KEMATIAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh. Kardiansyah Afkar
Hukum
tidak bisa meminggirkan secara total bentuk – bentuk tatanan atau penataan
sosial di bangsa Indonesia. Kehadiran hukum modern yang sebagai tipe khas (distinct type), kemudian diadopsi oleh
hukum Indonesia merupakan hal yang relatif baru, jauh sesudah kehadiran tatanan
hukum asli bangsa Indonesia yang sudah bekerja ratusan tahun yang lalu. Hal ini
di sebabkan karena tatanan yang sudah ada tersebut tidak memberikan hasil yang
sangat baik bagi penerapan dan bekerjanya sistem hukum di Indonesia. Dengan
demikian, fenomena hukum di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
Mengamati dari perilaku penerapan dan bekerjanya hukum di Indoenesia.
Korupsi
di Negara kita dapat dijadikan sebagai salah satu contoh kasus dari berbagai
macam kompleksitas permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, kasus korupsi
yang terjadi di bangsa ini tidak lagi mengenal tempat dan lembaga manapun. Jika
kita melihat kasus korupsi yang terjadi hampir di setiap institusi atau lembaga
pemerintahan bahkan institusi penegak hukum pun tak lepas dari Corruption. Hal tersebut menggambarkan bahwa bangsa ini telah mengalami kematian
hukum. Sebagai contoh, yang konkrit yang dapat dijadikan sebagai rujukan
mengenai kematian hukum di Indonesia yaitu; pertama,
kasus yang menimpah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai The Guardian of Constitution, benteng terakhir dari penegakan hukum
di Indonesia kini telah runtuh karena persoalan kasus suap sengketa pemilukada
Kabupaten Lebak Bulus yang dilakukan oleh Akil Mochtar mantan ketua Mahkamah
Konstitusi. Kedua, kasus korupsi
simulator Surat Izin Mengendara (SIM) yang dilakukan oleh seorang berpangkat
jendral polisi bintang satu yaitu Irjen. Djoko Susilo sebagai Dirjen di
Korlantas POLRI. Kasus yang terjadi di kedua institusi itu semakin menambah
daftar buruk institusi penegak hukum semakin tercoreng di bangsa ini.
Dari
kasus tersebut diatas penulis berpandangan bahwa penataan sistem hukum di
Indonesia masih kurang baik dan sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan sistem
hukum dan perkembangan zaman yang semakin modern sehingga dapat menyebabkan
penegakan hukum di Indonesia mengalami ke-vakuman.
Menurut
penulis, tatanan hukum dan penegakan hukum di indonesia bisa lebih baik jika
digunakan pendekatan melalui teori hukum
Philippe Nonet dan Philip Selznick
dalam bukunya yang berjudul Responsif law.
Philippe Nonet dan Philip Seilznick telah melakukan pembatasan dan pembagian
wewenang dalam penataan tatanan hukum dari tiga tipe hukum yaitu; pertama, Hukum Represif, hukum dipandang
sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang berdaulat
(pengemban/pemegang kekuasaan politik) yang memiliki kewenangan diskresioner
tanpa batas. Sehingga dalam tipe hukum ini, hukum dan Negara serta hukum dan
politik tidak dapat dipisahkan, sehingga aspek instrumental dari hukum sangat
dominan ( mengemuka, lebih menonjol, kepermukaan) ketimbang aspek ekspresifnya. Kedua, Hukum
Otonom, hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu mengendalikan
represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tatanan hukum otonomius
berintikan pada pemerintahan “Rule of law”, subordinasi putusan
pejabat pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka tersebut institusi
hukum serta cara berpikir mandiri dari tipe hukum otonom memiliki batas – batas yang jelas. Dalam tipe
hukum otonom ini keadilan prosedural sangat ditonjolkan. Ketiga, Hukum Responsif, Hukum ini dipandang sebagai fasilitator
respon atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Hukum responsif berfungsi sebagai norma
kritik. Dengan demikan dapat mengendalikan diskresi administratif serta
melunakkan resiko “institutional surrender” . Dalam tipe hukum responsif aspek ekspresif
dari hukum lebih mengemuka ketimbang dalam dua tipe hukum lainnya dan keadilan
substantif dipentingkan di samping keadilan prosedural.
Melihat
persoalan hukum di bangsa ini dengan menggunakan ketiga tipe hukum yang telah
dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick tersebut maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa ketiga tipe tatanan hukum tersebut belum diterapkan di dalam
sistem tatanan hukum Indonesia. Maka untuk mereduksi terjadinya ke-vakuman
hukum atau memperbaiki kembali penataan sistem hukum kita, maka perlu kiranya
ketiga tatanan hukum tersebut diterapkan guna menyelamatkan bangsa Indonesia
dari kematian hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar