Minggu, 09 Agustus 2015

UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN PEMERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA


UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN PEMERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah

Kejahatan terhadap kesusilaan sekarang ini telah mendapat perhatian khusus walaupun jumlah kasusnya masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kasus-kasus kejahatan yang lain. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran khususnya bagi para orang tua. Korban kejahatan sosial selalu menimbulkan kesulitan-kesulitan terutama pada aparat penegak hukum baik itu pada taha penyidikan, penuntutan maupun pada tahap persidangan khususnya kesulitan pembuktian.
Kesulitan pembuktian tersebut timbul karena korban kejahatan tersebut tidak segera melaporkan kejadian itu kepada penyidik. Ini karena persoalan korban dicekam rasa malu atau mendapat ancaman dari pelaku sehingga takut untuk melaporkan kejadian yang dialami oleh korban bahkan ada yang melaporkan setelah berbulan-bulan peristiwa itu terjadi.
Tindak pidana perkosaan merupakan topik yang hangat dan ramai diperbincangkan terkait penyelesaian perkaranya, baik di tingkat peradilan maupun dalam proses pemulihan kembali pihak yang menjadi korban perkosaan. Maksud daripada pemulihan kembali di sini adalah pemulihan korban baik dari segi fisik maupun mental serta penanggulangan permasalahan berlanjut apabila korban tersebut hamil akibat perkosaan yang dialaminya.
Dalam tindak pidana perkosaan tidak dapat dipungkiri bahwa korban mengalami penderitaan mental yang mendalam (karena adanya ancaman dan kekerasan), terlebih bila perkosaan tersebut berakibat pada hamilnya korban. Eksistensi terhadap perlindungan korban perkosaan sudah menjadi suatu keharusan yang utama dalam memperhatikan kelangsungan kehidupan korban nantinya. Sebagaimana yang dikatakan Arif Gosita bahwa korban dalam hal ini tidak saja mereka yang mengalami kerugian materil tetapi juga termasuk kerugian immateril. Praktik penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, misalnya penganiayaan terhadap tersangka yang kadang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian untuk mengejar pengakuan, intimidasi, rekayasa perkara, ppemerasan, pungutan liar dan sebagainya. Kemudian dari pihak korban juga merasa diabaikan hak-haknya, antara lain dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak terpenuhinya hak-hak yang lain[1].
Fakta mengenai perlindungan korban di indonesia selama ini menunjukkan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap hak-hak korban masih sangat relatif kecil dibandingkan dengan perhatian yang dicurahkan terhadap perlindungan hak asasi para pelaku kejahatan[2]. Perhatian terhadap perlindungan korban terutama bagi korban kesusilaan selama ini masih dirasakan kurang dilindungi dalam hukum acara (peradilan) Indonesia. Dalam proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu pada hukum pidana dan hukum acara pidana, terlihat bahwa korban (vicktim) tindak pidana tidak dapat langsung mengambil haknya, tanpa melalui proses hukum, sehingga penyelesaian hak-hak korban juga melalui proses hukum.
Upaya pemenuhan hak-hak dan perlindungan korban sedikit banyaknya kini mulai di akomodir dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Senada dengan hal tersebut, rumusan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan sejumlah peraturan perundang-perundangan lainnya dalam proses penanganan kejahatan mulai dari penyelidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukum, hak-hak korban hampir tidak mendapat perhatian secara proporsional.
B.  Rumusan Masalah                                                                                              
Berdasarkan dari uraian latar permasalahan diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam pembahasan makalah ini. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut :  
  1. Bagaimanakah implementasi perlindungan korban kejahatan kesusilaan ?
  2. Bagaimanakah upaya perlindungan korban kejahatan pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana Indonesia ?


BAB II
PEMBAHASAN

Viktimlogi, dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa latin victima (korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Secara sederhana viktimologi/viktimology artinya ilmu pengetahuan tentang korban (kejahatan)[3]. Viktim adalah setiap orang yang menderita karena suatu tindakan yang kasat yang terecana atau karena secara kebetulan saja[4].
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) sebagaimana dikutip Bambang waluyo dalam bukunya bahwa victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”[5]. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan korban ialah orang yang mendapat penderitaan fisik dari suatu pelanggaran atau tindak pidana.
Sehubungan dengan pendapat diatas penulis mengutip pendapat Arif Gosita sebagaimana yang dikutip Bambang Waluyo dalam Bukunya menurut (Arif Gosita, 1989:75), menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiriatau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”[6].
Pada tahap perkembangannya korban kejahatan bukan saja merupakan orang perorangan tetapi meluas dan kompleks. Berbicara mengenai korban  kejahatan pada awalnya tentu korban perseorangan atau individu. Namun, persepsi tentang korban tidak hanya orang perseorangan tetapi juga korporasi, institusi, pemerintah bahkan bangsa dan Negara dapat menjadi sebagai korban. Hal tersebut juga dikemukakan oleh (Arif Gosita, 1989: 75-76) sebagaimana dikutip oleh Bambang Waluyo dalam bukunya bahwa korban dapat berarti ”individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”[7].
Berbicara mengenai ruang lingkup victim, hal ini lebih luas dijabarkan oleh (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan Negara sebagai berikut:[8] 
1)      Korban Perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil
2)      Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
3)      Korban lingkungan hidup adalah setiap alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarkat yang tidak bertanggung jawab.
4)      Korban masyarkat, bangsa dan Negara adalah yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih setiap tahun.
Perlu ditekankan bahwa untuk korban perseorangan tidak hanya seperti yang telah disebut diatas, tetapi kadang korban juga sebagai pelaku. Misalnya, pengguna narkotika, anak nakal dan sebagainya. Hal ini lebih lanjut dinyatakan oleh seorang ahli yaitu Romli Atmasasmita bahwa “untuk perbuatan pelanggaran hukum tertentu, mungkin terjadi apa yang sering dikenal alam kepustakaan kriminologi, sebagai victimless crime (schur, 1965)  atau kejahatan “tanpa korban”[9]. Dengan perkataan bahwa korban dan pelaku adalah satu (tunggal) atau dapat dikatakan bahwa korban adalah pelaku dan pelaku adalah korban.

1. Implementasi Perlindungan Korban Kejahatan Kesusilaan Dalam  Penegakan Hukum Pidana
Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan yang lainnya[10]. Dengan demikian, kondisi tersebut dapat diwujudkan melalui kehidupan yang saling menghormati dan menghargai antara satu sama lain, karena diantara mereka terkandung nilai hak dan kewajiban.
Demikian pentingya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui berbagai produk perundang-perundangan[11].  Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat perihal perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, baik dalam perundang-perundangan nasional maupun international, diantaranya. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Declaration of Human Rights, Convention on The Elimination of Violence Against Women (1993).
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang[12]. Hal ini menggambarkan bahwa pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan karena merupakan bagian dari penegakan hak asasi manusia. Pentingya perlindungan terhadap korban agar korban dapat memperoleh pemulihan, hal tersebut dilakukan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan. Hal ini dengan tepat dinyatakan oleh muladi sebagaimana dikutip oleh Dikdik M Arief dalam bukunya saat menyatakan bahwa korban kejahatan perlu dilindungi yaitu :
  1.     Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (sistem of institutionalized trust). 
  2.    Adanya argumentasi kontrak sosial dan soidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.
  3.    Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik.

Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, diantaranya sebagai berikut[13] :
a)      Teori Utilitas, yaitu teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan  sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterakpkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan tetapi juga bagi sistem penegekan hukum pidana secara keseluruhan.
b)      Teori tanggung jawab, yaitu pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.
c)      Teori ganti kerugian, sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.

B. Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Pemerkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Tindak pidana perkosaan diatur dalam pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Bagian inti delik perkosaan sebagaimana yang di uraikan di atas harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, hal ini cocok dengan bahasa Indonesia “perkosaan” yang menurut kamus umum bahasa Indonesia 1976 susunan Poewadarminto, yang mengatakan bahwa perkosaan berarti:[14]
1.         Menundukkan dengan kekerasan; menggagahi, memaksa dengan kekerasan, misalnya memperkosa istri orang, memperkosa gadis yang belum berumur;
2.         Melanggar, menyerang dan sebagainya dengan kekerasan.
Dalam suatu peradilan pidana, pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim, terdakwa, dan penasihat hukum serta saksi-saksi. Pihak korban diwakili oleh penuntut umum dan untuk menguatkan pembuktian lazimnya yang bersangkutan dijadikan saksi (korban). Seringkali penuntut umum tidak merasa mewakili kepentingan korban dan bertindak sesuai kemauannya, sehingga kewajiban perlindungan serta hak-hak korban diabaikan.[15]
Bahkan pengabaian korban (Victim) terjadi pada tahap-tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan proses-proses selanjutnya. Diabaikannya eksistensi korban dalam penyelesaian kejahatan menurut Arif Gosita, terjadi karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:[16]
  1. Masalah kejahatan tidak dilihat dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional;
  2. Pengatasan penanggulangan permasalahan kejahatan yang tidak didasarkan pada konsep, teori etimologi kriminal yang rasional, bertanggungjawab, dan bermartabat;
  3. Pemahaman dan penanggulangan permasalahan kejahatan tidak didasarkan pada pengertian citra mengenai manusia yang tepat (tidak melihat dan mengenai manusia pelaku dan manusia korban sebagai manusia sesama kita).
Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Dalam salah satu rekomendasinya disebutkan:[17]
Offenders or third parties responsible for their behavior should, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursemenr of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights.
(Pelanggar atau pihak ketiga yang bertanggung jawab atas perilaku mereka harus, membuat restitusi yang adil bagi korban, keluarga atau tanggungan mereka. Restitusi tersebut harus mencakup pengembalian harta atau pembayaran untuk kerusakan atau kerugian yang diderita serta penggantian biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari korban, penyediaan layanan dan pemulihan hak).
Salah satu wujud perlindungan oleh negara adalah penyelenggaraan peradilan. Selain kelengkapan perundang-undangan, LPSK, penegak hukum, instansi pemerintah terkait, dan pihak-pihak lain yang relevan, maka fungsi peradilan memegang peranan penting. Fungsi pengadilan selain sebagai pemutus perkara, juga menerima laporan pelaksanaan kompensasi, atau restitusi, mengumumkannya serta memerintahkan instansi atau pihak-pihak untuk melaksanakan putusan dan sebagainya. Dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak langsung hal itu merupakan suatu bentuk perhatian (perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan.  Perlindungan hukum kepada wanita yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang menimpanya, seperti kehamilan akibat perkosaan.[18]
Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-hak yang wajib ditegakkan, rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan dan berbagai macam dampak buruk yang menimpa dirinya paska  tindakan itu mendapatkan perhatian yang serius dari hukum islam. Korban tidak boleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib yang menimpanya, namun wajib dijembatani oleh penegak hukum dalam memperjuangkan nasibnya[19]. Perlindungan hukum terhadap korban dalam sistem peradilan pidana merupakan hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada korban dalam upaya memberikan rasa aman serta kepastian hukum yang dapat diterima oleh korban. Hak atas perlindungan tersebut dapat kita jumpai dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, yaitu:
a.      memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya
b.      ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.       memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.      mendapat penerjemah;
e.       bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.        mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.      mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.      mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.        mendapat identitas baru;
j.        mendapatkan tempat kediaman baru;
k.       memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.        mendapat nasihat hukum; dan/atau
m.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006 sebagaimana yang dituangkan diatas diberikan kepada korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu melalui keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK merupakan lembaga yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk melindungi korban dalam sistem peradilan pidana. Korban dalam hal ini dapat memperoleh perlindungan dengan cara melakukan permohonan tertulis sebagaimana yang diatur dalam pasal 29 UU No. 13 Tahun 2006.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 UU No.13 Tahun 2006 mengatakan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diberikan hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Memang secara eksplisit perkosaan tidak dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat, tetapi dirumuskan sebagai tindak pidana kesusilaan yang diatur dalam Buku II Bab XIV KUHP.  Namun, dalam penjelasan UU No. 13 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan yang diberikan kepada psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Korban perkosaan tidak dapat dipungkiri pastilah menderita trauma psikis yang berat yang kemudian memang negara perlu untuk memfasilitasi korban perkosaan dalam upaya memulihkan kondisi kejiwaan dan traumanya.
Kemudian terkait perlindungan korban dalam hal bantuan medis, sebagaimana pengertian perkosaan yang diberikan Arif Gosita sebelumnya, menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual.  Korban perkosaan merupakan korban praktik kekerasan yang dilakukan pelaku. Pihak pemerkosa telah menggunakan ancaman dan kekerasan (paksaan) untuk menundukkan korban. Korban dibuat takut atau tidak berani melawan, atau dibuat tidak berdaya sehingga mau mengikuti kehendak pelaku.[20] Tentunya tidak menutup kemungkinan korban menderita luka fisik akibat kekerasan yang dilakukan pelaku yang kemudian perlunya perlindungan korban untuk dilayani secara medis.
Baik penderitaan fisik maupun psikis akibat perkosaan yang dialami korban, dapat kita lihat dari modus operandi yang dilakukan pelaku dalam menjalankan aksinya. Ada suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Airlangga mengenai modus operandi perkosaan sebagaimana table berikut ini:[21]

Tabel 1: Modus Operandi Kejahatan Perkosaan
Modus Operandi
Presentase
Diancam dan dipaksa
Dirayu
Dibunuh
Diberi obat bius
66,3
22,5
6,1
5,1
Sumber: Lembaga Penelitian Airlangga (Dalam Bagong Suyanto & Emi Susanti Hendrarso 1996: 9)
Tabel mengenai modus operandi kejahatan perkosaan di atas diambil sebagai bahan pertimbangan pemberian perlindungan terhadap korban. Dari tabel di atas, pelaku perkosaan dalam menjalankan aksinya tidak terlepas dari adanya upaya pemaksaan, pengancaman bahkan tidak dipungkiri pun melakukan kekerasan terhadap korban. Yang mana kemudian perlindungan terhadap korban tidak hanya sebatas pada persoalan psikis tetapi juga harus ada tindakan-tindakan medis sebagai upaya pemulihan keadaan korban.
Jadi dalam hal ini, korban berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 UU No.13 Tahun 2006 dan LPSK merupakan lembaga yang bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam UU ini untuk melindungi korban. Bukan hanya melindungi korban sebagai upaya memperlancar jalannya proses pengadilan, tetapi lebih kepada melindungi korban dalam upaya memulihkan keadaannya agar si korban dapat melanjutkan kehidupannya di masyarakat.
Dalam penyelesaian kasus perkosaan di pengadilan, perlindungan terhadap korban pun tetap diupayakan sebagai cara untuk mengurangi beban yang diderita korban. Untuk tidak menambahkan rasa malu serta beban psikis lainnya dalam pengadilan, tindak pidana perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 153 ayat (3), untuk perkara kesusilaan hakim dapat menyatakan bahwa sidang tidak terbuka untuk umum (sidang tertutup). Tentunya hal tersebut dapat meringankan beban bagi korban serta secara tidak langsung dapat membantu penyelesaian suatu perkara pemerkosaan melalui bantuan kesaksian korban.[22]
Korban adakalanya bertindak atau dijadikan sebagai saksi di pengadilan. Saksi demikian biasanya merupakan saksi yang memberatkan (a charge), yang menguatkan tuntutan dan putusan pengadilan. Di dalam KUHAP, korban yang dijadikan sebagai saksi pun diberikan perlindungan dalam pasal 162 KUHAP. Dikatakan sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan korban, bahkan dimungkinkkan untuk tidak memberikan kesaksian di persidangan, kesaksiannya dapat dibacakan dari BAP yang ada. KUHAP juga memberi jalan bagi korban (menjadi saksi) untuk mengjajukan tuntutan ganti kerugian (pasal 98 ayat (1) KUHAP).[23]
Perlindungan korban dalam sistem peradilan pidana dilakukan mulai dari tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sebagaimana yang ditentukan oleh UU No.13 Tahun 2006. Perlindungan tersebut dilakukan melalui LPSK sebagai lembaga yang diberikan mandat oleh UU ini. Dalam pasal 12 UU No.13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Perlindungan tersebut membeikan hak kepada korban melalui LPSK sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006 yaitu sebagai berikut:
1)      Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a.   hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b.   hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
2)      Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada saat ini secara formal hak, perlindungan dan mekanisme sudah diatur. Namun yang lebih penting adalah aplikasi dan implementasinya. Bambang waluyo dalam bukumya Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi) mengatakan, untuk mewujudkan secara proporsional, professional, dan akuntabel, diperlukan keseriusan para pihak sebagai berikut:[24]
1)      Korban
·      Tidak dapat disangkal bahwa korban harus mengetahui hak-haknya dan tata cara memperoleh pemenuhan hak tersebut. Untuk itu pemahaman terhadap ketentuan yang berlaku mutlak diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah sosialisasi oleh pihak-pihak terkait proses perlindungan korban sendiri.
·      Setelah mengetahui hak-hak tersebut, yang lebih penting lagi adalah keberanian untuk mengajukan permohonan. Tanpa ada kemauan dan keberanian, pasti akan sia-sia meskipun hal-hal tersebut sudah diatur dan ada lembaga yang bertanggungjawab.
·      Selain korban, perlu diberdayakan kepedulian dan kesadaran hukum dari pihak keluarga atau ahli warisnya. Mengenai yang dimaksud keluarga adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas, ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban” (Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008).
2)      LPSK
Menurut pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud UU No. 13 Tahun 2006.
3)   Penegak Hukum
Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, Jaksa Agung, Kejaksaan, Hakim,dan pengadilan sangat berperan dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban dan/atau saksi. Tugas dan tanggungjawab penegak hukum, selain berdasarkan masing-masingketentuan lembaga penegak hukum serta KUHAP, juga berpedoman pada UU No.13 Tahun 2006 dan PP No. 44 Tahun 2008. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggungjawab dapat diraih melalui kerjasama terutama denga LPSK. Komitmen yang kuat untuk melaksanakan semua ketentun yang ada sangat diharapkan mmasyarakat. Memang hal itu harus dilakukan sesuai cita profesi , sumpah jabatan dan perintah Undang-Undang.
4)   Masyarakat
Masyarakat dalam arti luas terrmasuk LSM, mempunyai peran yang tidak kecil, antara lain ikut mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan korban dan/atau saksi. Melalui sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum korban. Demikian pula masyarakat berperan mengawasi dan mengawal terselenggaranya perlindungan secara objektif, transparan dan akuntabel.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa upaya perlindungan korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari peran serta para pihak-pihak yang terkait dalam sistem peradilan pidana tersebut, walaupun aturan tentang perlindungan korban telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut tidak akan berjalan secara efektif dan maksimal ketika dalam prakteknya unsur-unsur yang dapat mendukung tercapainya perlindungan korban tersebut tidak saling mendukung. Maka yang diperlukan pula dalam perlindungan korban adalah peran serta para penegak hukum baik itu dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sampai pada proses peradilan pidana.     
Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan (pemerkosaan) memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan adalah:
a.       Korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut;
b.      Korban menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukan);
b.      Korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku;
c.       Korban mendapat pembinaan dan rehabilitasi;
d.      Korban mendapatkan hak miliknya kembali;
e.       Korban mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut;
f.       Korban mendapatkan bantuan hukum;
g.      Korban berhak mempergunakan upaya hukum.
  
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korban untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan pemerkosaan memiliki hak-hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan adalah: korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya, pembinaan, rehabilitasi, perlindungan, korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku serta korban mendapatkan bantuan hukum dan korban berhak mempergunakan upaya hukum. Jadi penulis menyimpulkan bahwa untuk prospek perlindungan korban kejahatan pemerkosaan dalam proses peradilan agar dijadikan suatu pembaharuan dalam hukum acara pidana yang akan datang yaitu dengan memasukkan ketentuan-ketentuan yang dapat mengakomodir hak-hak korban.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Waluyo, S.H, M.H.,Viktimologi, Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Syahrial Martanto Wiryawan, Melly Setyowati, Pemberian Bantuan Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. ICW, Jakarta, 2007
Dr. R. Wirjono, Makalah Penunjang dalam seminar Viktimologis: Penyelesaian permasalahan Korban, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 28-29 Oktober 1988.
Drs. Dikdik M. Arief, S.H.,M.H, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Jur Andi Hamzah, delik-delik tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: PT Refika Aditama, 2001
                                                                                  
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 
Kita Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban





[1] Bambang Waluyo, S.H, M.H.,Viktimologi, Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.Hlm. 1-2
[2]Syahrial Martanto Wiryawan, Melly Setyowati, Pemberian Bantuan Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. ICW, Jakarta, 2007. Hlm. Vii
[3] Bambang Waluyo, S.H, M.H, Viktimologi,Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. 9
[4] Dr. R. Wirjono, Makalah Penunjang dalam seminar Viktimologis: Penyelesaian permasalahan Korban, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 28-29 Oktober 1988. Hlm. 2
[5] Op cit. Hlm 9
[6] Ibid
[7] Bambang Waluyo, S.H, M.H, Viktimologi,Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hlm. 11
[8] Ibid. hlm. 11-12
[9] Ibid. hlm 13                                                                                                                          
[10] Drs. Dikdik M. Arief, S.H.,M.H, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 157
[11] Ibid. Hlm. 158
[12] Ibid. Hlm. 161
[13] Ibid. Hlm. 162-163
[14] Jur andi hamzah, delik-delik tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 19-20.
[15]Bambang Waluyo, Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 8.
[16] Ibid.
[17]Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 23-24.
[18]Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 96.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm. 50.
[21] Ibid.
[22]Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana  pasal 160 ayat (1) huruf b.
[23]Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm. 24-27.
[24] Ibid, hlm. 23-24.