BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara
historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan
di Indonesia. Jauh sebelum bangsa-negara modern terbentuk, kelompok sosial
sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi bagian
yang penting dalam suatu tatanan negara.[1]
Oleh karenanya, sering terdengar bahwa desa merupakan wilayah yang paling
otonom di Indonesia. Hal ini kemudian dikuatkan bahwa kelompok masyarakat di
dalamnya, memiliki tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang telah
mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari
luar.[2]
Menurut
Soetardjo Kartohadikoesoemo desa di Indonesia sebagai daerah hukum yang paling
tua menjalankan otonomi sangat luas, lebih luas dari otonomi daerah-daerah
hukum diatasnya yang menyusul dikemudian hari baik yang dibentuk oleh desa-desa
bersama-sama dengan sukarela maupun yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih
kuat. Daerah-daerah yang lebih tinggi tersebut kemudian memberikan pembatasan-pembatasan
tertentu terhadap otonomi desa.[3]
Selain itu, adanya unsur religius magis juga memperluas dimensi kepentingan
pemenuhan hak dan kewajiban di desa, terutama desa adat yang diatur dalam hukum
adat karena terdapat konsep kepentingan kerohanian.
Menurut
Taliziduhu Ndraha, otonomi desa berbeda dengan otonomi daerah yang diatur di
dalam UU No. 5 Tahun 1974. Perbedaannya antara lain: a) otonomi desa sudah ada
sejak zaman dahulu; b)berdasarkan hukum adat (asli Indonesia); c) pada
hakekatnya tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat; d) isinya seakan-akan
tidak terbatas; e) isinya fleksibel, elastis, kenyal; f) diperoleh secara
tradisional bersumber dari hukum adat; g) aspek ‘mengatur’ (hal-hal yang
sifatnya mandiri diatur oleh desa) semakin merosot karena satu persatu diatur
oleh pemerintah yang lebih tinggi; h) bobotnya di wilayah perkotaan (urban)
semakin ringan; dan i) lebih bersifat nyata dan materiil.[4]
Sebagai
bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan)
menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di
Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
negara yang mengenai daerah-daerah tersebut akan mengingati hak-hak asasi usul
daerah tersebut.[5]
Apabila
ditinjau dari segi historis, yakni dari sejarah pembentukan UUD 1945, Moh.
Yamin-lah yang pertama kali membahas permasalahan Pemerintahan Daerah dalam
Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, termasuk di dalamnya Moh. Yamin menyinggung
tentang Desa dan bagaimana hubungannya dengan wilayah lainnya:[6]
“Negeri, Desa, dan segala persekutuan
hukum adat yang dibaharui dengan jaan rasionalisme dan pembaharuan zaman,
dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian
bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan
Pemerintahan Urusan Dalam, Pangreh Raja,”
Pemikiran
Moh. Yamin mengenai Pemerintahan Daerah dapat dijumpai lagi dalam pidatonya
tanggal 11 Juli 1945 di hadapan BPUPKI yang antara lain mengatakan:[7]
“Pemerintahan dalam Republik ini
pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu
susunan pemerintahan yang paling bawah, pemerintahan ini saya namakan
pemerintahan bawahan.”
“antara pemerintahan atasan dan
pemerintahan bawahan itu adalah pemerintahan yang baik saya sebut pemerintahan
tengahan. Perkara desa barngkali tidak perlu saya bicarakan disini melainkan
kita harapkan saja, supaya sifatnya diperbaharui atau disesuaikan dengan
keperluan zaman baru,”
“Tetapi yang perlu ditegaskan disini,
yaitu bahwa desa-desa negeri-negeri, warga-warga dan lainnya tetaplah menjadi
kaki Pemerintahan Republik Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintahan atasan
dan bawahan, kita pusatkan Pemerintah Daerah.”
Dalam
kutipan gagasan serta pidato Moh. Yamin, dapat ditarik beberapa catatan.
Pertama, pengakuan atas masyarakat hukum adat serta wilayahnya telah digagas
sejak perumusan UUD 1945 dalam rapat BPUPKI 1945, pengakuan ini menunjukkan
bahwa eksistensinya berperan sebagai penguat kaki bangsa Indonesia. Kedua, Moh.
Yamin, pada saat itu berpendapat bahwa pemerintahan desa merupakan pemerintahan
yang mendapatkan stratifikasi di bawah sehingga disebut sebagai pemerintahan
paling bawah[8]
dan pemerintahan atasan (pemerintah pusat). Moh. Yamin hanya menyebutkan
pemerintahan bawah dan pemerintahan atasan, dan kemudian baru mengatakan
“ditengah-tengah pemerintah atasan dan bawahan, kita pusatkan pemerintah
daerah” yang seolah memiliki fungsi sebagai menghubung antara urusan di desa
dan pusat. Ketiga, terdapat harapan bahwa desa sebaiknya tetap dipertahankan
akan tetapi butuh pembaharuan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Peraturan
desa serta perangkat desa, kebanyakan menggunakan hukum-hukum asli desa dan
hukum adat yang memiliki kesesuaian dan perbedaan dengan hukum nasional, oleh
karenanya pada perkembangannya dipandang perlu untuk mengakomodir pembaharuan
tersebut dalam satu instrumen peraturan perundang-undangan.
Pembahasan
mengenai pemerintahan daerah yang dilontarkan beberapa kali oleh Moh. Yamin dan
Soepomo yang menjadi tunas ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang memiliki esensi
sebagai berikut: pertama, keberadaan daerah otonomi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah didasarkan pada asas desentralisasi. Kedua, satuan
pemerintahan tingkat daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraannya dilakukan
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara”. Ketiga, pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan
dengan “memandang dan mengingati hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.”[9]
Pada
perkembanganya, terdapat penambahan Pasal 18 UUD 1945 yang memuat hubungan dan
pengakuan atas satuan daerah-daerah yang dianggap istimewa. Namun munculnya
Pasal 18 ayat (1) maupun dalam Pasal 18 B ayat (2) tidak muncul pengakuan
secara tegas bahwa desa memiliki otonomi asli. Apabila kedua pasal tersebut
dihubungkan, dapat dipahami bahwa keberadaan masyarakat hukum adat diakui
secara konstitusional, namun eksistensi daerah-daerah yang mempunyai susunan
asli yang dihuni masyarakat hukum ada tersebut tiddak mendapat jaminan.
Tegasnya, subyeknya diakui namun daerah tempat tinggalnya tidak mendapat
pengakuan. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 hanya membagi wilayah negara atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota
yang dikelola menurut asas otonomi.[10]
Menurut Kushandajani, terdapat kecenderungan kuat memaknakan otonomi desa
sebagai bagian dari otonomi daerah. Pemaknaan tersebut menciptakan cara pandang
yang menyamakan desa sebagaimana pusat memandang daerah yakni sebagai “bagian
dari wilayah negara” yang harus taat pada pemerintah atasnya.[11]
Pandangan
yang demikian memberikan beberapa konsekuensi, seperti kekuasaan membuat
kebijakan maupun implementasi tergantung pada bupati/walikota sehingga
terkadang kurang mengakomodir kebutuhan desa, mengaburkan makna otonomi desa,
serta mereduksi kreatifitas pengembangan desa.
Sebelum
adanya UU No. 6 Tahun 2014, kita mengetahui bahwa hubungan antara pusat dan
daerah, termasuk di dalamnya hubungannya dengan desa terdapat pada UU No. 5
Tahun 1974 yang sifatnya cenderung sentralistik-otokratis-korporatis, UU No. 22
Tahun 1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan UU No. 32 Tahun 2004 yang cenderung
gagal menjembatani perbedaan pandangan yang justru membuahan kemenangan bagi
kekuatan nasionalis kolot dan pemerintah pusat terhadap daerah dan desa.[12]
Hal ini dikarenakan UU No. 32 Tahun 2004 hanya mengakui keberadaan desa, tetapi
tidak membagi kekuasaan dan kewenangan (desentralisasi) kepada desa. Pemerintah desa dianggap sebagai subsistem atau
bagian dari pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian
kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Undang-Undang
Nomorr 6 Tahun 2014 tentang Desa yang hadir kini menjadi sebuah bahan diskusi
yang menarik, karena UU Desa ini memberikan hubungan yang lebih tegas dan jelas
antara desa dengan pemerintah pusat dan desa dengan pemerintah daerah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis ingin menarik dua (2) rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan desa dengan pemerintah pusat menurut
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah?
2. Bagaimana hubungan antara desa dengan pemerintah
daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Desa dengan Pemerintah Pusat
Perjalanan panjang sejarah
ketatanegaraan membawa desa sebagai unit administratif terendah dari struktur
pemerintahan di Indonesia. Permasalahan tata negara terkait desa sejak dahulu,
yakni:
-
Hubungan antar tingkatan : Desa
berada di dalam kabupaten atau berada di luar kabupaten?
-
Ketidakjelasan letak dan kedudukan
desa, merancukan hubungan antar tingkatan, yaitu: Desa-Kabupaten dengan Kepala
Desa dan Bupati, serta hubungan hukum yang kacau (Perda-Perdes).
Secara yuridis
normatif, desa telah diberikan atau lebih tepatnya diakui kewenangan-kewenangan
tradisionalnya menurut Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan:“negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”. Jadi,
menururt UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan maasyarakat hukum adat termasuk
didalamnya dalah desa berserta hak-hak tradisionalnya harus didasarkan pada
prinsip “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[13] Beberapa
pengertian Desa menurut UU terdahulu seperti dalam:
1. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah
Kabupaten
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah
Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa
Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakatat hak
asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sifat dasar
manusia adalah hidup secara berkelompok dan berkomunikasi satu dengan yang
lainnya. Setiap kelompok terbentuk oleh adanya suatu faktor pengikat yang
diakui dan ditaati bersama, melebihi faktor-faktor lain yang bersifat
membeda-bedakan satu nggot kelompok dengan yang lainnya.[14]
Faktor pengikat tersebut ada bermacam-macam, salah satu di antaranya adalah
adat. Studi tentang keanekaragaman adat di Indonesia menghasilkan kesimpulan
antara lain bahwa sistem hukum adat di Indonesia dapat dipandang sebagai
terbagi atas 19 lingkaran atau sub sistem hukum adat.
Suatu
masyarakat yang tingkah laku dan kehidupannya diatur lurus dan diurus menurut
hukum adat tertentu disebut dengan masyarakat hukum adat. Dalam hal adat yang
bersangkutan mengikat masyarakat menurut pertalian daerah atau kekerabatan,
masyarakat itu disebut masyarakat genealogis. Jika menurut daerah tertentu maka
disebut dengan masyarakat teritorial.
Dengan
pendekatan tersebut pengertian desa diambil dari istilah bahasa Jawa yang menunjukkan satu
bentuk satuan masyarakat hukum adat Jawa. Kendatipun istilah desa adalah bahasa
Jawa namun telah diterima dan lazim digunakan. Istilah desa dimaksudkan sebagai
penganti istilah Inlandsche Gementee (IG)
dalam perundang-undangan Hindia Belanda terdahulu yang tidak hanya meliputi
desa-desa di Jawa melainkan juga mencakup satuan-satuan seperti itu di luar
jawa yang nama aslinya disebut kampung, negeri, marga, dan lain-lain.[15]
Desa-desa
asli yang telah ada sejak jaman dahulu
kala memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Hak
dan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri disebut dengan hak
otonomi. Dalam hal ini berarti desa memiliki hak itu disebut dengan desa
otonom.
Unsur-unsur otonomi desa yang penting
antara lain adalah:
1. Adat
tertentu yang mengikat daan ditaati oleh masyarakat di desa yang bersangkutan
2. Tanah,
pusaka dan kekayaan desa
3. Sumber-sumber
pendapatan desa
4. Urusan
rumah tangga desa
5. Pemerintah
desa yang dipilih oleh dan dari kalangan masyarakat desa yang bersangkutan yang
sebagai alat desa yang memegang fungsi “mengurus”
6. Lembaga
atau badan “perwakilan” atau musyawarah yang sepanjang penyelenggaraaan urusan
rumah
tangga desa memegang fungsi mengatur.[16]
B. Hubungan tentang Dana Desa
Desa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[17]
Dari ketentuan regulasi a quo, secara tersirat telah ditandaskan
bahwasanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memberi pengakuan
desa merupakan fragmen terkecil dari wilayah
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Beranjak dari kausa
tersebut, bisa dikatakan kalau desa adalah mitra Pemerintah
Pusat untuk memacu kesejahteraan masyarakat Indonesia di pedesaan.[18]
Adapun hubungan
Pemerintahan Desa dengan Pemerintah Pusat (the
relation village government with central
government) telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Salah satu titah atau amanat dari undang-undang (wet) tersebut ialah ihwal
kepastian dari anggaran pusat untuk desa (vide
Pasal 72 ayat (1) huruf b juncto
Pasal 113 huruf h). In casu a quo, adalah
adanya dana alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diderivasikan
langsung ke desa.[19]
Indonesia sendiri memiliki
jumlah desa kurang lebihnya 74.000. Adapun hak per desa dari hal itu tetaplah
sama, baik yang maju ataupun tertinggal. Dana tersebut sepenuhnya milik
tanggung jawab daerah, sehingga hak penuh berada di tangan daerah setempat.[20]
Sehingga
masing-masing desa diperkirakan akan memperoleh kalkulasi dana sekitar Rp 1,2
miliar sampai dengan Rp1,4 miliar per tahun, yang bila dibagi rata
perbulannya akan mendapat sekitar 100 juta perbulan. Tentu saja dana yang cukup besar tersebut menuntut desa untuk melakukan
perubahan, penguatan secara internal secara organisasi pemerintahan desa yang
lebih efektif, profesional, transparan, dan akuntabel.
Pengaturan
desa seperti tersebut dalam undang-undang, merupakan upaya (middel)
untuk memajukan perekonomian dan pembangunan
sektor-sektor penting nan
urgen di pedesaan. Atas dasar premis tersebut, sesuai amanat Undang-Undang
Desa, mak dengan dukungan dana yang cukup besar, desa dituntut lebih mampu
mengorganisasi diri. Tumpuan pembangunan (development) yang bergulir ke pinggiran, yaitu desa-desa, maka daya dukung desa perlu ditingkatkan.[21]
Dana desa
menjadi salah satu isu krusial dalam UU No. 6 Tahun 2014. Penghitungan
anggarannya berdasarkan jumlah desa dengan mempertimbangkan julah penduduk,
angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Selebihnya, kedua
hal ini diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU Desa
serta PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Salah satu yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana penyaluran dan pembinaannya?
Dana desa
nantinya akan disalurkan melalui kabupaten. Hal ini menjawab perbedaan persepsi
yang sebelumnya diperdebatkan tentang kewenangan terhadap desa dari nomenklatur
kementerian di kabinet kerja. Kemendagri sebelumnya mendasarkan pada UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang melihat urusan pemerintahan mulai
dari pusat hingga desa yang tidak boleh terputus. Sementara, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menggunakan UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa masalah-masalah desa diurus oleh
kementerian yang membidangi desa.
Dengan demikian, jika fungsi
pemerintahan desa tetap dijalankan melalui insentif dana dan program seperti
selama ini, bisa diletakkan pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi.[22]
Sementara urusan pemerintahan desa tetap berada di bawah Kementerian Dalam
Negeri dan ada dirjen yang khusus menangani hal tersebut.
C. Hubungan Fungsional dalam UU No. 23
Tahun 2014
Secara struktural
Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan
pemerintahan ditingkat nasional, sedangkan kepala daerah (provinsi atau
kabupaten/kota) merupaka penyelenggara pemerintahan diwilayah darha
masing-masing, sesuai dengan prinsip otonomi seluas-uasnya. Dapat diketahui
secara struktural kepala daerah kabupaten/kota tidak memiliki garis struktural
dengan pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat karena memiliki otonomi
seluas-luasnya.
Pemerintah pusat
dan daerah memiliki hubungan secara fungsional yang menyangkut atas pembagian
tugas dan kewenangan yang harus dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik “Good Goverment”. Pembagian tugas, wewenang dan kewajiban
pemerintahan daerah pada yang dasarnya dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Hubungan
fungsional antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah Provinsi,
kabupaten/kota dan desa. Dalam hubungan pemerintah pusat antara provinsi dengan
kabupaten dan kota serta hubungan desa dan pusat saat ini telah diatur dalam UU
dengan memperhatikan kekhususan dengan keragaman daerah. Hubungan fungsional
tersebut menyangkut tentang tugas dan kewenangan antara pemerintah pusat dan
desa.
Pola hubungan
pusat dan desa dari segi tugas dan kewenangan telah diatur dalam undang-undang.
Dalam urusan pemerintahan hubungan pusat dan desa ternasuk dalam pola hubungan
urusan pemerintahan yang bersifat konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang
dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota.
Hubungan pusat
dengan Desa dalam hal urusan pemerintahan dapat dilihat dalam Undang-Undang No.
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni:
Pasal
20 ayat (1)
Urusan
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan:
a. sendiri oleh
Daerah provinsi;
b. dengan cara
menugasi Daerah kabupaten/kota
berdasarkan asas
Tugas Pembantuan; atau
c.
dengan cara menugasi Desa.
.Pasal
285
(2) Pendapatan
transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. transfer
Pemerintah Pusat terdiri atas:
1. dana
perimbangan;
2. dana otonomi
khusus;
3. dana
keistimewaan; dan
4. dana Desa.
Pasal
294 ayat (2)
Dana Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 4 dialokasikan oleh
Pemerintah Pusat untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
dan pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan
kewenangan dan kebutuhan Desa sesuai dengan ketentuan undangundang mengenai
Desa.
Pasal
372
(1) Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat
menugaskan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada Desa.
(2) Pendanaan
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Desa oleh
Pemerintah Pusat dibebankan kepada APBN.
(3) Pendanaan
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Desa oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dibebankan kepada APBD provinsi.
(4) Pendanaan
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Desa oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dibebankan kepada APBD kabupaten/kota.
Dari beberapa uraian penjelasan
pasal diatas dapat dilihat beberapa hubungan pusat dan desa yang diatur secara
langsung dalam hal urusan pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kedudukan antara daerah dan desa memiliki kedudukan yang sama secara horizontal,
utamanya adalah mengenai sifat otonom dari desa itu sendiri. Salah satu
implikasinya adalah Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah
berdasar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
walaupun undang-undang tersebut mengakui keberadaan “peraturan yang ditetapkan
oleh kepala desa atau pejabat yang setingkat (cek Pasal 8 ayat (1)). Tetapi
secara vertikal urusan pemerintahan desa tersebut secara fungsional dalam hal
ini melaksanakan tugas pelaksanaan yang diberikan oleh pemerintah pusat,
provinsi dan daerah. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 yakni “Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota”.
Pasal tersebut berimplikasi pada Peraturan Kepala Desa dapat dibatalkan oleh
Bupati/Walikota (Pasal 87 PP No. 43 Tahun 2014).
D. Hubungan
Desa dengan Pemerintah Daerah
Terdapat
perbedaan pandangan ahli mengenai sejak kapan bangunan desa itu ada. Tetapi
bagaimanapun juga menurut penelitian beberapa ahli ternyata desa dari abad ke
abad telah berkembang menjadi kesatuan hukum di mana kepentingan bersama dari
penduduknya menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan.[23]
Hukum tersebut memberi dua hal penting, yaitu hak untuk mengurus kepentingan
daerah sendiri (hak otonomi) serta untuk memilih kepala desanya sendiri.[24]
Rosjidi
Ranggawjidjaja melanjutkan pendapatnya bahwa “Pemerintahan Desa yang ada
sekarang adalah kelanjutan dari Pemerintahan Desa jaman dahulu, hanya saja
Pemerintahan Desa sekarang sudah kehilangan “rohnya” sebagai Desa yang mandiri.
Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”,
sebagai pemerintahan asli bangsa Indonesia, namun Pemerintahan Desa sekarang lebih
tepat disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government
organization)” (Ranggawidjaja: 2013).[25]
Secara
konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Konsep negara kesatuan
ini tidak hanya berdampak pada desentralisasi kewenangan kepada daerah,
melainkan lebih dari itu yakni pengakuan dan perlindungan terhadap otonomi
desa.
NKRI
Otonomi
Desa
Otonomi Daerah
Diagram di atas
menunjukkan bahwa otonomi desa harus menjadi inti dari konsep NKRI, dengan
catatan bahwa otonomi desa bukan merupakan cabang dari otonomi daerah karena
yang memberi inspirasi adanya otonomi daerah yang khas bagi NKRI adalah otonomi
desa.[26]
Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur ketatanegaraan
Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian bermuara pada
regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian desa sebagai keastuan
masyarakat hukum.
Antara hukum
pemerintahan desa dengan hukum otonomi desa senyatanya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Bagir Manan bahwa semestinya pemerinatahan
desa menjadi bagian yang integral dari pemerintahan daerah, pemisahan yang
dipengaruhi oleh pikiran “memperbaiki keaslian desa” adalah suatu pendekatan
yang keliru. Oleh karena iu juga pengaturan mengenai pemerintahan desa
sebelumnya diatur menjadi satu dalam UU Pemerinatahan Daerah yakni UU 22 Tahun
1999 serta UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerinatahan Daerah sebelum hingga
saat ini, pemerinatahan Desa memiliki payung hukum sendiri yakni UU Nomor 6
tahun 2014 tentang Desa yang secara yuridis terpisah dari UU Nomor 32 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu,
kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat
otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter
yang melekat pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan
karena merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan desa.
Sebelum
disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pengaturan tentang desa dari
berbagai rezim dapat dilihat sebagai berikut:
a.
Rezim UU Nomor 5 tahun
1979
Tahun
1979 ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerinatahan Desa sebagai
pengganti Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO) dan Inlandse Gementee Ordonantie voor Buitengewesten (IGOB) yang secara
substansial UU itu sepenuhny mencerminkan stelsel pendekatan IGO dan IGOB yang
memisahkan pmerintahan desa dari pemerintahan daerah. Masalah prinsipil lain
yang terdapat dalam UU ini adalah penyeragaman (uniformitas) nama, susunan,
bentuk, dan kedudukan pemerintahan desa Kebijakan
mengenai desa dalam UU ini diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan
pemerintahan desa dengan corak nasional
b.
Rezim UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah
Salah
satu politik hukum dalam UU ini kaitannya dengan pemerinatahan desa adalah
kembali memasukkan pengaturan tentang pemerintahan desa sebagai satu kesatuan
integral dalam UU Pemerintahan Daerah. Desa dalam rezim UU ini juga
diperkenankan mengggunakan nama-nama lains esuai dengan adat yang berkembang di
desa tersebut seperti nagari, marga, gampong, negorij, dusun, dsb.
c. Undang-undang
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Desa
berada di bawah kecamatan (di mana kecamatan di bawah kabupaten secara
langsung). Pemerintah desa dapat secara langsung berhubungan
dengan pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di
berbagai provinsi, tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak
persoalan mesti diselesaikan di kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat
diselesaikan di tingkat kecamatan. UU No. 22 Tahun 1999
menyebutkan bahwa Camat berperan sebagai Pembina Pemerintahan Desa. Bupati di
beberapa daerah di Indonesia berperan menguatkan hubungan dengan camat, untuk
menguatkan posisi para camatnya. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa
kemampuan pemerintahan desa masih perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan
Camat sebagai Pembina Pemerintahan Desa. Selanjutnya,
menurut UU 32 Tahun 2004: Camat
juga berperan sebagai Pembina Pemerintahan Desa. Pasal 126
menegaskan kewenangan camat selain sebagai koordinator pemerintahan juga
merupakan Pembina Desa.
Mengenai hubungan antara Pemerintah
Desa dengan Pemerintah Daerah berdasarkan UU sebelumnya (UU 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah),[27] maka UU
sebelumnya memberikan kedudukan desa sebagai bagian dari aspek ketatanegaraan
karena desa merupakan satuan pemerintahan otonom. Desa bukan satuan
pemerintahan administrasi belaka yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan atau
dibentuk kembali bila diperlukan. Seperti biasanya, pemerintahan desa yang
terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dibentuk di dalam
pemerintahan daerah kabupaten/kota (Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004).
Dalam
hubungannya dengan hukum pemerintahan daerah, pemerintahan desa memang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara geografis karena wilayah
pemerintahan desa juga merupakan wilayah pemerintahan daerah. Mengutip pendapat
dari Bagir Manan bahwa :
“Semestinya pemerinatahan desa menjadi
bagian integral pemerinatahan daerah. Pemisahan ini dipengaruhi oleh pikiran
mengenai “mempertahankan keaslian desa”. Suatu pendekatan yang keliru. Maksud
pembentuk UUD mempertahankan pemerinatahan desa bukanlah dalam semangat agar
desa asli menjalankan fungsi pemerintahan tradisional sebagai masyarakat hukum
adat. Mempertahankan pemerinatahan desa dimakasudkan untuk menjamin kehadiran
satuan pemerintahan yang dekat dengan rakyat”.[28]
Inna Junaenah
dalam hukum online menyebut bahwa
untuk memosisikan kedudukan desa dan kepala desa perlu diartikan berbeda dengan
persepsi mengenai urusan dan kelembagaan ketatanegaraan. Desa dalam
ketatanegaraan dilihat dan dipahami sebagai penyelenggaraan urusan dalam rangka
pemerintahan arti luas untuk melayani masyarakat.[29]
Urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan
pemerintahan, di mana hal ini sejalan dan dikuatkan dengan pendapat Bagir Manan
bahwa karena konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar bagi semua
bidang hukum, belum tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan.
Begitu pula lembaga-lembaga yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar belum tentu
merupakan lembaga yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009).[30]
Berikut beberapa poin penting yang dapat dirangkum terkait kedudukan desa
berdasarkan kajian normatif Inna Junaenah dalam hukum online:
1.) Di dalam konstitusi terdapat distribusi kekuasaan secara vertikal dan
horizontal. Kerangka ketatanegaraan dibatasi sebatas pembagian kekuasaan antara
pusat dan daerah, di mana UUD 1945 secara eksplisit mengatur satuan
pemerintahan yang mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan
Kota (vide Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua).
2.) Mengenai kedudukan Desa (atau nama lainnya), Rosjidi Ranggawidjaja
menautkannya dari pengakuan dan penghormatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang
diatur UU (Ranggawidjaja: 2013). Hal ini memisahkan urusan yang dikelola oleh
satuan pemerintahan daerah yang menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara,
sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan.
Diiringi dengan dimungkinkan adanya tugas pembantuan yang diberikan oleh
Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat. [31]
Dalam Pasal 18
dan Pasal 19 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi :
a.) Kewenangan
berdasarkan hak asal usul
b.) Kewenangan
lokal berskala desa
c.) Kewenangan
yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemreintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Kabupaten/Kota; dan
d.) Kewenangan
lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Dengan
suatu catatan bahwa penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada
Desa meliputi:
1. Penyelenggaraan
pemerintahan desa
2. Pelaksanaan
pembangunan desa disertai
dengan biaya
3. Pembinaan
kemasyarakatan desa
4. Pemberdayaan
masyarakat desa
Sesuai
dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tugas dan wewenang
yang diberikan kepada desa dari daerah baik pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota harus dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur (jika pemberian
wewenang dari pemerintah provinsi) dan berdasarkan Peraturan Bupati/Walikota
(jika pemberian tugas/wewenang dari pemerintah kabupaten/kota).[32]
Namun pemberian tugas tersebut bukan merupakan penerapan asas tugas pembantuan[33]
sehingga tugas yang diserahkan kepada desa tidak menjadi kewenangan yang
dikelola sendiri oleh pemerintah desa. Dalam hal ini, desa melakukan
pertanggungjawaban kepada Gubernur (jika tugas/wewenang berasal dari pemerintah
Provinsi) serta melakukan pertanggungjawaban kepada Bupati/Walikota melalui
camat (jika tugas dan wewenang berasal dari pemerintah kabupaten/kota) terhadap
tugas yang diserahkan kepadanya.
Cita
utama dilahirkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah ingin menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government dengan harapan
kesatuan masyarakat hukum adat yang selama merupakan bagian dari wilayah Desa
hendak ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat. Desa dan desa adat
pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah
dalam pelaksanaan hak asal-usul terutama menyangkut pelestarian sosial desa
adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat serta
pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.[34]
Desa adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa, pembangunan desa, serta
mendapat fasilitas dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi
seperti ini, desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah
daerah.
Di
bidang anggaran, setiap desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan dana dari
alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari
belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa yang diajukan
melalui Badan Permusyawaratn Desa. Di sinilah terdapat peran pemerintah daerah,
di mana pada penyusunan proposal pengajuan anggaran ini, tidak berjalan
sendiri. Pemerintah kota dan pemerintah kabupaten bertugas melakukan
pendampingan, termasuk penyusunan budgeting[35]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
memberikan ruang bagi desa dan perangkat desa untuk berkreasi dan memiliki
landasan hukum dalam hal meningkatkan kesejahteraan desa, sebagaimana yang kita
ketahui bahwa desa adalah unit terendah dari ketatanegaraan di Indonesia.
Melalui UU ini pula, kini desa mendapatkan insentif Dana Desa yang jumlahnya
cukup besar hingga mencapai angka milyaran. Hal tersebut diharapkan mampu
menjadi modal untuk meningkatkan kesejahteraan desa dan mendukung program
pemerintah pusat. Dalam urusan pemerintahan hubungan pusat dan desa ternasuk
dalam pola hubungan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren, yaitu urusan
pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota.
2. Dalam
hubungannya dengan hukum pemerintahan daerah, pemerintahan desa memang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara geografis karena wilayah
pemerintahan desa juga merupakan wilayah pemerintahan daerah. Hal ini utamanya berhubungan dengan pembinaan serta
kegiatan dan urusan yang diserahkan dari daerah ke desa untuk dikerjakan secara
bersama. Namun uniknya, disatu sisi, desa juga tetap memiliki otonomi nya,
yakni dalam hal mengatur rumah tangga desa serta membuat peraturan desa.
2. Saran
2. Saran
1.
Sosialisasi
mengenai landasan hukum desa yang baru ini harus lebih masif dilakukan,
mengingat jumlah desa di Indonesia mencapai puluhan ribu dan agar meminimalisir
ketidakpahaman dan kerancuan dalam pengelolaan desa.
2.
Rekomendasi kami adalah partisipasi warga dalam kaitannya untuk ikut mengawasi agar dapat
dihindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) yang bisa saja dilakukan oknum pemerintahan desa. Alokasi
anggaran yang diberikan pemerintahan pusat ke desa bukanlah angka yang kecil
dan tidak berarti. Namun sebaliknya, sangat fantastis dan begitu signifikan.
Terlebih pemerintahan desa menjadi tumpuan yang secara langsung bersinggungan
dengan berbagai aspek masyarakat. Dalam hal ini, kesadaran masyarakat harus
lebih diintensifkan, selain untuk tindakan antisipatif, tapi juga sebagai
kontrol pelayanan publik yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ateng
Syafrudin, Republik Desa Pergulatan
Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, PT. Alumni,
Bandung, 2010.
I
Nyoman Baratha, Desa: Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982.
Kushandajani,
Elit Desa-Ditinjau dari Sumberdaya
Kekuasaan, Tesis Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 1991
Ni’matul
Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan
Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hlm.1
Ni’matul
Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara
(Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan), FH UII Press, Yogyakarta, 2014.
Talizidhuhu
Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan
Desa, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1981.
INTERNET
Aan Eko Widianto, Kedudukan Desa (online),
http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/ KEDUDUKAN-DESA.pdf, 2011, diakses
11 Maret 2014.
Inna Junaenah, Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia (online),
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f6ce3253a76/kedudukan-desa-dan-kepala-desa-dalam-ketatanegaraan-indonesia,
2014, diakses 18 Maret 2015.
Kompasiana,
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/01/11/akuntabilitas-pemerintah-daerah-terhadap-uu-desa-no-6-2014-716018.html,
diakses 10 Maret 2015, pukul 19.45 Wib.
Kompasiana,
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/02/27/dana-desa-dari-hulu-sampai-hilir-726683.html,
diakses 10 Maret 2015, pukul 18.30 Wib.
Viva News, UU Desa Disahkan,
Tiap Desa dapat Rp 1 Miliar Per Tahun (Online), http://nasional.news.viva.co.id/news/read/467314-uu-desa-disahkan--tiap-desa-dapat-rp1-4-miliar-per-tahun,
2013, diakses 18 Maret 2015.
KORAN
Herry
Firdaus, Membangun Desa Mandiri, Koran Sindo, 24 Desember 2014.
Ivanovich
Agusta, Berebut Pemerintahan Desa, Kompas, 10 Januari 2015,
hlm. 6
Tajuk Rencana, Kedaulatan Rakyat, 1 Maret 2015, hlm. 12
[1] Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan
dan Gagasan Penyempurnaan), FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm.361
[2] Saparin, Tata Pemerinahan dan Administrasi
Pemerintahan Desa, 1977, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 119, dalam
Ni’matul Huda, Ibid.
[3] Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Desa, Balai
Pustaka, jakarta, 1984, hlm. 282 dalam Ni’matul Huda, Ibid, hlm. 367
[4] Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa,
Cetakan Ketika, Bumi Aksara, Jakarta 1991, hlm. 6-7 dalam Ni’matul Huda, Ibid,
hlm. 367
[5] Penjelasan Umum atas
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
[6] Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid
I, Penerbit Siguntang, Jakarta 1971, hlm. 100 dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2013, hlm.1
[7] Moh. Yamin, Naskah Persiapan...., Ibid, hlm.
230-231, dalam Ni’matul Huda, Ibid, hlm. 2
[8] Hal ini mengingat
pada perkembanganya, terdapat sekitar 73.000 Desa (Penjelasan Umum UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa)
[9] Ni’matul Huda, Ibid,
hlm. 3-4
[10] Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara...,
Op.Cit, hlm. 369
[11] Kushandajani, Elit Desa-Ditinjau dari Sumberdaya
Kekuasaan, Tesis Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta,
1991, hlm. 126 – 127. Konsep ini sejalan dengan pemikiran Moh. Yamin
sebagaimana dikutip diatas.
[12] Sutoro Eko, Masa Lalu, Masa Kini, dan masa Depan
Otonomi Desa, dalam Soetandyo Wignosubrto dkk (tim penulis), Pasang Surut Otonomi Daerah, Skettsa
Perjalanan 100 Tahun , Institute for Local Development dan Yayasan Tifa,
Jakarta, 2005, hlm. 513, dalam Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara..., Op.Cit, hlm. 370
[13] Ateng Syafrudin, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional
dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm.
43
[14] Talizidhuhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, PT.
Bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm. 14
[15] Ibid, hlm. 16
[16] Ibid, hlm. 18
[17] Pasal 1 angka ke (1) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa
[18]http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/02/27/dana-desa-dari-hulu-sampai-hilir-726683.html,
diakses 10 Maret 2015, pukul 18.30 Wib.
[19]http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/01/11/akuntabilitas-pemerintah-daerah-terhadap-uu-desa-no-6-2014-716018.html,
diakses 10 Maret 2015, pukul 19.45 Wib.
[20] Tajuk Rencana, Kedaulatan Rakyat, 1 Maret 2015, hlm. 12
[21] Herry Firdaus, 2014, Membangun Desa Mandiri, Koran Sindo, 24 Desember 2014, hlm. 7
[23] I Nyoman Baratha, Desa:
Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm
15.
[24] Ibid, hlm 15.
[25] Inna Junaenah, loc.cit.
[26] Ibid, hlm. 11
[27] Aan Eko Widianto, Kedudukan Desa (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/
KEDUDUKAN-DESA.pdf, 2011, diakses 11 Maret 2014.
[28] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah MenurutUUD
1945,Jakarta,Sinar Harapan, 1994, hlm.158-159 dalam Ateng Syafrudin,Op.cit,
hlm. 41-42
[29] Inna
Junaenah, Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam
Ketatanegaraan Indonesia (online),
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f6ce3253a76/kedudukan-desa-dan-kepala-desa-dalam-ketatanegaraan-indonesia,
2014, diakses 18 Maret 2015.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Pasal 20 UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
[33] Penjelasan Pasal 372
UU Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
[34] Penjelasan UU Nomor 6
Tahun 2014
[35] Viva
News, UU Desa Disahkan, Tiap Desa dapat
Rp 1 Miliar Per Tahun (Online), http://nasional.news.viva.co.id/news/read/467314-uu-desa-disahkan--tiap-desa-dapat-rp1-4-miliar-per-tahun,
2013, diakses 18 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar