah atau pemerintah dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan dapat dilaksanakan dengan melalui beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan seperti asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan dan asas kebijaksanaan. Perlu diketahui bahwa pengelompokkan antara asas desentralisasi dan dekonsentrasi masih menimbulkan perbedaan dan perdebatan, sebab menurut beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah dinyatakan sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Muh. Fauzan[10] bahwa desentralisasi bukanlah asas melainkan suatu proses, yang termasuk asas adalah otonomi dan tugas pembantuan. Demikian juga dengan dekonsentrasi, sebenarnya bukan merupakan asas, tetapi proses atau cara penyelenggaraan sesuatu[11].
Dari uraian penjelasan tersebut diatas, Muh. Fauzan menyimpulkan bahwa terdapat dua pandangan mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi yaitu sebagai berikut[12] :
1)      Dari aspek yuridis formal bahwa desentralisasi maupun dekonsentrasi kedua-duanya merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan
2)      Desentralisasi maupun dekonsentrasi kedua-duanya bukan merupakan asas, melainkan proses penyelnggaraan pemerintahan.
Jika kita melihat dalam pengaturan UUD NRI 1945 hasil amandemen tidak mengatur pengelompokkan antara desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UUD NRI 1945 yang merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan adalah asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (2) yang menentukan bahwa “pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urursan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”[13].
Tidak diaturnya asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam konstitusi sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan dari pasal 18 UUD NRI 1945 hasil amandemen dalam perspektif teoritis bukanlah suatu permasalahan yang sangat fundamental dan hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena pengertian umum desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat. Dengan demikian, dekonsentrasi dalam pengertian umum dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi, karena mengandung makna pemencaran.  
Apabila mengacu pada Pasal 18 UUD NRI 1945, sebagaimana yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis berpandangan bahwa dalam konstitusi negara Indonesia hanya dikenal ada dua asas yaitu asas otonomi dan asas tugas pembantuan. Dengan demikian, pada konteks negara kesatuan Indonesia penyelenggaraan pemerintahan dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan daerah hanya dapat digunakan asas otonomi dan asas tugas pembantuan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa dalam hubungan penyelenggaraan antara pemerintah pusat dan daerah dapat diterapkan kedalam dua metode atau mekanisme yaitu sebagai berikut:
1)   Untuk Pemerintah Provinsi konsep hubungan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan yaitu asas tugas pembantuan.
2)   Untuk pemerintah daerah kabupaten konsep hubungan kewenangan yang diberikan yaitu asas otonomi seluas-luasnya.
Metode tersebut diatas sebaiknya diterapkan dalam konsep hubungan kewenangang antara pemerintah pusat dengan pemerintah yang lebih rendah (provinsi dan kabupaten). Sebab metode tersebut lebih cocok bagi konteks negara kesatuan terutama bagi Indonesia. Karena metode tersebut dapat memberikan efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan juga dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Hal ini juga dimkasudkan agar pemerintah pusat masih dapat mengontrol segala pelaksanaan pemerintahan sebagai bentuk tugas pembantuan dari pemerinah pusat. Sedangkan untuk daerah kabupaten diberikan otonomi seluas-luasnya, karena pemerintah kabupatenlah yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga wajar apabila otonomi seluas-luasnya diberikan ke daerah kabupaten saja. Hal ini dimaksudkan guna percepatan pembangunan, dan dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat.  
   
BAB III
PENUTUP 
            A.    Kesimpulan
Bahwa dalam konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI tahun 1945 sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 18 hanya ada dua asas yaitu asas otonomi dan asas tugas pembantuan. Maka untuk konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya dapat diterapakn kedua asas tersebut sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Sehingga penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa konsep hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah dapat digunakan metode yaitu. Pertama, Untuk Pemerintah Provinsi konsep hubungan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan yaitu asas tugas pembantuan. Kedua, Untuk pemerintah daerah kabupaten konsep hubungan kewenangan yang diberikan yaitu asas otonomi seluas-luasnya. Untuk menerapkan hal tersebut tentunya dibutuhkan suatu regulasi yang baru untuk mengatur konsep hubungan kewenangan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Ni’Matul Huda, S.H.,M.Hum., Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2009.
__________., Otonomi Daerah, filosofi, sejarah perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar, Cetakan ketiga, 2013.
DR. Ni’Matul Huda., Desentralisasi Asimetris Dalam  NKRI, Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus., Nusa Media, Bandung, 2014
Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, UNY Press, Yogyakarta, 2011.
Dr. Muhammad Fausan, S.H., M. Hum. Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. PKHD FH UNSOED kerjasama UII Press, Yogyakarta, 2006.


[1] Lihat Pasal 1, UUD NRI 1945.
[2] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2009. Hlm. 12
[3] Dr. Muhammad Fausan, S.H., M. Hum. Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah. PKHD FH UNSOED kerjasama UII Press, Yogyakarta, 2006. Hlm. 2
[4] Ni’matul Huda, S.H., M. Hum., Otonomi Daerah, filosofi, sejarah perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar, Cetakan ketiga, 2013, Hlm. 87-88.  
[5] Ni’matul Huda, Otonomi daerah …., Ibid, Hlm. 89
[6] Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Hlm. 104-105
[7] Eny Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik,UNY Press, Yogyakarta, 2011. Hlm. 88
[8]Ibid. hlm. 87-88.
[9] Lihat Ni’matul Huda, Pemerintahan Daerah, Hlm. 29
[10] Dr. Muhammad Fauzan, S.H., M.H., Op. Cit.  Hlm. 39.
[11] Ibid                                                                                                                                                                   
[12][12] Op. Cit. Hlm. 40
[13] Lihat Pasal 18 UUD NRI 1945 (hasil amandemen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar