Jumat, 18 November 2016

Bupati di Gowa,Sombayya ri Gowa



Bupati di Gowa, Sombayya Ri Gowa

Oleh: Kardiansyah Afkar
Telah dimuat di media online Fajar.co.id. National News Networ pada tanggal 19 september 2016.

Kontroversi Peraturan Daerah tentang Lembaga Adat Daerah (Perda LAD) Gowa, saat ini merupakan salah satu isu yang menjadi perdebatan beberapa kalangan akademisi baik dari sejarahwan maupun hukum. Pada tulisan ini penulis lebih melihat dari segi aspek hukum tata negara mengenai pembentukan Perda tersebut. Adnan Purichta Yasin Limpo dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa Raja Gowa terakhir, Andi Idjo Mattawang Karaeng Lalolang, mengakui telah meleburkan kerajaannya pada NKRI, dan diangkat menjadi bupati pertama pada tahun 1946. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan DPRD dan Pemda Gowa membentuk Perda LAD, yang salah satu isi materi muatannya mengatur bahwa bupati sebagai ketua Lembaga Adat Daerah (LAD) yang menjalankan fungsi raja (sombayya). (kompas.com, 13/9/2016).
Perlu dipahami bahwa pernyataan Raja Gowa pada masa itu, yang menyatakan bergabung pada NKRI, tidak dapat diterjemahkan bahwa secara serta-merta telah menghilangkan eksistensi raja (sombayya) Gowa, sebab secara terminologi raja dan kerajaan merupakan hal yang berbeda. Penulis berpandangan bahwa pernyataan tersebut hanya berimplikasi terhadap kedudukan Kerajaan Gowa, yang mana dapat diartikan bahwa Kerajaan Gowa tidak lagi memiliki eksistensi secara politik dalam kerangka NKRI. Berbeda dengan kedudukan Sombayya (raja), yang mana eksistensinya masih diakui secara simbolik sampai saat ini. Bahkan pengakuan tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dengan undang-undang.
Apabila salah satu landasan pembentukan Perda LAD, berdasarkan atas pernyataan Sombayya (raja) Gowa pada masa itu, maka penulis menganggap bahwa alasan tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar pembentukannya, karena sangat bernuansa politis. Secara teoretis pembentukan suatu Perda, sebaiknya didasarkan pada teori pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni harus memenuhi aspek filosofis, historis, sosiologis, dan yuridis.

Menguji Keabsahan Perda LAD
Terlebih dahulu perlu kita memahami bahwa dalam pembentukan suatu Perda ada dua prinsip yang menjadi alasan mengapa Perda itu dibuat. Pertama, Perda itu dibuat untuk melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda itu dibuat untuk memuat dan mengatur kondisi-kondisi khusus dalam suatu wilayah/daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, misalnya: pendidikan, kesehatan, kebudayaan, pertanian, dan lain-lain. Adapun tujuan dari pembentukan Perda ialah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dalam proses pembentukannya hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah mendengarkan kemauan dan kehendak masyarakat (pasrtisipatif).
Dalam pembentukan suatu Perda ada dua hal yang harus terpenuhi yaitu syarat formal dan materil. Syarat formilnya lebih menitikberatkan pada mekanisme atau proseduralnya, sedangkan syarat materil lebih kepada isi atau materi muatannya, apakah Perda tersebut sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, jika suatu Perda tidak memenuhi syarat formil maupun materilnya maka dapat dibatalkan oleh pemerintah (Mendagri). Untuk menguji kesahihan lahirnya suatu Perda, apakah telah memenuhi syarat formil maupun materilnya, maka ada beberapa cara yang dapat ditempuh yaitu melalui jalur eksekutif review maupun judicial review di Mahkamah Agung.
Merujuk pada prinsip pembentukan suatu Perda yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis berpandangan bahwa Perda LAD, dapat dikategorikan sebagai Perda yang memuat dan mengatur suatu kondisi khusus, namun yang menjadi pertanyaan kemudian apakah Perda tersebut telah memenuhi prinsip pembentukannya, sebab dalam membentuk atau membuat suatu Perda yang sifatnya mengatur suatu kondisi khusus harus berpegang pada prinsip-prinsip pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara teoretis ada beberapa pertimbangan hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan Perda khusus antara lain; pertimbangan filosofis, menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum yang bersumber pertimbangan sosiologis, merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan pertimbangan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan atau mengisi kekosongan hukum. Selain itu aspek, dari aspek yuridisnya pembentukan Perda harus memiliki landasan atau dasar hukum yang jelas. Apabila salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi dalam pembentukan Perda LAD, maka Perda tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah (Mendagri).

Berkaca dari Yogyakarta
Kehadiran Perda LAD, yang memuat dan mengatur kondisi khusus di Gowa tentu berbeda dengan kondisi khusus keistimewaan Yogyakarta. Di Yogyakarta, eksistensi kerajaan dan raja masih diakui oleh negara, sehingga jabatan Gubernur diisi oleh raja, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pengaturan ini kondisi khusus Yogyakarta dengan keistimewaannya tentu berbeda dengan Perda LAD, dimana salah satu materi muatannya mengatur bahwa  Bupati diangkat menjadi Sombayya (raja). Hal ini berbanding terbalik dengan keistimewaan Yogyakarta, dimana Sultan (raja) diangkat sebagai Gubernur dan Paku Alam diangkat sebagai Wakil Gubernur berdasarkan undang-undang keistimewaan DIY. Jika kita mengacu pada keistimewaan Yogyakarta, maka yang diangkat menjadi Bupati Gowa ialah Sombayya (raja), bukan sebaliknya yakni bupati yang diangkat menjadi sombayya (raja). Tetapi hal ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi karena hal tersebut harus memiliki payung hukum yang jelas yaitu harus diatur dengan undang-undang yang bersifat khusus. Namun, penulis tidak melihat persoalan Perda LAD dari aspek tersebut.
 Apabila kita berkaca dari Yogyakarta, maka penulis berpendapat bahwa kehadiran Perda LAD, dapat dikatakan tidak sesuai dengan semangat kekhususan dan keistimewaan yang sudah dijamin oleh konstitusi bahwa negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta kebiasaan-kebiasaannya. Mengenai kedudukan Bupati Gowa dan Sombayya Ri Gowa, merupakan dua kekuasaan yang tidak dapat dileburkan menjadi satu yang mana kekuasaan tersebut dipegang oleh satu orang saja, karena Bupati dan Sombayya (raja) memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, kehadiran Perda LAD merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap masyarakat hukum adat yang sudah dijamin oleh konstitusi.   

                                                              








Tidak ada komentar:

Posting Komentar