Bupati di Gowa, Sombayya Ri Gowa
Oleh:
Kardiansyah Afkar
Telah dimuat di media online Fajar.co.id. National News Networ pada tanggal 19 september 2016.
Kontroversi Peraturan
Daerah tentang Lembaga Adat Daerah (Perda LAD) Gowa, saat ini merupakan salah
satu isu yang menjadi perdebatan beberapa kalangan akademisi baik dari sejarahwan
maupun hukum. Pada tulisan ini penulis lebih melihat dari segi aspek hukum tata
negara mengenai pembentukan Perda tersebut. Adnan Purichta Yasin Limpo dalam
keterangan tertulisnya menyatakan bahwa Raja Gowa terakhir, Andi Idjo Mattawang
Karaeng Lalolang, mengakui telah meleburkan kerajaannya pada NKRI, dan diangkat
menjadi bupati pertama pada tahun 1946. Hal inilah yang menjadi salah satu
dasar pertimbangan DPRD dan Pemda Gowa membentuk Perda LAD, yang salah satu isi
materi muatannya mengatur bahwa bupati sebagai ketua Lembaga Adat Daerah (LAD)
yang menjalankan fungsi raja (sombayya). (kompas.com, 13/9/2016).
Perlu dipahami bahwa pernyataan
Raja Gowa pada masa itu, yang menyatakan bergabung pada NKRI, tidak dapat
diterjemahkan bahwa secara serta-merta telah menghilangkan eksistensi raja
(sombayya) Gowa, sebab secara terminologi raja dan kerajaan merupakan hal yang
berbeda. Penulis berpandangan bahwa pernyataan tersebut hanya berimplikasi terhadap
kedudukan Kerajaan Gowa, yang mana dapat diartikan bahwa Kerajaan Gowa tidak
lagi memiliki eksistensi secara politik dalam kerangka NKRI. Berbeda dengan
kedudukan Sombayya (raja), yang mana eksistensinya masih diakui secara simbolik
sampai saat ini. Bahkan pengakuan tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana
diatur pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
NKRI, yang diatur dengan undang-undang.
Apabila salah satu
landasan pembentukan Perda LAD, berdasarkan atas pernyataan Sombayya (raja)
Gowa pada masa itu, maka penulis menganggap bahwa alasan tersebut tidak cukup
kuat untuk dijadikan sebagai dasar pembentukannya, karena sangat bernuansa politis.
Secara teoretis pembentukan suatu Perda, sebaiknya didasarkan pada teori
pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni harus memenuhi aspek filosofis,
historis, sosiologis, dan yuridis.
Menguji
Keabsahan Perda LAD
Terlebih dahulu perlu
kita memahami bahwa dalam pembentukan suatu Perda ada dua prinsip yang menjadi
alasan mengapa Perda itu dibuat. Pertama, Perda itu dibuat untuk melaksanakan perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda itu dibuat untuk
memuat dan mengatur kondisi-kondisi khusus dalam suatu wilayah/daerah dalam
rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, misalnya: pendidikan, kesehatan,
kebudayaan, pertanian, dan lain-lain. Adapun tujuan dari pembentukan Perda
ialah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dalam proses
pembentukannya hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah mendengarkan
kemauan dan kehendak masyarakat (pasrtisipatif).
Dalam pembentukan suatu
Perda ada dua hal yang harus terpenuhi yaitu syarat formal dan materil. Syarat
formilnya lebih menitikberatkan pada mekanisme atau proseduralnya, sedangkan
syarat materil lebih kepada isi atau materi muatannya, apakah Perda tersebut sudah
sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, jika suatu Perda tidak memenuhi syarat formil maupun
materilnya maka dapat dibatalkan oleh pemerintah (Mendagri). Untuk menguji kesahihan
lahirnya suatu Perda, apakah telah memenuhi syarat formil maupun materilnya,
maka ada beberapa cara yang dapat ditempuh yaitu melalui jalur eksekutif review maupun judicial review di Mahkamah Agung.
Merujuk pada prinsip
pembentukan suatu Perda yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
berpandangan bahwa Perda LAD, dapat dikategorikan sebagai Perda yang memuat dan
mengatur suatu kondisi khusus, namun yang menjadi pertanyaan kemudian apakah
Perda tersebut telah memenuhi prinsip pembentukannya, sebab dalam membentuk
atau membuat suatu Perda yang sifatnya mengatur suatu kondisi khusus harus
berpegang pada prinsip-prinsip pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara
teoretis ada beberapa pertimbangan hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan
dalam pembentukan Perda khusus antara lain; pertimbangan filosofis,
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum yang bersumber pertimbangan sosiologis, merupakan
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, dan pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan atau mengisi kekosongan hukum. Selain itu aspek, dari aspek
yuridisnya pembentukan Perda harus memiliki landasan atau dasar hukum yang jelas.
Apabila salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi dalam pembentukan
Perda LAD, maka Perda tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah (Mendagri).
Berkaca
dari Yogyakarta
Kehadiran Perda LAD,
yang memuat dan mengatur kondisi khusus di Gowa tentu berbeda dengan kondisi
khusus keistimewaan Yogyakarta. Di Yogyakarta, eksistensi kerajaan dan raja
masih diakui oleh negara, sehingga jabatan Gubernur diisi oleh raja,
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pengaturan
ini kondisi khusus Yogyakarta dengan keistimewaannya tentu berbeda dengan Perda
LAD, dimana salah satu materi muatannya mengatur bahwa Bupati diangkat menjadi Sombayya (raja). Hal
ini berbanding terbalik dengan keistimewaan Yogyakarta, dimana Sultan (raja) diangkat
sebagai Gubernur dan Paku Alam diangkat sebagai Wakil Gubernur berdasarkan
undang-undang keistimewaan DIY. Jika kita mengacu pada keistimewaan Yogyakarta,
maka yang diangkat menjadi Bupati Gowa ialah Sombayya (raja), bukan sebaliknya
yakni bupati yang diangkat menjadi sombayya (raja). Tetapi hal ini merupakan
sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi karena hal tersebut harus memiliki
payung hukum yang jelas yaitu harus diatur dengan undang-undang yang bersifat
khusus. Namun, penulis tidak melihat persoalan Perda LAD dari aspek tersebut.
Apabila kita berkaca dari Yogyakarta, maka
penulis berpendapat bahwa kehadiran Perda LAD, dapat dikatakan tidak sesuai
dengan semangat kekhususan dan keistimewaan yang sudah dijamin oleh konstitusi
bahwa negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta
kebiasaan-kebiasaannya. Mengenai kedudukan Bupati Gowa dan Sombayya Ri Gowa, merupakan
dua kekuasaan yang tidak dapat dileburkan menjadi satu yang mana kekuasaan
tersebut dipegang oleh satu orang saja, karena Bupati dan Sombayya (raja)
memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, kehadiran Perda
LAD merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap masyarakat hukum adat yang
sudah dijamin oleh konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar