UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN PEMERKOSAAN DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan
terhadap kesusilaan sekarang ini telah mendapat perhatian khusus walaupun
jumlah kasusnya masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kasus-kasus
kejahatan yang lain. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran khususnya bagi para
orang tua. Korban kejahatan sosial selalu menimbulkan kesulitan-kesulitan
terutama pada aparat penegak hukum baik itu pada taha penyidikan, penuntutan
maupun pada tahap persidangan khususnya kesulitan pembuktian.
Kesulitan pembuktian
tersebut timbul karena korban kejahatan tersebut tidak segera melaporkan
kejadian itu kepada penyidik. Ini karena persoalan korban dicekam rasa malu
atau mendapat ancaman dari pelaku sehingga takut untuk melaporkan kejadian yang
dialami oleh korban bahkan ada yang melaporkan setelah berbulan-bulan peristiwa
itu terjadi.
Tindak pidana perkosaan merupakan topik yang hangat dan ramai
diperbincangkan terkait penyelesaian perkaranya, baik di tingkat peradilan
maupun dalam proses pemulihan kembali pihak yang menjadi korban perkosaan.
Maksud daripada pemulihan kembali di sini adalah pemulihan korban baik dari
segi fisik maupun mental serta penanggulangan permasalahan berlanjut apabila
korban tersebut hamil akibat perkosaan yang dialaminya.
Dalam tindak pidana perkosaan tidak dapat dipungkiri
bahwa korban mengalami penderitaan mental yang mendalam (karena adanya ancaman
dan kekerasan), terlebih bila perkosaan tersebut berakibat pada hamilnya
korban. Eksistensi terhadap perlindungan korban perkosaan sudah menjadi suatu
keharusan yang utama dalam memperhatikan kelangsungan kehidupan korban
nantinya. Sebagaimana yang dikatakan Arif Gosita bahwa korban dalam hal ini
tidak saja mereka yang mengalami kerugian materil tetapi juga termasuk kerugian
immateril. Praktik
penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum, misalnya penganiayaan terhadap tersangka yang
kadang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian untuk mengejar pengakuan,
intimidasi, rekayasa perkara, ppemerasan, pungutan liar dan sebagainya.
Kemudian dari pihak korban juga merasa diabaikan hak-haknya, antara lain
dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan perkara, tidak
menerima kompensasi dan tidak terpenuhinya hak-hak yang lain[1].
Fakta mengenai perlindungan korban di
indonesia selama ini menunjukkan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap
hak-hak korban masih sangat relatif kecil dibandingkan dengan perhatian yang
dicurahkan terhadap perlindungan hak asasi para pelaku kejahatan[2].
Perhatian terhadap perlindungan korban terutama bagi korban kesusilaan selama
ini masih dirasakan kurang dilindungi dalam hukum acara (peradilan) Indonesia. Dalam
proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu pada hukum pidana dan
hukum acara pidana, terlihat bahwa korban (vicktim)
tindak pidana tidak dapat langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses
hukum, sehingga penyelesaian hak-hak korban juga melalui proses hukum.
Upaya pemenuhan hak-hak dan perlindungan
korban sedikit banyaknya kini mulai di akomodir dengan adanya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Senada dengan hal
tersebut, rumusan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan sejumlah peraturan
perundang-perundangan lainnya dalam proses penanganan kejahatan mulai dari
penyelidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukum, hak-hak korban
hampir tidak mendapat perhatian secara proporsional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar permasalahan diatas,
dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam pembahasan
makalah ini. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut :
- Bagaimanakah implementasi perlindungan korban kejahatan kesusilaan ?
- Bagaimanakah upaya perlindungan korban kejahatan pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Viktimlogi, dari kata victim (korban) dan logi
(ilmu pengetahuan), bahasa latin victima
(korban) dan logos (ilmu
pengetahuan). Secara sederhana viktimologi/viktimology artinya ilmu pengetahuan
tentang korban (kejahatan)[3]. Viktim adalah setiap orang yang
menderita karena suatu tindakan yang kasat yang terecana atau karena secara
kebetulan saja[4].
Menurut kamus Crime
Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) sebagaimana
dikutip Bambang waluyo dalam bukunya bahwa victim adalah “orang yang telah
mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh
pelaku tindak pidana dan lainnya”[5].
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan korban ialah orang
yang mendapat penderitaan fisik dari suatu pelanggaran atau tindak pidana.
Sehubungan dengan pendapat diatas penulis mengutip
pendapat Arif Gosita sebagaimana yang dikutip Bambang Waluyo dalam Bukunya
menurut (Arif Gosita, 1989:75), menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan diri sendiriatau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”[6].
Pada tahap perkembangannya korban kejahatan bukan saja
merupakan orang perorangan tetapi meluas dan kompleks. Berbicara mengenai
korban kejahatan pada awalnya tentu
korban perseorangan atau individu. Namun, persepsi tentang korban tidak hanya
orang perseorangan tetapi juga korporasi, institusi, pemerintah bahkan bangsa
dan Negara dapat menjadi sebagai korban. Hal tersebut juga dikemukakan oleh
(Arif Gosita, 1989: 75-76) sebagaimana dikutip oleh Bambang Waluyo dalam
bukunya bahwa korban dapat berarti ”individu atau kelompok baik swasta maupun
pemerintah”[7].
Berbicara mengenai ruang lingkup victim, hal ini lebih luas dijabarkan oleh (Abdussalam, 2010: 6-7)
mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan
Negara sebagai berikut:[8]
1)
Korban
Perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik
jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil
2)
Korban
institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari
kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
3)
Korban
lingkungan hidup adalah setiap alam yang didalamnya berisikan kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang
tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam
tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran yang
ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik
individu maupun masyarkat yang tidak bertanggung jawab.
4)
Korban
masyarkat, bangsa dan Negara adalah yang diperlakukan diskriminatif tidak adil,
tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak
ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih setiap tahun.
Perlu ditekankan bahwa untuk korban perseorangan tidak
hanya seperti yang telah disebut diatas, tetapi kadang korban juga sebagai
pelaku. Misalnya, pengguna narkotika, anak nakal dan sebagainya. Hal ini lebih
lanjut dinyatakan oleh seorang ahli yaitu Romli Atmasasmita bahwa “untuk
perbuatan pelanggaran hukum tertentu, mungkin terjadi apa yang sering dikenal
alam kepustakaan kriminologi, sebagai victimless
crime (schur, 1965) atau kejahatan
“tanpa korban”[9].
Dengan perkataan bahwa korban dan pelaku adalah satu (tunggal) atau dapat
dikatakan bahwa korban adalah pelaku dan pelaku adalah korban.
1. Implementasi Perlindungan
Korban Kejahatan Kesusilaan Dalam Penegakan
Hukum Pidana
Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial tentunya
membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara
manusia yang satu dengan yang lainnya[10].
Dengan demikian, kondisi tersebut dapat diwujudkan melalui kehidupan yang
saling menghormati dan menghargai antara satu sama lain, karena diantara mereka
terkandung nilai hak dan kewajiban.
Demikian pentingya hak asasi manusia bagi setiap
individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan
dilindungi, diantaranya melalui berbagai produk perundang-perundangan[11]. Beberapa peraturan perundang-undangan yang
memuat perihal perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, baik dalam
perundang-perundangan nasional maupun international, diantaranya. Dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Declaration of Human Rights, Convention on The Elimination of Violence
Against Women (1993).
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan,
adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat
maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa
korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses
pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap
pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari
perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang[12]. Hal
ini menggambarkan bahwa pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan
karena merupakan bagian dari penegakan hak asasi manusia. Pentingya
perlindungan terhadap korban agar korban dapat memperoleh pemulihan, hal
tersebut dilakukan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami
gangguan. Hal ini dengan tepat dinyatakan oleh muladi sebagaimana dikutip oleh
Dikdik M Arief dalam bukunya saat menyatakan bahwa korban kejahatan perlu
dilindungi yaitu :
- Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (sistem of institutionalized trust).
- Adanya argumentasi kontrak sosial dan soidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.
- Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik.
Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak
korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan,
maka dasar perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori,
diantaranya sebagai berikut[13] :
a)
Teori
Utilitas, yaitu teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi
jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat
diterapkan sepanjang memberikan
kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterakpkannya konsep
tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan tetapi juga bagi sistem penegekan
hukum pidana secara keseluruhan.
b)
Teori
tanggung jawab, yaitu pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok)
bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga
apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain
menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.
c)
Teori
ganti kerugian, sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap
orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti
kerugian pada korban atau ahli warisnya.
B.
Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Pemerkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia
Tindak pidana perkosaan diatur dalam
pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya
bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun”.
Bagian inti delik perkosaan sebagaimana
yang di uraikan
di atas harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, hal ini cocok dengan bahasa
Indonesia “perkosaan” yang menurut kamus umum bahasa Indonesia 1976 susunan
Poewadarminto, yang mengatakan bahwa perkosaan berarti:[14]
1.
Menundukkan dengan
kekerasan; menggagahi, memaksa dengan kekerasan, misalnya memperkosa istri
orang, memperkosa gadis yang belum berumur;
2.
Melanggar, menyerang
dan sebagainya dengan kekerasan.
Dalam suatu peradilan pidana,
pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim, terdakwa, dan penasihat
hukum serta saksi-saksi. Pihak korban diwakili oleh penuntut umum dan untuk
menguatkan pembuktian lazimnya yang bersangkutan dijadikan saksi (korban).
Seringkali penuntut umum tidak merasa mewakili kepentingan korban dan bertindak
sesuai kemauannya, sehingga kewajiban perlindungan serta hak-hak korban
diabaikan.[15]
Bahkan pengabaian korban (Victim) terjadi pada tahap-tahap
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan proses-proses
selanjutnya. Diabaikannya eksistensi korban dalam penyelesaian kejahatan
menurut Arif Gosita, terjadi karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:[16]
- Masalah
kejahatan tidak dilihat dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara
dimensional;
- Pengatasan
penanggulangan permasalahan kejahatan yang tidak didasarkan pada konsep,
teori etimologi kriminal yang rasional, bertanggungjawab, dan bermartabat;
- Pemahaman
dan penanggulangan permasalahan kejahatan tidak didasarkan pada pengertian
citra mengenai manusia yang tepat (tidak melihat dan mengenai manusia
pelaku dan manusia korban sebagai manusia sesama kita).
Pentingnya perlindungan korban kejahatan
memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,
sebagai hasil dari The Seventh United
Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang
berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Dalam salah satu rekomendasinya
disebutkan:[17]
Offenders or third
parties responsible for their behavior should, where appropriate, make fair
restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should
include the return of property or payment for the harm or loss suffered,
reimbursemenr of expenses incurred as a result of the victimization, the
provision of services and the restoration of rights.
(Pelanggar atau pihak ketiga yang bertanggung
jawab atas perilaku mereka harus, membuat restitusi yang adil bagi korban,
keluarga atau tanggungan mereka. Restitusi tersebut harus mencakup pengembalian
harta atau pembayaran untuk kerusakan atau kerugian yang diderita serta
penggantian biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari korban, penyediaan
layanan dan pemulihan hak).
Salah satu wujud perlindungan oleh
negara adalah penyelenggaraan peradilan. Selain kelengkapan perundang-undangan,
LPSK, penegak hukum, instansi pemerintah terkait, dan pihak-pihak lain yang
relevan, maka fungsi peradilan memegang peranan penting. Fungsi pengadilan
selain sebagai pemutus perkara, juga menerima laporan pelaksanaan kompensasi,
atau restitusi, mengumumkannya serta memerintahkan instansi atau pihak-pihak
untuk melaksanakan putusan dan sebagainya. Dengan menerapkan
sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak langsung hal itu merupakan suatu
bentuk perhatian (perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan. Perlindungan hukum kepada wanita yang menjadi
korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada dihukumnya pelaku, namun juga
kepada akibat-akibat yang menimpanya, seperti kehamilan akibat perkosaan.[18]
Korban tindak kekerasan seksual memiliki
hak-hak yang wajib ditegakkan, rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan dan
berbagai macam dampak buruk yang menimpa dirinya paska tindakan itu mendapatkan perhatian yang
serius dari hukum islam. Korban tidak boleh diabaikan sendirian memperjuangkan
nasib yang menimpanya, namun wajib dijembatani oleh penegak hukum dalam
memperjuangkan nasibnya[19]. Perlindungan hukum
terhadap korban dalam sistem peradilan pidana merupakan hak yang diberikan oleh
Undang-Undang kepada korban dalam upaya memberikan rasa aman serta kepastian
hukum yang dapat diterima oleh korban. Hak atas perlindungan tersebut dapat
kita jumpai dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, yaitu:
a. memperoleh perlindungan
atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya
b. ikut serta dalam proses
memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan
tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan
yang menjerat;
f.
mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi
mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal
terpidana dibebaskan;
i.
mendapat
identitas baru;
j.
mendapatkan
tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian
biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.
mendapat
nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan
biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Hak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006 sebagaimana
yang dituangkan diatas diberikan kepada korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu melalui keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK
merupakan lembaga yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk melindungi
korban dalam sistem peradilan pidana. Korban dalam hal ini dapat memperoleh
perlindungan dengan cara melakukan permohonan tertulis sebagaimana yang diatur
dalam pasal 29 UU No. 13 Tahun 2006.
Selanjutnya,
dalam Pasal 6 UU No.13 Tahun 2006 mengatakan korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat diberikan hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan
rehabilitasi psiko-sosial. Memang secara eksplisit perkosaan tidak dikategorikan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat, tetapi dirumuskan sebagai tindak
pidana kesusilaan yang diatur dalam Buku II Bab XIV KUHP. Namun, dalam penjelasan UU No. 13 Tahun 2006
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah
bantuan yang diberikan kepada psikolog kepada korban yang menderita trauma atau
masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.
Korban perkosaan tidak dapat dipungkiri pastilah menderita trauma psikis yang
berat yang kemudian memang negara perlu untuk memfasilitasi korban perkosaan
dalam upaya memulihkan kondisi kejiwaan dan traumanya.
Kemudian
terkait perlindungan korban dalam hal bantuan medis, sebagaimana pengertian
perkosaan yang diberikan Arif Gosita sebelumnya, menunjukkan bahwa posisi
perempuan ditempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual. Korban perkosaan merupakan korban praktik
kekerasan yang dilakukan pelaku. Pihak pemerkosa telah menggunakan ancaman dan kekerasan
(paksaan) untuk menundukkan korban. Korban dibuat takut atau tidak berani
melawan, atau dibuat tidak berdaya sehingga mau mengikuti kehendak pelaku.[20]
Tentunya tidak menutup kemungkinan korban menderita luka fisik akibat kekerasan
yang dilakukan pelaku yang kemudian perlunya perlindungan korban untuk dilayani
secara medis.
Baik
penderitaan fisik maupun psikis akibat perkosaan yang dialami korban, dapat
kita lihat dari modus operandi yang dilakukan pelaku dalam menjalankan aksinya.
Ada suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga mengenai modus operandi perkosaan sebagaimana table berikut ini:[21]
Tabel
1: Modus Operandi Kejahatan Perkosaan
Modus Operandi
|
Presentase
|
Diancam dan dipaksa
Dirayu
Dibunuh
Diberi obat bius
|
66,3
22,5
6,1
5,1
|
Sumber:
Lembaga Penelitian Airlangga (Dalam Bagong Suyanto & Emi Susanti Hendrarso
1996: 9)
Tabel mengenai modus operandi kejahatan
perkosaan di atas diambil sebagai bahan pertimbangan pemberian perlindungan
terhadap korban. Dari tabel di atas, pelaku perkosaan dalam menjalankan aksinya
tidak terlepas dari adanya upaya pemaksaan, pengancaman bahkan tidak dipungkiri
pun melakukan kekerasan terhadap korban. Yang mana kemudian perlindungan
terhadap korban tidak hanya sebatas pada persoalan psikis tetapi juga harus ada
tindakan-tindakan medis sebagai upaya pemulihan keadaan korban.
Jadi dalam hal ini, korban berhak
mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 UU No.13
Tahun 2006 dan LPSK merupakan lembaga yang bertanggungjawab sebagaimana diatur
dalam UU ini untuk melindungi korban. Bukan hanya melindungi korban sebagai
upaya memperlancar jalannya proses pengadilan, tetapi lebih kepada melindungi
korban dalam upaya memulihkan keadaannya agar si korban dapat melanjutkan
kehidupannya di masyarakat.
Dalam penyelesaian kasus perkosaan di
pengadilan, perlindungan terhadap korban pun tetap diupayakan sebagai cara
untuk mengurangi beban yang diderita korban. Untuk tidak menambahkan rasa malu
serta beban psikis lainnya dalam pengadilan, tindak pidana perkosaan
sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 153 ayat (3), untuk perkara kesusilaan hakim dapat menyatakan bahwa
sidang tidak terbuka untuk umum (sidang tertutup). Tentunya hal tersebut dapat
meringankan beban bagi korban serta secara tidak langsung dapat membantu
penyelesaian suatu perkara pemerkosaan melalui bantuan kesaksian korban.[22]
Korban adakalanya bertindak atau
dijadikan sebagai saksi di pengadilan. Saksi demikian biasanya merupakan saksi
yang memberatkan (a charge), yang
menguatkan tuntutan dan putusan pengadilan. Di dalam KUHAP, korban yang
dijadikan sebagai saksi pun diberikan perlindungan dalam pasal 162 KUHAP.
Dikatakan sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan korban, bahkan
dimungkinkkan untuk tidak memberikan kesaksian di persidangan, kesaksiannya
dapat dibacakan dari BAP yang ada. KUHAP juga memberi jalan bagi korban
(menjadi saksi) untuk mengjajukan tuntutan ganti kerugian (pasal 98 ayat (1)
KUHAP).[23]
Perlindungan korban dalam sistem
peradilan pidana dilakukan mulai dari tahap penyelidikan dimulai dan berakhir
sebagaimana yang ditentukan oleh UU No.13 Tahun 2006. Perlindungan tersebut
dilakukan melalui LPSK sebagai lembaga yang diberikan mandat oleh UU ini. Dalam
pasal 12 UU No.13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan
tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Perlindungan
tersebut membeikan hak kepada korban melalui LPSK sebagaimana yang dituangkan
dalam pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006 yaitu sebagai berikut:
1)
Korban
melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi
dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. hak atas restitusi atau
ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
2) Keputusan mengenai
kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada saat ini secara formal hak,
perlindungan dan mekanisme sudah diatur. Namun yang lebih penting adalah
aplikasi dan implementasinya. Bambang waluyo dalam bukumya Viktimologi
(Perlindungan Korban dan Saksi) mengatakan, untuk mewujudkan secara
proporsional, professional, dan akuntabel, diperlukan keseriusan para pihak
sebagai berikut:[24]
1)
Korban
· Tidak dapat disangkal
bahwa korban harus mengetahui hak-haknya dan tata cara memperoleh pemenuhan hak
tersebut. Untuk itu pemahaman terhadap ketentuan yang berlaku mutlak
diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah sosialisasi oleh
pihak-pihak terkait proses perlindungan korban sendiri.
· Setelah mengetahui
hak-hak tersebut, yang lebih penting lagi adalah keberanian untuk mengajukan
permohonan. Tanpa ada kemauan dan keberanian, pasti akan sia-sia meskipun
hal-hal tersebut sudah diatur dan ada lembaga yang bertanggungjawab.
· Selain korban, perlu
diberdayakan kepedulian dan kesadaran hukum dari pihak keluarga atau ahli
warisnya. Mengenai yang dimaksud keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke atas, ke bawah dan garis menyamping sampai derajat
ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan atau orang yang menjadi
tanggungan saksi dan/atau korban” (Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2008).
2)
LPSK
Menurut pasal 1 butir 6
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau
korban sebagaimana dimaksud UU No. 13 Tahun 2006.
3)
Penegak
Hukum
Penyidik Polri, Jaksa
Penuntut Umum, Jaksa Agung, Kejaksaan, Hakim,dan pengadilan sangat berperan
dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban dan/atau saksi. Tugas dan
tanggungjawab penegak hukum, selain berdasarkan masing-masingketentuan lembaga
penegak hukum serta KUHAP, juga berpedoman pada UU No.13 Tahun 2006 dan PP No.
44 Tahun 2008. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggungjawab dapat diraih
melalui kerjasama terutama denga LPSK. Komitmen yang kuat untuk melaksanakan
semua ketentun yang ada sangat diharapkan mmasyarakat. Memang hal itu harus
dilakukan sesuai cita profesi , sumpah jabatan dan perintah Undang-Undang.
4)
Masyarakat
Masyarakat dalam arti
luas terrmasuk LSM, mempunyai peran yang tidak kecil, antara lain ikut
mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan korban dan/atau saksi. Melalui
sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum korban. Demikian
pula masyarakat berperan mengawasi dan mengawal terselenggaranya perlindungan
secara objektif, transparan dan akuntabel.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa
upaya perlindungan korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari peran
serta para
pihak-pihak yang terkait
dalam sistem peradilan pidana tersebut, walaupun aturan tentang perlindungan korban
telah diatur
sedemikian rupa dalam
peraturan perundang-undangan. Hal tersebut tidak
akan berjalan secara
efektif dan maksimal ketika dalam prakteknya
unsur-unsur yang dapat mendukung tercapainya perlindungan korban tersebut tidak saling
mendukung. Maka yang
diperlukan pula dalam perlindungan korban adalah peran serta para penegak hukum
baik itu dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sampai pada proses peradilan
pidana.
Untuk
mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan (pemerkosaan) memiliki
hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan
adalah:
a. Korban
mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut
haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan
taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi
tersebut;
b. Korban
menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena
tidak memerlukan);
b. Korban
mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya, apabila pihak korban
meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku;
c. Korban
mendapat pembinaan dan rehabilitasi;
d. Korban
mendapatkan hak miliknya kembali;
e. Korban
mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana
yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut;
f. Korban
mendapatkan bantuan hukum;
g. Korban
berhak mempergunakan upaya hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korban untuk
mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan pemerkosaan memiliki
hak-hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana
pemerkosaan adalah: korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya, pembinaan,
rehabilitasi, perlindungan, korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli
warisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku serta korban mendapatkan bantuan hukum dan korban berhak
mempergunakan upaya hukum. Jadi penulis menyimpulkan bahwa untuk prospek
perlindungan korban kejahatan pemerkosaan dalam proses peradilan agar dijadikan
suatu pembaharuan dalam hukum acara pidana yang akan datang yaitu dengan
memasukkan ketentuan-ketentuan yang dapat mengakomodir hak-hak korban.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Waluyo, S.H,
M.H.,Viktimologi, Perlindungan Korban dan
Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Syahrial Martanto
Wiryawan, Melly Setyowati, Pemberian
Bantuan Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. ICW, Jakarta,
2007
Dr.
R. Wirjono, Makalah Penunjang dalam seminar
Viktimologis: Penyelesaian permasalahan Korban, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 28-29 Oktober 1988.
Drs.
Dikdik M. Arief, S.H.,M.H, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan, P.T. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Jur Andi Hamzah, delik-delik tertentu (Speciale Delicten) di
dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Dikdik M. Arief Mansur
dan Elisatris Gultom, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita), (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2007
Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap
Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: PT
Refika Aditama, 2001
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kita
Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
[1] Bambang Waluyo, S.H, M.H.,Viktimologi,
Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.Hlm. 1-2
[2]Syahrial Martanto Wiryawan, Melly Setyowati, Pemberian Bantuan Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. ICW,
Jakarta, 2007. Hlm. Vii
[3] Bambang
Waluyo, S.H, M.H, Viktimologi,Perlindungan
Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. 9
[4] Dr. R.
Wirjono, Makalah Penunjang dalam seminar
Viktimologis: Penyelesaian permasalahan Korban, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 28-29 Oktober 1988. Hlm. 2
[7] Bambang
Waluyo, S.H, M.H, Viktimologi,Perlindungan
Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hlm. 11
[10] Drs. Dikdik M.
Arief, S.H.,M.H, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan, P.T. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 157
[14] Jur andi hamzah, delik-delik tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), hlm. 19-20.
[15]Bambang Waluyo, Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hlm. 8.
[16] Ibid.
[17]Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
(Antara Norma dan Realita), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm.
23-24.
[18]Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: PT Refika Aditama,
2001), hlm. 96.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm.
50.
[21] Ibid.
[22]Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 160 ayat (1) huruf b.
[23]Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm. 24-27.
[24] Ibid, hlm.
23-24.