Selasa, 21 Juli 2015

Pembuatan Produk Hukum Tanpa Dasar Wewenang



 
  BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan, lapangan pelayanan, lapangan pelaksanaan maupun dalam lapangan pembuatan suatu produk hukum harus didasarkan pada konstitusi (constitution) dan aparat pemerintah yang berwenang berdasarkan peraturan perundang – undangan atau berdasar pada asas legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan suatu tindakan, baik itu merupakan tindakan pelayanan pemerintahan, tindakan pengaturan dan tindakan pembuatan suatu produk hukum tanpa dasar kewenangan(wewenang)yang telah diberikan oleh undang – undang.
Didalam sistem ketatanegaraan Indonesia pembagian wewenang kekuasaan dalam sistem pemerintahan telah diatur didalam konstitusi, pembagian kewenangan tersebut diberikan kepada masing - masing lembaga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam hal ini, masing – masing lembaga diberikan kewenangan masing – masing baik dalam pengaturan, pembuatan dan pelaksanaan suatu produk hukum.
Namun, didalam sistem ketatangeraan Indonesia banyak terjadi sebuah penyimpangan terutama didalam pembuatan suatu produk hukum itu tidak lagi didasari pada aparat pemerintah yang berwenang sehingga produk hukum yang dihasilkan menjadi sebuah perdebatan dan pertanyaan dalam konteks ketatanegaraan, apakah produk hukum yang dihasilkan tanpa dasar pembuatan yang berwenang memiliki kekuatan hukum (cosntitutional) ataukah tidak memiliki kekuatan hukum (Inconstitutional) dan apakah produk hukum tersebut batal demi hukum (nietig van rechtswege) ataukah batal mutlak (absolute nietig). Permasalahan tersebut telah terjadi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, penulis akan membahas permasalahan tersebut di dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah         
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, dapat ditarik sebuah permasalahan yang akan dibahas didalam penulisan makalah ini.
Adapun rumusan masalah yang dibahas di dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Konsekuensi yuridis terhadap pembuatan suatu produk hukum tanpa dasar wewenang ?
2.      Apasajakahsumber dandasarhukumdalampelimpahanwewenang ?
Penulis memberikan batasan di dalam penulisan makalah ini dengan maksud agar penjelasan dan pembahasan yang diberikan tidak keluar atau melebar dari konteks permasalahan yang akan dibahas.

   BAB II PEMBAHASAN      

A.    Kekuasaan dan Wewenang
1.      Penegrtian Kekuasaan
Adapun definisi kekuasaan menurut parah ahli adalah sebagai berikut :
a.      Max Weber
Kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya didalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
b.      Ralf Dahrendorf
kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu dari pada milik struktur sosial.
c.       Soerjono Soekanto
 kekuasaan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut.

2.      Pengertian Wewenang
Adapun  Definisi Wewenang  menurut beberapa para Ahli adalah sebagai berikut :
1.      Louis A. Allen, Wewenang adalah jumlah kekuasaan (powers) dan hak (rights) yang didelegasikan pada suatu jabatan.
2.      Harold Koontz,Wewenang adalah suatu hak untuk memerintah / bertindak.
3.      G. R. Terry, Wewenang adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang itu.
4.      R. C. Davis, Wewenang adalah hak yang cukup, yang memungkinkan seseorang dapat menyelesaikan suatu tugas/kewajiban tertentu. Jadi, wewenang adalah dasar untuk bertindak, berbuat dan melakukan kegiatan/aktivitas perusahaan. Tanpa wewenang orang-orang dalam perusahaan tidak dapat berbuat apa-apa.




Menurut Bagir manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (Macht).  Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan wewenang adalah hak dan kewajiban (Rechten en plichen). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wewenang adalah kewajiban dan hakyang diberikan oleh pemegang kekuasaan kepada aparat penyelenggaraan negara atau aparat pemerintah.

Dalam setiap negara hukum penyelenggaraan negara atau pemerintahan itu harus didasarkan pada asas legalitas yang merupakan sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus memiliki legitimasi kewenangan yang diberikan oleh Undang – Undang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa substansi dari asal legalitas adalah pemberian wewenang terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Mengenai wewenang tersebut H.D Stout mengatakan bahwa ; “Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organistierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door pibliekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechtelijke rechtsverkeer” (Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan – aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).[1]

Dalam negara hukum, wewenang penyelenggara negara dan pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang – undangan yang berlaku yang didasarkan pada sebuah asas legalitas. Meskipun asas legalitas memiliki kelemahan, namun asas legalitas memiliki peran utama dalam Negara hukum. Asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan hukum warga Negara terhadap pemerintah.Pemerintah dalam hal ini Negara hanya dapat melakukan tindakan apabila memiliki legalitas yaitu berdasarkan peraturan hukum yang ada.
B.     Sumber Hukum Pelimpahan Wewenang
Menurut teori hukum, dalam pelimpahan wewenang atau pemberian wewenang oleh penyelenggara negara dan pemerintahan kepada aparat pemerintahan yang ada dibawahnya dapat dilakukan dengan dua macam pelimpahan wewenang yaitu sebagai berikut :
1.      Mandat (mandaat)
2.      Delegasi (delegasi)
Kedua macam pelimpahan wewenang diatas,  dasar pelimpahan wewenang tersebut berlandaskan atas dasar  Undang – Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)[2] .  Dengan demikian, pemeberian suatu wewenang pemerintahan didasarkan pada peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari perundang – undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat, H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
a.       Attributie : toekenning van een bestuurbevoegheid dor een wotgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang – undang).
b.      Delegatie : overdracht van een bevoegheid  van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c.       Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengisinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya)[3].
Pelimpahan wewenang yang dilakukan oleh organ pemerintah yang telah diberi wewenang oleh undang – undang kepada organ lainnya, yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan sebagai wewenangnya sendiri dalam melakukan hak dan kewajiban yang diberikan.
Berdasarkan gambaran tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang diberikan secara atribusi itu bersifat original yang berasal dari peraturan perundang – undangan yang berlaku. Dalam hal wewenang atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern atau ekstern. 
C.    Perbuatan Aparat yang Berwenang
Kewenangan yang dimiliki oleh aparat yang berwenang dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu, kewenangan atributif dan kewenangan non atributif.
1.      Kewenangan Atributif (Original)
Kewenangan atributif (original) merupakan kewenangan yang diberikan atau diperoleh langsung oleh peratutan perundang – undangan. Berkaitan dengan kewenangan ini, maka kewenangan atributif bersifat permanen artinya saat berakhirnya kewenangan tersebut tidak jelas/absurd. Sebagai contoh kewenangan atributif adalah presiden berwenang mengajukan Rancangan Undang – Undang (RUU) berdasarkan pasal 5 Undang – Undang Dasar 1945.

2.      Kewenangan Non Atributif (Non Original)
Kewenangan non atributif merupakan kewenangan yang diperoleh karena adanya pelimpahan wewenang dari aparat yang berwenang memberikan wewenang. Sifat dari kewenangan non atributif adalah bersifat insidentil artinya kapan saat berlakunya kewenangan tersebut sudah jelas.
Dari uraian pembagian kewenangan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa ada dua jenis pembagian kewenangan. Namun, didalam pembagian kewenangan tersebut dapat terjadi ketidakwenangan aparat karna disebabkan berbagai hal. Adapun ketidakwenangan aparat yang disebabkan oleh tiga (3) hal adalah sebagai berikut :
1.      Aparat tidak berwenang karena materilnya
2.      Aparat tidak berwenang karena bukan wilayah hukumnya.
3.      Aparat tidak berwenang karena telah lewat batas waktunya (Daluwarsa).
Dengan demikian, apabila ada suatu produk hukum yang dibuat diluar dari batas kewenangan pembuatnya maka produk hukum yang dihasilkan tersebut batal. Adapun kebatalan dari suatu produk hukum tanpa dasar wewenang dibagi kedalam 3 macam bentuk kebatalan hukum yaitu :
1.      Batal Mutlak (Absolute nietig)
2.      Batal demi Hukum (Nietig van Rechtswege)
3.      Dapat dibatalkan (Vernietig baar)
Ketiga macam bentuk kebatalan tersebut diatas, dapat diberikan penjelasan dasar pembedaan diantaranya yaitu dapat dilihat dari akibat hukum yang ditimbulkan, dan aparat yang membatalkan.
Pertama, Batal mutlak (absolute nietig), suatu perbuatan yang sudah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga segala sesuatunya kembali seperti semula. Dalam hal batal mutlak (absolute nietig) aparat yang berhak atau berwenang melakukan pembatalan yaitu hanya yudikatif saja. Kedua, Batal demi hukum (nietig van rechtswege), akibat hukum yang ditimbulkan dari kebatalan hukum ini mengalami tiga (3) kemungkinan yaitu :
Ø  Semua perbuatan yang sudah dilakukan dianggap belum pernah ada
Ø  Perbuatan yang sudah dilakukan dianggap sah. Sedangkan perbuatan yang belum dilakukan dianggap tidak sah.
Ø  Perkembangannya sebagian perbuatan dianggap sah sebagian lagi dianggap tidak sah (hanya berlaku jika lembaga eksekutif yang mengeluarkan putusan). Aparat yang berhak menyatakan batal demi hukum adalah lembaga eksekutif dan yudikatif.
Ketiga, dapat dibatalkan (verniteg baar), semua perbuatan yang telah dilakukan dianggap sah  sedangkan perbuatan yang belum dilakukan tidak boleh dilakukan.
Dalam negara hukum (rechtstaat) segala bentuk kewenangan dilakukan berdasarkan ketentuan perundang – undangan yang berlaku dan tidak ada suatu kewenangan yang diberikan tanpa dasar peraturan perundang – undangan yang didasarkan pada asas legalitas.
Hal tersebut diatas, sebagaimana juga diatur dalam pasal 50 KUHP “Barang siapa yang melaksanakan ketentuan undang – undang tidak dapat dihukum”. Ketentuan undang – undang menghalalkan perbuatan yang didasarkan atas ketentuan undang- undang tersebut. Melaksanakan undang – undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan akan tetapi meliputi juga perbuatan – perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang - undang[4].
Namun, ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh aparat yang berwenangtidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dengan kata lain, aparat yang berwenang ketika menjalankan kewenangannya melakukan pelanggaran atau melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh undang - undang akan tetapi tidak dikatakan sebuah pelanggaran kewenangan.
Sebagai contoh, “melaksanakan perintah jabatan dari kekuasaan yang berwenang untuk memerintahkan tidak dapat dihukum (ps. 51 KUHP). Membunuh orang itu dilarang oleh undang – undang dan diancan dengan hukuman. Akan tetapi kalau ada seorang prajurit tdalam suatu operasi militer atas perintah komandannya menembak mati seseorang ia tidak dihukum :ia harus mentaati perintah atasannya[5].
Apa yang dikemukakan tersebut diatas, tidak lain adalah merupakan sebuah gambaran atau pencerminan dari sebuah pemeberian wewenang oleh aparat berwenang yang diberikan oleh undang – undang kepada penerima wewenang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemberian wewenang tersebut memiliki kekuatan hukum secara yuridis.
D.    Kewenangan Desentralisasi dan Dekosentrasi
Berdasarkan urain penjelasan yang telah penulis jabarkan pada pembahasan sebelumnya mengenai pemberian wewenang yang diberikan oleh undang – undang.Hal tersebut terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan tersebut juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekosentrasi. Dengan kata lain, pemisahan kekuasaan(separation of power) dan pembagian kekuasaan(division of power) tersebut telah terjadi penyerahan atau pemberian wewenang secara tidak langsung.
Menurut Hoogewarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan – badan publik yang lebih tinggi kepada badan – badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri mengambil keputusan dibidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang pemerintahan (bestuurdaad)[6].
Desentralisasi merupakan pembentukan atau penguatan unit – unit pemerintahan yang kegiatannya berada di luar dari kendali dan jangkauan pemerintah pusat. Dalamdesentralisasi terjadi pelimpahan kekuasaan dan wewenang dari penyelenggara Negara tingkat atas kepada penyelenggara Negara tingkat bawah untuk membantu dan melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan.
Namun, secara umum pengertian desentralisasi itu sendiri biasanya dibedakan dalam tiga pengertian yaitu sebagai berikut :
1.      Desentralisasi dalam arti dekosentrasi
2.      Desentralisasi dalam arti pendelegasian wewenang
3.      Desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi kewenangan.
Desentralisasi dalam pengertian dekosentrasi merupakan pelimpahan beban tugas atau beban kerja dari pemerintah pusat kepada wakil pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan. Sebaliknya desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan (transfer of authority) pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi daerah yang berada diluar jangkauan kendali pemerintah pusat, sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi merupakan penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom dan tanpa control oleh pemrintah pusat yang telah menyerahkan hal itu kepada pemerintah daerah[7].
E.     Penyalahgunaan Wewenang Perkara Tata Usaha Negara (TUN)
Penyalahgunaan wewenang yang diberikan merupakan objek perkara Tata Usaha Negara (TUN). Meskipun objek perkara TUN terbatas pada penetapan Administrasi Negara di bidang publik, konkret dan individual, hal itu tidak luput dari asas dan kaidah kosntitusi Negara Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dari ulasan singkat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkara Tata Usaha Negara adalah mengenai penyalahgunaan wewenang badan – badan atau aparat penyelenggara Negara atau pemerintahan. Akar perkara Tata Usaha Negara (TUN) adalah penggunaan wewenang atau tidak menggunakan wewenang secara tepat menurut hukum yang dapat mengcakup perhutanan wewenang tidak berwenang, melampaui wewenang, sewenang – wenang, berpihak dan tidak adil dalam menjalankan wewenang, tidak hati – hati menggunakan wewenang, menggunakan wewenang tanpa alasan yang cukup jelas atau tidak rasional, dll. Sumber utama dalam wewenang adalah kaidah konstitusi atau Undang – Undang Dasar 1945. Salah satu ketentuan  yang diatur dalam Undang – Undang Dasar 1945 adalah kedudukan suatu badan dalam susunan organisasi Negara dan pembagian wewenang[8].
 
 
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pelimpahan wewenang yang diberikan oleh undang – undang kepada badan – badan atau organ – organ penyelenggara Negara atau pemerintahan di dalam pemberian, penyerahan dan pelimpahan wewenangnya kepada badan – badan yang lebih rendah memiliki kekuatan hukum secara yuridis jika di tinjau berdasarkan undang – undang No. 9 tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga produk hukum yang dihasilkan dalam pelimpahan tersebut adalah sah karena berdasarkan ketentuan undang – undang. Namun, apabila ada suatu produk hukum yang dihasilkan oleh badan – badan penyelenggara Negara atau pemerintahan tidak memiliki wewenang yang diberikan oleh undang – undang maka produk hukum yang bisa dihasilkan bisa menimbulkan kebatalan hukum yaitu, batal mutlak (absolute nietig), batal demi hukum (nietig van rechtswege), dan dapat dibatalkan (vernietigbaar).
                                                                                                                                           

DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddqie.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Bagir Manan Membedah UUD 1945, UB Press, Malang, 2012
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, cetakan keempat, Agustus, 2008
HR, Ridwan.Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Deddy Ismatullah, Asep A. Sahid Gatara. Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif, CV. PustakaSetia, Bandung, 2007


[1] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers 2008, hlm. 101.
[2] Prof Muchsan, Materi Kuliah Politik Hukum, 2014
[3]Ibid, hlm 104 – 105 
[4]SudiknoMertokusumo, MengenalHukumSuatuPengantar,Liberty Yogyakarta, 2008, hlm 26.
[5]Ibid. hlm 26-27
[6]JimlyAsshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,RajawaliPers, 2009, hlm 294
[7]Ibid, hlm 295
[8]BagirManan, Membedah UUD 1945, UB Press, 2012, hlm 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar